Jumat, 14 Oktober 2011

MULTIPLIER EFFECT SERTIFIKASI PENDIDIK

Pelaksanaan program sertifikasi pendidik bagi sekitar 2,7 juta guru—berikut dosen kita di tanah air sampai saat ini telah memasuki tahun keempat sejak dicanangkan pada tahun 2006. menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Dr. Baedhowi, sampai akhir tahun 2008 sudah ada sekitar 360.000 orang guru kita yang sudah dinyatakan lulus program sertifikasi pendidikan—baik lulus portofolio atau melewati Diklat langsung profesi guru. Pada tahun 2009 juga pemerintah merencanakan kuota 200.000 guru untuk mengikuti sertifikasi pendidikan, diperkirakan sudah ada sekitar 560.000 guru Indonesia yang sudah dan akan dinyatakan sebagai guru profesional.

Sebagaimana tema besar yang melatarbelakangi kebijakan sertifikasi pendidikan ini, bahwa program ini diharapkan bisa menjadi instrumen penting dalam upaya kita meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita. Mak harapannya tentu ketika seorang guru telah mendapat sertifikat sebagai seorang pendidik yang menunjukkan dan menjaga sikap profesionalismenya dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Dengan kata lain, seorang guru profesional seharusnya adalah seorang yang memiliki empat kompetensi pendidik, sebagaimana diamanahkan Undang-undang Nomor 14/2005 tentang guru dan dosen, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi pribadi dan kompetensi sosial.

Apabila asumsi perubahan itu benar-benar terjadi maka diyakini akan terjad multiplier effect (efek berantai) yang luar biasa pada proses perbaikan dunia pendidikan. Pengaruh yang paling diharapkan adalah akan semakin efektifnya proses pembelajaran di setiap sekolah. Kita berharap setelah program sertifikasi ini akan menemukan para pendidik yang mencurahkan segala potensinya dalam melaksanakan tugas kependidikannya; para guru yang bergairah, bersemangat, memiliki etos kerja tinggi, disiplin, paham akan tugasnya dan yang paling penting adalah para guru yang mencintai profesi kependidikannya.

Diyakini suasana positif ini akan mengalir ke ruang-ruang kelas. Ketika para pendidik telah mencintai profesi kependidikannya dalam makna yang sebenarnya. Kita akan menemukan ruang-ruang kelas yang hidup karena dipimpin oleh seorang pendidik yang profesional. Seorang guru yang kaya akan berbagai ide kreatif tentang bagaimana menjadiproses pembelajaran semakin efektif dan menarik, seorang guru yang tak pernah kehabisan cara dalam membantu anak didik mereka mencapai target-target pembelajaran, seorang guru yang tidak hanya bisa berperan sebagai sumber ilmu, tapi jjuga sebagai sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi para siswanya dalam menggapai harapan dan masa depan mereka yang lebih baik.

Efek positif berantai itu tidak hanya akan terasa di sekolah atau di ruang-ruang kelas, tetapi juga akan terasa di lingkungan luar sekolah atau di tengah masyarakat. Karena pendidik profesional juga ditandai dengan kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Maka kita nanti akan menemukan banyak guru yang tidak hanya berperan sebagai sumber inspirasi badi siswanya di sekolah, tetapi bagi masyarakat di lingkungan dimana dia berada. Dia akan menjadi model yang akan ditiru masyarakatnya, dijadikan salah satu sumber referensi penting dalam bermasyarakat. Bukan tak mungkin, kita akan bertemu dengan guru yang secara aktif berperan mengarahkan perubahan (director of change) masyarakatnya menuju masa depan lebih baik.

Lebih jauh, tentu suasana seperti ini akan berakibat pada semakin kuatnya pesona dan martabat profesi guru di tengah masyarakat. Profesi guru akan kembali menempati posisi terhormat di tengah masyarakat Indonesia. Profesi ini tidak lagi dipandang ‘sebelah mata’ oleh sebagian orang. Dan kalau suasana seperti ini benar-benar tercipta, hampir bisa dipastikan bahwa profesi pendidik ini akan menjadi salah satu pilihan profesi yang sangat menarik bagi generasi muda cemerlang kita di masa depan.

