Jumat, 11 April 2014

Kaidah-Kaidah Ibadah Yang Benar


Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Atsari

Sesungguhnya, kemuliaan seorang hamba, ialah dengan beribadah kepada Allah semata, tanpa menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Jika seorang hamba semakin menambah ketundukan dan peribadahannya kepada Allah, maka semakin bertambah pula kesempurnaan dan derajatnya.

Ibadah adalah hak Allah yang menjadi kewajiban hamba. Kebaikannya akan kembali kepada hamba itu sendiri. Karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan hambaNya.

وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (seluruh makhluk). [al 'Ankabut/29 : 6].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di dalam tafsir beliau tentang ayat ini: "Yaitu, barangsiapa melakukan amal shalih, maka sesungguhnya manfaat amal shalihnya akan kembali kepada dirinya sendiri, karena sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Cukup (yakni tidak membutuhkan) dari perbuatan-perbuatan hamba. Walaupun mereka semua berada pada hati hambaNya yang paling bertakwa, hal itu tidaklah menambah sesuatupun dalam karajaanNya"[1].

Walaupun manusia dengan akalnya dapat memahami mengenai kewajiban beribadah kepada Rabb-nya, namun dia tidak mungkin mengetahui cara beribadah kepada Allah secara benar hanya dengan melandaskan pada akal dan perasaannya. Sehingga Allah mengutus rasul-rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya untuk memberikan petunjukNya.

Allah berfirman:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

… Maka jika datang kepada kamu (manusia) petunjuk dariKu, lalu barangsiapa mengikuti petunjukKu, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. [Thaha/20 : 123].

Adapun sebelum diutus rasul dan tanpa petunjuk Rasul, maka manusia itu di dalam keadaan jahiliyah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (as Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [al Jumu'ah/62 : 2].

KAIDAH-KAIDAH IBADAH
Ibadah yang benar kepada Allah dibangun di atas dasar-dasar atau kaidah-kaidah yang kokoh. Ini semua dijelaskan oleh Allah di dalam kitabNya, dan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya, serta oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

1. Ibadah adalah tauqifiyah.
Maknanya, ibadah tidak dilakukan kecuali dengan apa yang diperintahkan atau dituntunkan wahyu Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya akal semata-mata tidak dapat menjangkau perincian masalah ibadah, masalah halal-haram, dan masalah-masalah yang dibenci atau dicintai oleh Allah Ta'ala.

Allah berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [Hud/11:112].

Ayat ini dengan tegas menyatakan, beribadah harus mengikuti perintah Allah dan tidak boleh melewati batas. Tatkala orang-orang musyrik mengharamkan sebagian binatang ternak dan menghalalkan sebagian lainnya, maka Allah membantah mereka dengan firmanNya:

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ وَصَّاكُمُ اللَّهُ بِهَٰذَا ۚ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. [al An’am/6:144]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsir beliau: “(Firman Allah: Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu?") Allah mengejek orang-orang musyrik tentang perkara yang mereka buat-buat dan mereka adakan secara dusta atas (nama) Allah, yaitu pengharaman yang mereka lakukan. (Firman Allah: Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?), yaitu tidak ada seorangpun yang lebih zhalim daripada mereka.” [2]

Setelah menjelaskan ayat-ayat tentang batilnya anggapan orang-orang musyrik yang mengharamkan sebagian binatang ternak dan menghalalkan sebagian lainnya dengan tanpa hujjah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah berkata: “Tidak tersisa bagi kamu kecuali dakwaan semata, tidak ada jalan bagi kamu untuk menetapkan kebenarannya dan keabsahannya. Dakwaan itu adalah bahwa kamu mengatakan: 'Sesungguhnya Allah telah mewasiatkan kami tentang ini, dan Allah telah memberikan wahyu kepada kami sebagaimana Dia telah memberikan wahyu kepada para rasulNya. Bahkan telah diwahyukan kepada kami sebuah wahyu yang berbeda dengan apa yang diserukan oleh para rasul dan apa yang diturunkan kitab-kitab'. Tetapi kedustaan tersebut pastilah diketahui oleh setiap orang. Oleh karena itulah Allah berfirman: 'Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?' Yaitu, bersamaan kedustaannya dan berdusta (atas nama Allah), dia berniat menyesatkan hamba-hamba Allah dari jalan Allah, dengan tanpa bukti dari Allah, tanpa penjelasan, tanpa akal, dan tanpa riwayat (dari Rasul)”.[3]

Setelah menyebutkan ayat 59 dan 60 surat Yunus, juga ayat 116 dan 117 surat an Nahl, Syaikh Muhamad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: Sesungguhnya termasuk kejahatan yang besar, yaitu :

1. Seseorang mengatakan tentang sesuatu itu halal, padahal dia tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.

2. Atau seseorang mengatakan tentang sesuatu itu haram, padahal dia tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.