Puncak dari multiplier effect yang akan kita harapkan tentu saja akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan nasional kita secara simultan dan signifikan. Secara berangsur tapi pasti, pendidikan kita akan semakin baik. Kualitas anak didik kita semakin membanggakan. Peningkatan pendidikan kita di dunia akan semakin naik. Mayoritas anak bangsa ini akan mempeproleh skill yang cukup untuk bisa survive di tengah kompetisi perdaban global yang semakin kuat. Pad saatnya nanti kita berharap bahwa kita betul-betul bisa merasakan bahwa kita berhak dan pantas duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa lain.

Betulkah Sudah Ada Perubahan?

Di balik segala harapan di atas, pertanyaan mendasar yang sekarang penting kita jawab adalah; apakah benar mereka para pendidikan yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi itu atau bahkan sudah menikmati tunjangan profesi pendidik benar-benar telah mentranspormasi diri menjadi seorang pendidik yang profesional?, apakah mereka sudah certified itu di lapangan sudah memperlihatkan dan membuktikan berbagai kompetensi yang telah kita bahas di atas?.

Sebagai contoh dalam hal kompetensi pedagogis, sudahkah para certified educators itu menguasai dengan baik kegiatan mengajar mereka, membuat silabus, membuat rencana pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif dan melaksanakan penilaian sebagaimana dituntut oleh aturan perundangan yang berlaku.

Dalam hal kompetensi kepribadian, apakah mereka yang sudah menikmati tunjangan profesi pendidikan itu benar-benar telah menjadi seorang neo educator, pendidik baru dengan darah, semangat dan paradigma baru. Pendidik yang tidak hanya pintar mentransformasikan knowledge kepada peserta didiknya, tapi juga seorang yang dengan sadar dan terencana bisa mentransportasikan nilai-nilai kebaikan kepada siswanya, dengan menunjukkan sikap dan kepribadian terpuji dihadapan para siswanya. Sudahkan mereka menjadi orang pertama yang mencontohkan betapa pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan proses pembelajaran, menghargai etos kerja, disiplin, menghormati orang lain, suka menolong, gemar membaca, tidak merokok, tidak terlambat dan berbagai sikap dan kepribadian positif lainnya.

Pertanyaan seperti di atas harus terus disampaikan agar perubahan yang substansial itu benar-benar terjadi. Kita mesti khawatir kalau ternyata perubahan itu tidak pernah ada ataupun kalau ada perubahan itu lebih banyak dalam hal artificial, seperti perubahan life style (gaya hidup) sebagian guru kita yang telah dinyatakan sebagai guru profesional. Berubah dari seorang ‘Oemar Bakri’ yang sebelumnya datang ke sekolah dengan motor butut, menjadi seorang guru berdasi yang sekarang datang dengan menyetir mobil pribadi. Atau malah dari seorang yang sebelumnya telah menderita karena himpitan hutang kepada seorang yang semakin menderita karena menambah hutang baru untuk membeli aksesoris duniawi setiap bulan untuk menutupi hutang-hutang itu. Kalau ini yang terjadi, tentu sungguh sangat disayangkan.

Perlu Sistem Kontrol
Kekhawatiran akan fenonena di atas sangat beralasan, karena sampai hari ini belum ada sistem baru yang bisa mengontrol kerja para guru yang sudah disertifikasi ini. Karenanya,untuk mengantisipasi kehawatiran di atas, urgen danpenting dipikirkan oleh pemerintah sebuah sistem kontrol di setiap lembaga pendidikan untuk memastikan (baca:
melakukan assessmen) secara berkala dan terukur terhadap kinerja para guru profesional ini. Sepertinya kewajiban mengajar minimal 24 jam yang selama ni dijadikan syarat administrasi untuk mencairkan tunjangan profesi itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, sangat jauh dari cukup sebagai ‘alat bukti’ menilai kinerja seorang pendidik yang profesional. Menyerahkan sepenuhnya penilaian kepada kepala sekolah untuk mengontrol kinerja guru profesional ini juga beresiko, karena kadang kepala sekolah sendiri berada di dalam lingkungan masalah itu.

Pendapat saya, pada tahap awal, pemerintah bisa mengoptimalkan peran para pengawas sekolah di lingkungan dinas pendidikan (atau di depag) dalam menjalankan kontrol ini. Para pengawas tersebut, selain melakukan pembinaan rutin kepada para guru, semestinya juga harus menjalankan fungsi kontrolnya kepada seorang guru. Para pengawas tersebut mesti memeriksa dan memastikan bahwa para guru kita di sekolah telah benar-benar memiliki kompetensi pedagogis, misalnya dengan memeriksa kelengkapan pengajaran setiap guru, mulai dari perencanaan, sampai evaluasi. Apabila diperlukan, lembar penilaian dari pengawas bisa dijadikan sebagai tambahan persyaratan administratif untuk mencairkan tunjangan profesi pendidik itu.

Pada jangka panjang perlu dibikin sistem penilaian terhadap kinerja dan atau rekam jejak aktifitas guru-guru ini dilapangan. Pembentuka lembaga baru semisal tim auditor independen yang secara berkala bekerja menilai kinerja para guru setelah disertifikasi dengan sistem kinerja yang berbasis profesionalisme perlu dipikirkan. Tim idenependen ini nanti secara berkala melaporkan hasil ‘audit’ mereka dan sangat mungkin mereka merekomendasikan kepda pemerintah untuk memberhentikan pemberian tunjangan pendidik kepad guru tertentu yang setelah diperiksa tak layak lagi menerimanya.

Dengan adanya sistem kontrol seperti ini, pemerintah bisa memastikan bahwa tunjangan profesi pendidik ini hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar berhak dan layak memperolehnya. Pada saat yang sama, kekhawatiran kita bahwa tidak terjadinya perubahan substansial di dunia pendidikan kita barangkali bisa diminimalisir. Kalau tidak, harapan untuk menjadikan dunia pendidikan kita lebih baik hanya akan menjadi impian kosong kita. Kalau ini yang terjadi, tentu kehancuran dana miliaran rupiah yang dianggarkan pemerintah untuk program sertifikasi pendidik ini akan menjadi sia-sia belaka. Dan kita tentu sama sekali tak ingin mimpi buruk ini terjadi. Berbagai sumber.


MENDIDIK BUKAN SEKEDAR MENTRANSFER ILMU

Ki Hajar Dewantara pernah memberikan petuah berharga bagi para pendidik negeri ini. Tiga kalimat singkat yang padat makna. Yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani. Ketiga kalimat itu mengandung arti bahwa pendidikan harus mampu melmberikan contoh, memberikan pengaruh dan harus dapat mengendalikan peserta didik.

Jiwa pendidik pada diri guru, sebagaimana diariskan Ki Hajar Dewantara adalah jiwa ngemong, momong dan among yang berarti guru harus memiliki jiwa kasih sayang dan welas asih.

Namun pada prakteknya, memang sulit untuk bisa mewujudkan sebuah komunikasi yang baik antar guru dan murid. Di kelas hanya terjadi sebuah komunikasi satu arah, apa yang dikatakan guru harus ditelan mentah-mentah oleh murid-muridnya.

Padahal jika seorang guru mampu menanamkan ketauladan dalam dirinya sebagaimana tiga kalimat singkat warisan Ki Hajar Dewantara tersebut, niscaya guru akan mampu membuat murid-muridnya termotivasi, selalu bersemangat dalam kegiatan belajar mengajar. Di sini memang diperlukan guru yang tidak hanya bisa mendidik, tapi juga bisa mengajar.

Mendidik memang bukan sekedar memberikan penjelasan dengan menyampaikan materi dan memberi tugas pada peserta didik. Karenanya pula, seorang pendidik punya kewajiban untuk selalu meng-up grade kemampuan dalam penguasaan pengetahuan dan metode pengajaran serta memanfaatkan sumber-sumber belajar dari luar sekolah.

Tujuannya agar pendidik tidak mengalami stagnasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan selalu dinamis mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.

Menurut Rektor Universitas Negara Jakarta Prof. Sutjipto saat ini 50 persen dari guru di Indonesia belum memiliki kualitas sesuai standarisasi pendidikan nasional (SPN). Apalagi jika diukur berdasarkan standarisasi internasional, sudah pasti kualitas guru kita akan semakin tertinggal.

Mengapa hal ini terjadi?. Menurut Christoper Bjor, penulis buku Indonesia Education: Teachers Schools, and Central Bureaucracy, salah satu faktornya adalah tidak adanya profesionalisme dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik, sehingga proses belajar mengajar tak lebih sebagai acara ritual kurikuler yang menjemukan karena tidak adanya kreativitas dan inovasi para pendidiknya.