3. Atau seseorang mengatakan tentang sesuatu itu wajib, padahal dia tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.

4. Atau seseorang mengatakan tentang sesuatu itu tidak wajib, padahal dia tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.

Demikian ini merupakan kejahatan dan adab yang buruk terhadap Allah Azza wa Jalla. Wahai hamba Allah, engkau mengetahui bahwa hukum adalah milik Allah, tetapi bagaimana kemudian engkau mendahuluiNya? Engkau berkata tentang sesuatu yang tidak engkau ketahui tentang agama dan syari’atNya? Sesungguhnya Allah telah merangkaikan (larangan) berbicara tentang Allah tanpa ilmu dengan syirik [surat al A’raf/7 ayat 33].[4]

2. Ibadah harus dilakukan dengan ikhlas, bersih dari noda-noda syirik.
Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan. Adapun menurut syara', yang dimaksud ikhlas adalah memurnikan niat dalam beribadah kepada Allah, semata-mata mencari ridha Allah, menginginkan wajah Allah, dan mengharapkan rahmatNya, takut terhadap siksaNya, dan mencari pahala (keuntungan) akhirat. Serta membersihkan niat dari syirik niat, riya’, sum’ah, mencari pujian, balasan, dan ucapan terimakasih dari manusia, serta niat duniawi lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasaa-i, no. 3140]. [5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia menyekutukan selain Aku bersamaKu pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya. [HR Muslim no. 2985].

Jika ibadah dicampuri dengan syirik, maka syirik itu menggugurkan ibadah tersebut, betapa pun banyak ibadah yang telah dilakukan. Allah berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [az Zumar/39:65].

Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah, di dalam tafsirnya mengenai ayat ini, beliau berkata: “Dalam nubuwah seluruh nabi, bahwa syirik itu melenyapkan amalan, sebagaimana Allah telah berfirman di dalam surat al An’am”.[6]

Syaikh Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baz rahimahullah berkata,"Telah maklum berdasarkan dalil-dalil syar’i dari al Kitab dan as Sunnah, bahwa seluruh amalan dan perkataan hanyalah sah dan diterima jika muncul dari aqidah shahihah (yang benar). Jika aqidah tidak shahihah, maka seluruh amalan dan perkataan yang muncul pun menjadi batal.”[7]

3. Ibadah harus mutaba’ah, yaitu meneladani Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam .
Orang yang telah bersyahadat bahwa Nabi Muhammad n adalah utusan Allah, maka syahadat tersebut memuat kandungan: meyakini berita beliau, mentaati perintah beliau, menjauhi larangan beliau, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’at beliau.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kamu (umat Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (pahala) hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [al Ahzab/33 : 21].

Sehingga, siapapun yang beribadah dengan tidak mengikuti Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam, maka ibadahnya tersebut tertolak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini (agama), apa-apa yang bukan padanya, maka urusan itu tertolak. [HR Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718]

4. Ibadah yang telah ditetapkan, meliputi sebabnya, jenisnya, kadarnya, caranya, waktunya, dan tempatnya, maka wajib dilakukan sebagaimana yang dituntunkan. Tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan tersebut. Sehingga, barangsiapa beribadah kepada Allah, namun ibadahnya itu tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh syari'at, maka ibadahnya tersebut tertolak.
Contoh:

a). Sebab. Orang yang bertahajjud pada malam 27 Rajab dengan sebab anggapan bahwa malam itu adalah malam Isra' Mi'raj.
Sebagaimana sudah diketahui, tahajjud termasuk ibadah sunnah, namun ketika dia menghubungkan dengan sebab yang tidak benar menurut syari'at, maka ibadahnya tersebut menjadi bid'ah.

b). Jenis. Ibadah qurban telah ditetapkan jenisnya dengan binatang ternak, yaitu onta, sapi, atau kambing. Jika ada orang berqurban dengan kuda, kelinci atau ayam, maka qurban itu tertolak.