Baik inovasi dan kreativitas dalam metode pengajaran maupun materi ajar yang disampaikan. Akibatnya proses transfer of knowledge-nya tidak berjalan secara efektif karena peserta didik merasa tidak bergairah dan suasana kegiatan belajar mengajar (KBM) menjadi beku.
Padahal tugas seorang pendidik tidak terbatas pada pemenuhan otak siswa saja dengan berbagai ilmu pengetahuan. Namun seorang guru juga harus mengajarkan pendidikan mnyeluruh yang memasukan beberapa aspek akidah dan tata moral. Oleh karenanya, seorang pendidik yang sukses harus mampu menjadikan perkataan dan tingkah laku siswanya di kelas sesuai nilai moral yang berlaku.

Mengapa Harus Mendidik

Mendiidk adalah kata imbuhan yang berkarakter dari kata “didik” dari kata itu pula terbentuk kata lain yakni pendidik dan terdidik. Kata mendidik merupakan kata kerja dari suatu perbuatan didik, yakni membuat orang jadi terdidik, mentransfer pengetahuan kepada orang lain dengan cara yang sistemik.

Jadi mendidik adalah suatu perbuatan pentransferan pengetahuan kepada seseorang dari tidak tahu menjadi tahu secara sistemik, sehingga bermanfaat dalam kehidupannya, di masa kini dan mendatang serta tidak tergantung kepada orang lain.

Hal ini berarti adanya pendidikan manusia mampu hidup mandiri, dapat membedakan antara yang baik dengan yang tidak baik dan tentunya dapat menjadik halifah di bumi.
Adapun kata pendidik lebih ditujukan kepada orang yang menerima didikan yakni guru, sedangkan terdidik adalah orang yang menerima didikan yakni murid atau siswa. Selain tiga kata tersebut di atas kita juga mengenal istilah pendidikan yang merupakan bentukan lain dari kata didik.

Jadi tugas pendidik yang paling inti adalah emmbimbing si terdidik agar bisa mengenal dirinya soal kehidupan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya. Tentunya para terdidik ini juga memiliki pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi juga keimanan dan ketakwaan.

Sehingga yang didapat dalam proses pendidikan itu tidak hanya sekedar diketahui melainkan juga diamalkan dan diyakini sendiri terutama dalam hal ilmu keagamaan.

Mendidik lebih Luas dari Mengajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengajar berarti proses memberi petunjuk yang diberikan kepada orang lain supaya diketahui (diturut). Sementara mendidik. Artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran) mengenal akhlak dan kecerdasan. Berdasarkan pengertian harfiah tersebut, dapat dikatakan bahwa “mendidik sudah pasti mengajar, tetapi mengajar belum tentu mendidik”. Sehingga pengertian medidik adalah lebih luas dibandingkan mengajar.

Perbedaan filosofis antara mendidik dan mengajar memang sering tidak disadari para guru. Seorang guru yang mengajar dengan tujuan mendidik, perlu menjadi profesinya itu sebagai sebuah seni menyebarkan akhlak positif bagi generasi muda, menjadikan tingkah lakunya agar bisa menjadi faktor penentu dalam keberhasilan proses pendidikan.

Tingkah laku pendidik akan menjadi teladan bagi anak didiknya. Tak salah dengan pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari” sosok guru menjadi panutan anak didiknya dalam berprilaku. Guru menjadi pedoman ‘digugu dan ditiru’ atau didengar dan dicontoh.

Guru pun mengemban tanggung jawab semakin luas. Saat ini banyak pula guru baru sebatas menjadi ‘pengajar’ bukan ‘pendidik’. Guru mengajar hanya dengan mulut, tapi mendidik memerlukan ketetapan dan kelembutan hati.

Karena itu, perlu diperjelas bahwa tugas pokok guru adalah mengajar, sekaligus mendidik. Guru diharapkan dapat membekali anak didiknya dengan ilmu yang bermanfaat dan berakhlak mulia. Berbudi pekerti luhur. Itulah inti mendidik dengan cinta kasih.

Mendidik adalah Roh Pendidikan

Sebenarnya, pada awalnya istilah pedagogi lebih dulu dikenal dari pada istilah edukasi. Namun pada perkembangannya, ketika sekitar dekade 1960-an, di Amerika terjadi kekalutan besar. Mereka merasa tertinggal dengan bangsa lain, khususnya Uni Soviet yang baru saja meluncurkan satelitnya Sputnik.

Kegiatan peenlitian di Amerika pun lebih digiatkan, ilmu pengetahuan menjadi sorotan utama di sana. Dan untuk menjamin keunggulan ilmu pengetahuan itu, Amerika Serikat merombak pendidikannya.

Kurikulum dimodernisasi terutama dalam area ilmu pengetahuan matematika dan bahasa asing. Proyek telah dikembangkan oleh Universitas akademis, seperti Physical Science Studi Commitee Eksakta (PSSC) dan University of Illinois Committee on School Mathematics (ULCSM), hal itu dimaksudkan untuk memperbaharui dan meningkatkan mutu isinya, merangsang teknik mengajar yang diorientasikan pada penemuan (discovery oriented).

Dari sinilah kemudian mengubah segala bentuk pedagogik menjadi “education” yang dalam padanan Bahasa Indonesia dikenal dengan pendidikan. Sehingga, pandangan klasik tentang pendidikan tempo dulu yang kita kenal mulai luntur.

Arah pendidikan pun berubah dari mengajarkan tentang kebajikan, menjadi ruang untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk menguasai manusia lainnya. Para murid tidak lagi diajarkan tentang nilai-nailai kesantunan, kasih sayang dan menghormati hak sesama.

Padahal mendidi atau pedagogy sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan eksatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan perdaban.

Butir kedua dan ketiga di atas memberikan pengertian bahwa mendidik bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Mendidik menjadi inti dari pendidikan itu sendiri. Disinilah roh pendidikan dititupkan melalui mendidik. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi penolong bagi umat manusia. Sementara mengajar hanya pada tataran transfer of knowledge.

Gunakan Hati dan Kasih
Mengajar di sekolah memang berbeda dengan bentuk didikan orang tua terhadap anaknya. Mengajar dapat dikatakan sebagai kegiatan yang gampang-gampang susah.

Satu hal yang sangat penting, sebagai inti dalam mendidik adalah mendidik dengan cinta kasih pun tidak dapat terlepas dari proses mendidik dengan hati, penuh kasih sayang dan memberikan teladan yang baik.

Para pendidik tidak hanya mentransfer ilmu semata, unsur kasih sayang yang tidak diberikan oleh guru dalam mengajar memberikan keyakinan kepada para muridnya bahwa mereka mampu berprestasi, mereka bisa berkreasi dan mereka dapat melakukan yang terbaik.

Anak-anak diberikan suatu kebebasan berekspresi dan berkiprah dalam berbagai bidang yang mereka kuasai, sehingga mereka mampu berbuat sesuatu secara positif dan bermanfaat. Guru hendaknya tidak sebatas menjalankan peran antar guru dan anak didik. Perlakuan anak didik ibarat anak kandung sendiri. Curahan kasih sayangnya tulus, tidak berdasar batas guru dan murid.

Selain cinta kasih persoalan penting yang perlu diperhatikan dalam menjalankan proses mendidik adalah kepercayaan dan kewibawaan. Ketiga hal itu bisa saling bertautan dan saling melengkapi. Cinta melahirkan kepercayaan. Kepercayaan terhadap guru pun dapat menumbuhkan kewibawaan guru dihadapan anak didiknya.



MENDIDIK BUKAN SEKEDAR MENTRANSFER ILMU

Ki Hajar Dewantara pernah memberikan petuah berharga bagi para pendidik negeri ini. Tiga kalimat singkat yang padat makna. Yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani. Ketiga kalimat itu mengandung arti bahwa pendidikan harus mampu melmberikan contoh, memberikan pengaruh dan harus dapat mengendalikan peserta didik.

Jiwa pendidik pada diri guru, sebagaimana diariskan Ki Hajar Dewantara adalah jiwa ngemong, momong dan among yang berarti guru harus memiliki jiwa kasih sayang dan welas asih.

Namun pada prakteknya, memang sulit untuk bisa mewujudkan sebuah komunikasi yang baik antar guru dan murid. Di kelas hanya terjadi sebuah komunikasi satu arah, apa yang dikatakan guru harus ditelan mentah-mentah oleh murid-muridnya.

Padahal jika seorang guru mampu menanamkan ketauladan dalam dirinya sebagaimana tiga kalimat singkat warisan Ki Hajar Dewantara tersebut, niscaya guru akan mampu membuat murid-muridnya termotivasi, selalu bersemangat dalam kegiatan belajar mengajar. Di sini memang diperlukan guru yang tidak hanya bisa mendidik, tapi juga bisa mengajar.