c). Kadar/ukuran. Shalat subuh telah ditetapkan dua raka'at. Sehingga barangsiapa sengaja menambahnya, maka shalatnya tidak sah, karena menyelisihi kadar yang telah ditetapkan syari'at.

d). Cara. Barangsiapa mengubah tertib atau cara-cara wudhu' atau shalat, maka ibadahnya tersebut tidak sah, karena telah menyelisihi cara yang ditetapkan syari'at.

f). Waktu. Jika seseorang menyembelih qurban pada bulan Rajab, atau puasa Ramadhan pada bulan Syawwal, atau wukuf di 'Arafah pada tanggal 9 Dzul qa'dah, maka itu semua tidak sah, karena menyelisihi waktu ibadah yang benar.

d). Tempatnya. Orang yang i'tikaf di rumahnya, atau wukuf di Mudzalifah, maka itu tidak sah, karena menyelisihi tempat ibadah yang telah ditetapkan.[8]

5. Ibadah harus dilakukan dengan dasar kecintaan, mengharapkan rahmat Allah, takut siksaNya dan disertai ketundukan dan pengangungan kepada Allah.

Ketika Allah memuji Nabi Zakaria sekeluarga, Dia berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka (Nabi Zakaria sekeluarga) adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. [al Anbiya’/21: 90].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,"Ibadah, menggabungkan kesempurnaan (puncak) kecintaan dan kesempurnaan ketundukan. Orang yang beribadah adalah orang yang mencintai dan tunduk. (Ini) berbeda dengan orang yang mencintai seseorang, yang ia tidak tunduk kepadanya, tetapi ia mencintainya karena menjadikannya sebagai perantara kepada perkara lain yang ia cintai. Dan (juga) berbeda dengan orang yang tunduk kepada seseorang, yang ia tidak mencintainya, seperti orang yang tunduk kepada seorang zhalim. Maka keduanya ini bukanlah ibadah yang murni." [9]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata: Ibadah, asal maknanya adalah kerendahan (ketundukan) juga (seperti makna din). Tetapi ibadah yang diperintahkan (oleh Allah) mengandung makna kerendahan (ketundukan) dan makna kecintaan. Sehingga ibadah yang diperintahkan (oleh Allah) itu mengandung sifat puncak kerendahan (ketundukan) kepada Allah disertai puncak kecintaan kepadaNya.

Barangsiapa tunduk kepada seorang manusia disertai kebenciannya kepadanya, maka ia tidak menjadi seorang yang beribadah kepadanya. Dan seandainya seseorang mencintai sesuatu dan ia tidak tunduk kepadanya, maka ia tidak menjadi seorang yang beribadah kepadanya. Sebagaimana seseorang mencintai anaknya, dan kawannya.

Oleh karena itu, dalam beribadah kepada Allah tidak cukup dengan salah satu dari kedua sifat itu saja. Tetapi seorang hamba, (ia) wajib menjadikan Allah sebagai yang paling dicintai daripada segala sesuatu, dan menjadikan Allah yang paling diagungkan daripada segala sesuatu. Bahkan tidak ada yang berhak mendapatkan kecintaan dan ketundukan yang sempurna, kecuali Allah. Sehingga apa saja yang dicintai bukan karena Allah, maka kecintaannya itu rusak. Dan apa saja yang diagungkan bukan dengan perintah Allah, maka pengagungannya itu batil.[10]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam sya'irnya, beliau menjelaskan tonggak ibadah, sebagai berikut:

Dan ibadah kepada (Allah) Yang Maha Pemurah,
adalah puncak kecintaan kepadaNya bersama kepatuhan
dari orang yang beribadah kepadaNya.
Itulah dua kutub yang orbit ibadah beredar pada keduanya.
Orbit itu tidak akan beredar sampai kedua kutubnya tegak.
Dan beredarnya dengan perintah. Yaitu perintah RasulNya.
Tidak dengan (perintah) hawa nafsu, kemauan diri sendiri, dan setan. [11]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Di antara Salaf mengatakan, 'Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan kecintaan, maka dia seorang zindiq (munafik). Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan harapan, maka dia seorang Murji'ah.[12] Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut, maka dia seorang Haruri. [13] Dan barangsiapa beribadah kepada Allah dengan kecintaan, rasa takut, dan harapan, maka dia seorang yang beriman, bertauhid".[14]

6. Kewajiban ibadah tidak gugur dari hamba, semenjak baligh sampai meninggal dunia.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali ‘Imran/3:102].

Manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah ialah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkewajiban beribadah sampai wafatnya. Maka orang-orang yang derajatnya di bawah beliau, tentu lebih wajib untuk beribadah kepada Allah sampai matinya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan beribadahlah kepada Rabb-mu (Penguasamu) sampai al yaqin (kematian) datang kepadamu. [al Hijr/15:99]

Para ulama ahli tafsir bersepakat, makna al yaqin dalam ayat ini adalah kematian. Hal ini, sebagaimana tersebut dalam firman Allah pada ayat lain, yang memberitakan pertanyaan penduduk surga kepada penduduk neraka:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّىٰ أَتَانَا الْيَقِينُ

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka (penduduk neraka) menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami al yaqin (kematian)". [al Muddatstsir/74: 42-47].

Setelah kita mengetahui kaidah-kaidah tentang ibadah ini, maka ketahuilah, seseorang yang memiliki anggapan bahwa “kewajiban beribadah kepada Allah dengan syari’at Nabi Muhammad gugur atas diri seseorang yang telah mencapai hakikat atau ma’rifat", sungguh anggapan ini bertentangan dengan al Qur`an, al Hadits dan kesepakatan umat Islam, semenjak dahulu sampai sekarang.

Demikianlah enam kaidah penting berkaitan dengan masalah ibadah, semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir al Qur`anil 'Azhim, surat al 'Ankabut/29 ayat 6.
[2]. Tafsir al Qur`anul ‘Azhim, surat al An’am/6 ayat 144.
[3]. Tafsir Taisir Karimir-Rahman, surat al An’am/6 ayat 144.
[4]. Kitabul ‘Ilmi, halaman 75-76.
[5]. Lihat Silsilah ash-Shahihah no. 52, Ahkamul Janaiz, halaman 63.
[6]. Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan.
[7]. 'Aqidah Shahihah wa Nawaqidhul Islam, halaman 3.
[8]. Lihat al Ibda' fi Bayani Kamalisy-Syar'i wa Khatharil Ibtida', halaman 21-22, karya Syaikh al 'Utsaimin.
[9]. Kitab Qaidah fil Mahabbah, dalam Jami’ur-Rasail, Juz 2, halaman 284.
[10]. Kitab al ‘Ubudiyah, hlm. 23-24, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq Khalid 'Abdul Lathif al ‘Alami, Penerbit Darul Kitab al ‘Arabi.
[11]. Kitab Fathul Majid, halaman 28, karya Syaikh 'Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Penerbit Dar Ibni Hazm.
[12]. Firqah yang beranggapan, bahwa amal tidak termasuk hakikat iman. Mereka juga beranggapan, dengan adanya iman, maka maksiat tidak membahayakan.
[13]. Yakni orang yang berfaham Khawarij. Mereka sangat takut kepada Allah, sehingga rasa takut mereka itu melewati batas, sampai mengkafirkan orang Islam yang melakukan dosa besar. Adapun Haruri adalah nisbat kepada Harura', kampung di luar kota Kufah, tempat mereka berkumpul di sana sebelum memberontak kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib.
[14]. Al 'Ubudiyah, halaman 78-79.

Pengertian Ibadah Dalam Islam


PENGERTIAN IBADAH DALAM ISLAM[1]


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]

2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.

3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.

Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.

Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.

Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.

Rabu, 09 April 2014

Kehebatan Tauhid, Menghapus Semua Dosa


KEHEBATAN TAUHID, MENGHAPUS SEMUA DOSA

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin


Apa rahasia kehebatan tauhid, sehingga mampu menghapus segala dosa, sebesar apapun ? Seorang Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu misalnya, tokoh yang sebelum masuk Islam terkenal paling menentang ajaran Islam dan terkenal dengan kekafirannya serta pernah mengubur putrinya hidup-hidup. Namun dengan masuk Islam, mentauhidkan peribadatan hanya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala saja, maka terhapuslah segala dosa dan kesalahannya yang menggunung. Bahkan menjadi tokoh paling mulia di sisi Allâh sesudah Abu Bakar Radhiyallahu anhu.

Apalagi jika kesalahan seseorang lebih kecil, tentu akan lebih mudah terhapus dengan tauhid. Bahkan jika kesalahan serta kekufurannya lebih besar dari Umar Radhiyallahu anhu sekalipun, tetap semua itu akan hapus dan sirna dengan tauhid.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

"...وَمَنْ لَقِيَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطِيْئَةً لاَيُشْرِكُ بِي شَيْئًا، لَقِيْتُهُ بِمِثْلِهَا مَغْفِرَةً" رواه مسلم

Allâh Azza wa Jalla berfirman, "…Dan barangsiapa menjumpai-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Aku, maka Aku akan menjumpainya dengan ampunan yang sepenuh bumi pula". [HR. Muslim][1] .

Dalam Sunan Tirmidzi, dari Anas Radhiyallahu anhu , beliau mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allâh Tabaraka wa Ta'ala berfirman :

يَاابْنَ آدَمَ! إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَتُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika engkau datang menghadap kepada-Ku dengan membawa kesalahan-kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Ku, maka Aku akan datang kepadanya dengan membawa ampunah sepenuh bumi pula[2].

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aal asy-Syaikh (wafat th. 1285 H) menyebutkan bahwa al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, "Barangsiapa yang datang dengan membawa tauhid (kepada Allâh), meskipun memiliki kesalahan sepenuh bumi, niscaya Allâh akan menemuinya dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula"[3]

Maksudnya, hadits di atas menegaskan bahwa siapa yang bertauhid dengan sempurna, maka bisa mendapat ampunan dari dosa-dosanya meskipun dosa-dosa itu memenuhi bumi. Bukan hanya itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan bahwa orang yang sempurna tauhidnya, tidak akan diadzab oleh Allâh di akhirat.

Dalam hadits Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu tentang hak dan kewajiban hamba kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ وَلاَيُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئاً، وَحَقُّ الْعِباَدِ عَلَى اللهِ : أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً. قُلْتُ: ياَرَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ أُبَشِّر الناَّسَ؟ قَالَ : لاَتُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا. أخرجاه

Hak Allâh yang menjadi kewajiban para hamba ialah agar mereka beribadah kepada Allâh saja dan tidak mempersekutukan sesuatupun (syirik) dengan Allâh. Sedangkan hak hamba yang akan diperoleh dari Allâh ialah bahwa Allâh tidak akan mengadzab siapapun yang tidak mempersekutukan (syirik) sesuatu dengan Allâh." Aku (mu'adz) berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, tidakkah kabar gembira ini aku sampaikan kepada orang banyak ?’ Beliau menjawab, "Jangan engkau kabarkan kepada mereka, sebab mereka akan bergantung (dengan mengatakan: yang penting tidak syirik-pen) [HR. Bukhari dan Muslim][4]

Hadits ini menunjukkan, orang yang sama sekali tidak berbuat syirik dalam beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , ia tidak akan di adzab.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula :

مَنْ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَابْنُ أَمَتِهِ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ الله مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ(وفى رواية: أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ). أخرجاه

Siapa yang berkata: Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allâh saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba Allâh dan anak hamba (perempuan) Allâh, ia adalah manusia yang dicipta dengan kalimat-Nya, lalu dimasukkan ke dalam diri Maryam, dan ia adalah ruh yang dicipta oleh Allâh. Juga bersaksi bahwa sorga adalah benar adanya, dan nerakapun benar adanya, maka Allâh pasti akan memasukannya ke dalam sorga, melalui pintu mana saja yang dia kehendaki dari pintu-pintunya yang delapan. (Dalam riwayat lain: maka Allâh pasti akan memasukannya ke dalam sorga, sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukannya). [HR. Bukhari dan Muslim][5]

Masih banyak nash lain yang menceritakan kehebatan tauhid. Apa Rahasianya?
Di sini perlu dikaji beberapa hal di antaranya:

PENGERTIAN TAUHID
Tauhid ialah meng-Esakan Allâh Azza wa Jalla dengan hanya memberikan peribadatan kepada-Nya saja.[6] Artinya, agar orang beribadah (menyembah) hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja serta tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya (tidak syirik kepada-Nya). Dia beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mencurahkan kecintaan, pengagungan, harapan dan rasa cemas.[7]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menerangkan bahwa kata tauhid merupakan mashdar dari wahhada, yuwahhidu, artinya menjadikan sesuatu menjadi satu-satunya. Dan ini tidak akan terjadi kecuali dengan menggabungkan antara nafi (peniadaan) dan itsbât (penetapan). Meniadakan (peribadatan) dari selain yang di Esakan, serta menetapkan (peribadatan) hanya pada yang di Esakan.[8]

Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Tauhid yang di bawa Rasul Allâh sebagai ajarannya tidak lain berisi penetapan bahwa sifat Uluhiyah (berhak disembah) hanyalah milik Allâh Azza wa Jalla saja. Yaitu, ikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allâh Azza wa Jalla , tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia, tidak diserahkan sikap tawakal kecuali hanya kepada-Nya, tidak ada kecintaan kecuali karena-Nya, tidak dilakukan permusuhan kecuali karena-Nya dan tidak dilakukan amal perbuatan kecuali dalam rangka ridha-Nya. Dan itu semua mencakup penetapan nama-nama serta sifat-sifat-Nya sesuai dengan apa yang telah Dia tetapkannya sendiri bagi diriNya".[9]

Selanjutnya beliau rahimahullah mengatakan, "Bukanlah tauhid yang dimaksud sekedar Tauhid Rububiyah. Yaitu meyakini bahwa Allâh adalah pencipta alam semesta satu-satunya".[10]

Itulah hakikat tauhid yang menjadi intisari dakwah serta ajaran setiap Rasul Allâh, yaitu yang berisi dua hal pokok: Pertama, penolakan terhadap setiap sesembahan selain Allâh, dan kedua, penetapan bahwa sesembahan yang benar hanyalah Allâh Azza wa Jalla saja.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada setiap umat untuk menyeru kepada umat masing-masing, “Beribadahlah kalian kepada Allâh saja, dan jauhilah thaghut. [an-Nahl/16:36]

Dan banyak firman Allâh yang senada dengan ayat ini.

TUJUAN DICIPTAKANNYA MANUSIA
Adalah sangat naif dan dangkal jika orang berprasangka bahwa hidup di dunia ini hanyalah untuk tujuan dunia, untuk membangun dunia dengan segala gebyar serta teknologinya, dan untuk melakukan kebaikan-kebaikan duniawi hanya demi kebaikan serta kesejahteraan dunia.

Orang hidup pasti akan mati dan meninggalkan dunia fana ini menuju kehidupan lain. Dan pasti akan ada pertanggung jawaban dalam kehidupan lain itu. Karenanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa hidup di dunia ini memiliki tujuan agung yang bukan sekedar hidup, kemudian mati, lalu selesai. Tujuan agung itu adalah peribadatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Firman-Nya :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepadaKu. [adz-Dzariyât/51:56]

Ibadah yang dimaksud adalah ibadah murni yang tidak terkotori dengan peribadatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Jika seseorang dalam peribadatannya melakukan perbuatan syirik, mempersekutukan makhluk dengan Allâh, maka pasti Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan murka dan tidak akan ridha.[11]

Di antara dalilnya ialah, firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersukutukan) kepadaNya, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan Allâh, maka sungguh, dia telah mengadakan dosa yang sangat besar. [an-Nisâ'/4:48]

Juga firman-Nya :

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya (dosa) syirik (mempersekutukan Allâh), benar-benar merupakan kezaliman yang sangat besar. [Luqmân/31:13]

Demikian pula firman-Nya :

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allâh, maka janganlah kamu memohon di dalamnya kepada siapapun, di samping kepada Allâh. [al-Jin/72:18]

Jadi, bagaimana mungkin Allâh Azza wa Jalla tidak murka jika Dia Yang Maha Perkasa dan Sempurna disejajarkan dengan makhluk-Nya yang serba lemah dan kurang. Karena itulah, larangan terbesar dalam Islam adalah syirik. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun [An-Nisâ/4:36]

Demikian juga maksud diturunkannya kitab-kitab Allâh Azza wa Jalla serta diutusnya para rasul ialah agar para manusia beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja.[12] Dalilnya sangat banyak, di antaranya firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". [Al-Anbiya’/21:25]

Nah, agar orang tidak kecewa kelak dalam kehidupan di alam lain, ia harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh Penciptanya. Dan Penciptanya ini telah menunjuk utusan kepercayaan-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya. Ia adalah Rasûlullâh, utusan-Nya.

BAGAIMANA CARA BERTAUHID?
Adalah jelas bahwa Islam dibangun berdasarkan pondasi tauhid.[13] Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya apa yang diwahyukan kepadaku ialah bahwasanya sesembahan kamu adalah sesembahan yang Esa, maka apakah kamu telah Islam (berserah diri) kepada-Nya"? [al-Anbiyâ'/21:108]

Maka agar keislaman seseorang itu benar dan diterima di sisi Allâh Azza wa Jalla , ia harus bertauhid dengan benar, yaitu hanya memberikan peribadatan kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ikhlas dan tidak memberikan sedikitpun dari macam-macam ibadah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Tidak berdoa dan tidak memohon kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala , hal-hal yang hanya menjadi kekuasaan Allâh untuk memberinya; tidak kepada malaikat, tidak kepada Nabi, tidak kepada wali, tidak kepada 'orang pintar', tidak kepada pohon, batu, matahari, bulan, kuburan dan lain sebagainya.[14]

Jadi dalam bertauhid, orang harus menolak dan menyingkiri segala yang disembah selain Allâh Azza wa Jalla , dan hanya mengakui, menetapkan serta menjalankan bahwa peribadatan hanya merupakan hak Allâh saja, Pencipta alam semesta.

Bertauhid bukan sekedar mengikrarkan bahwa Allâh adalah satu-satunya Pencipta, Pemberi rizki, Pengatur serta Pemilik alam semesta. Sebab tauhid semacam ini telah diikrarkan pula oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[15] Tetapi bertauhid harus direalisasikan dengan memberikan peribadatan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , permohonan, doa dan kegiatan-kegiatan lain yang semakna, hanya kepada Allâh saja.

Dengan demikian, agar tauhid berfungsi menghapus segala dosa dan menghalangi masuk neraka, maka seseorang harus memurnikan tauhidnya kepada Allâh Azza wa Jalla serta berupaya menyempurnakannya. Ia harus memenuhi syarat-syarat tauhid, baik dengan hati, lidah maupun anggauta badannya. Atau –minimal- dengan hati dan lidahnya pada saat meninggal dunia.[16]

Intinya, menyerahkan peribadatan, kehidupan dan kematian hanya kepada Allâh, meninggalkan segala bentuk kemusyrikan serta segala pintu yang dapat menjerumuskan ke dalam kemusyrikan, sebagaimana telah diterangkan dalam ayat-ayat atau hadits-hadits di atas.

Demikian secara sangat ringkas gambaran tentang kehebatan tauhid yang memiliki daya hapus luar biasa terhadap dosa-dosa. Karena itu mengapa orang tidak tertarik memanfaatkan kesempatan ini ? yaitu dengan bertaubat, kembali bertauhid serta memurnikan tauhidnya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ? Dan mengapa tidak takut kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ?

Perlu disadari oleh setiap insan, bahwa kelak masing-masing akan datang sendiri dan mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dihadapan Allâh yang Maha adil keputusan hukumNya.

وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا

Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allâh sendiri-sendiri pada hari Kiamat. [Maryam/19:95]

REFERENSI
1. Fathul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri
2. Shahîh Muslim Bisyarhi an-Nawawi, Tahqîq wa Takhrîj: 'Ishâm ash-Shababithiy Hazim Muhammad dan 'Imad 'Amir. Daar al-Hadits, Kairo, cet. III, 1419 H/1998 M
3. Shahîh Muslim Syarh an-Nawawi, Tahqiq : Khalail Ma'mun Syiha
4. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma'ârif, Riyâdh, cet. I dari terbitan terbaru,
5. Dar'u Ta'ârudh al-'Aql wa an-Naql, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq: Iyad bin Abdul Lathif bin Ibrahim al-Qaisy, Maktabah ar-Rusyd, cet.I, 1427 H/2006 M.
6. Fathul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd, Tahqiq: Dr. Al-Walid bin Abdur Rahman Aal Fariyyan, Dar 'Alam al-Fawa'id, cet. VI, 1420 H.
7. Taqrib at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, I'dad & takhrij: Sayyid Abbas bin Ali al-Julaimi, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet I, 1413 H/1992 M
8. Syarh Kasyfi