Mendidik memang bukan sekedar memberikan penjelasan dengan menyampaikan materi dan memberi tugas pada peserta didik. Karenanya pula, seorang pendidik punya kewajiban untuk selalu meng-up grade kemampuan dalam penguasaan pengetahuan dan metode pengajaran serta memanfaatkan sumber-sumber belajar dari luar sekolah.

Tujuannya agar pendidik tidak mengalami stagnasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan selalu dinamis mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.

Menurut Rektor Universitas Negara Jakarta Prof. Sutjipto saat ini 50 persen dari guru di Indonesia belum memiliki kualitas sesuai standarisasi pendidikan nasional (SPN). Apalagi jika diukur berdasarkan standarisasi internasional, sudah pasti kualitas guru kita akan semakin tertinggal.

Mengapa hal ini terjadi?. Menurut Christoper Bjor, penulis buku Indonesia Education: Teachers Schools, and Central Bureaucracy, salah satu faktornya adalah tidak adanya profesionalisme dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik, sehingga proses belajar mengajar tak lebih sebagai acara ritual kurikuler yang menjemukan karena tidak adanya kreativitas dan inovasi para pendidiknya.

Baik inovasi dan kreativitas dalam metode pengajaran maupun materi ajar yang disampaikan. Akibatnya proses transfer of knowledge-nya tidak berjalan secara efektif karena peserta didik merasa tidak bergairah dan suasana kegiatan belajar mengajar (KBM) menjadi beku.
Padahal tugas seorang pendidik tidak terbatas pada pemenuhan otak siswa saja dengan berbagai ilmu pengetahuan. Namun seorang guru juga harus mengajarkan pendidikan mnyeluruh yang memasukan beberapa aspek akidah dan tata moral. Oleh karenanya, seorang pendidik yang sukses harus mampu menjadikan perkataan dan tingkah laku siswanya di kelas sesuai nilai moral yang berlaku.

Mengapa Harus Mendidik

Mendiidk adalah kata imbuhan yang berkarakter dari kata “didik” dari kata itu pula terbentuk kata lain yakni pendidik dan terdidik. Kata mendidik merupakan kata kerja dari suatu perbuatan didik, yakni membuat orang jadi terdidik, mentransfer pengetahuan kepada orang lain dengan cara yang sistemik.

Jadi mendidik adalah suatu perbuatan pentransferan pengetahuan kepada seseorang dari tidak tahu menjadi tahu secara sistemik, sehingga bermanfaat dalam kehidupannya, di masa kini dan mendatang serta tidak tergantung kepada orang lain.

Hal ini berarti adanya pendidikan manusia mampu hidup mandiri, dapat membedakan antara yang baik dengan yang tidak baik dan tentunya dapat menjadik halifah di bumi.
Adapun kata pendidik lebih ditujukan kepada orang yang menerima didikan yakni guru, sedangkan terdidik adalah orang yang menerima didikan yakni murid atau siswa. Selain tiga kata tersebut di atas kita juga mengenal istilah pendidikan yang merupakan bentukan lain dari kata didik.

Jadi tugas pendidik yang paling inti adalah emmbimbing si terdidik agar bisa mengenal dirinya soal kehidupan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya. Tentunya para terdidik ini juga memiliki pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi juga keimanan dan ketakwaan.

Sehingga yang didapat dalam proses pendidikan itu tidak hanya sekedar diketahui melainkan juga diamalkan dan diyakini sendiri terutama dalam hal ilmu keagamaan.

Mendidik lebih Luas dari Mengajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengajar berarti proses memberi petunjuk yang diberikan kepada orang lain supaya diketahui (diturut). Sementara mendidik. Artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran) mengenal akhlak dan kecerdasan. Berdasarkan pengertian harfiah tersebut, dapat dikatakan bahwa “mendidik sudah pasti mengajar, tetapi mengajar belum tentu mendidik”. Sehingga pengertian medidik adalah lebih luas dibandingkan mengajar.

Perbedaan filosofis antara mendidik dan mengajar memang sering tidak disadari para guru. Seorang guru yang mengajar dengan tujuan mendidik, perlu menjadi profesinya itu sebagai sebuah seni menyebarkan akhlak positif bagi generasi muda, menjadikan tingkah lakunya agar bisa menjadi faktor penentu dalam keberhasilan proses pendidikan.

Tingkah laku pendidik akan menjadi teladan bagi anak didiknya. Tak salah dengan pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari” sosok guru menjadi panutan anak didiknya dalam berprilaku. Guru menjadi pedoman ‘digugu dan ditiru’ atau didengar dan dicontoh.

Guru pun mengemban tanggung jawab semakin luas. Saat ini banyak pula guru baru sebatas menjadi ‘pengajar’ bukan ‘pendidik’. Guru mengajar hanya dengan mulut, tapi mendidik memerlukan ketetapan dan kelembutan hati.

Karena itu, perlu diperjelas bahwa tugas pokok guru adalah mengajar, sekaligus mendidik. Guru diharapkan dapat membekali anak didiknya dengan ilmu yang bermanfaat dan berakhlak mulia. Berbudi pekerti luhur. Itulah inti mendidik dengan cinta kasih.

Mendidik adalah Roh Pendidikan

Sebenarnya, pada awalnya istilah pedagogi lebih dulu dikenal dari pada istilah edukasi. Namun pada perkembangannya, ketika sekitar dekade 1960-an, di Amerika terjadi kekalutan besar. Mereka merasa tertinggal dengan bangsa lain, khususnya Uni Soviet yang baru saja meluncurkan satelitnya Sputnik.

Kegiatan peenlitian di Amerika pun lebih digiatkan, ilmu pengetahuan menjadi sorotan utama di sana. Dan untuk menjamin keunggulan ilmu pengetahuan itu, Amerika Serikat merombak pendidikannya.

Kurikulum dimodernisasi terutama dalam area ilmu pengetahuan matematika dan bahasa asing. Proyek telah dikembangkan oleh Universitas akademis, seperti Physical Science Studi Commitee Eksakta (PSSC) dan University of Illinois Committee on School Mathematics (ULCSM), hal itu dimaksudkan untuk memperbaharui dan meningkatkan mutu isinya, merangsang teknik mengajar yang diorientasikan pada penemuan (discovery oriented).

Dari sinilah kemudian mengubah segala bentuk pedagogik menjadi “education” yang dalam padanan Bahasa Indonesia dikenal dengan pendidikan. Sehingga, pandangan klasik tentang pendidikan tempo dulu yang kita kenal mulai luntur.

Arah pendidikan pun berubah dari mengajarkan tentang kebajikan, menjadi ruang untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk menguasai manusia lainnya. Para murid tidak lagi diajarkan tentang nilai-nailai kesantunan, kasih sayang dan menghormati hak sesama.

Padahal mendidi atau pedagogy sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan eksatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan perdaban.

Butir kedua dan ketiga di atas memberikan pengertian bahwa mendidik bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Mendidik menjadi inti dari pendidikan itu sendiri. Disinilah roh pendidikan dititupkan melalui mendidik. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi penolong bagi umat manusia. Sementara mengajar hanya pada tataran transfer of knowledge.

Gunakan Hati dan Kasih
Mengajar di sekolah memang berbeda dengan bentuk didikan orang tua terhadap anaknya. Mengajar dapat dikatakan sebagai kegiatan yang gampang-gampang susah.

Satu hal yang sangat penting, sebagai inti dalam mendidik adalah mendidik dengan cinta kasih pun tidak dapat terlepas dari proses mendidik dengan hati, penuh kasih sayang dan memberikan teladan yang baik.

Para pendidik tidak hanya mentransfer ilmu semata, unsur kasih sayang yang tidak diberikan oleh guru dalam mengajar memberikan keyakinan kepada para muridnya bahwa mereka mampu berprestasi, mereka bisa berkreasi dan mereka dapat melakukan yang terbaik.

Anak-anak diberikan suatu kebebasan berekspresi dan berkiprah dalam berbagai bidang yang mereka kuasai, sehingga mereka mampu berbuat sesuatu secara positif dan bermanfaat. Guru hendaknya tidak sebatas menjalankan peran antar guru dan anak didik. Perlakuan anak didik ibarat anak kandung sendiri. Curahan kasih sayangnya tulus, tidak berdasar batas guru dan murid.

Selain cinta kasih persoalan penting yang perlu diperhatikan dalam menjalankan proses mendidik adalah kepercayaan dan kewibawaan. Ketiga hal itu bisa saling bertautan dan saling melengkapi. Cinta melahirkan kepercayaan. Kepercayaan terhadap guru pun dapat menumbuhkan kewibawaan guru dihadapan anak didiknya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar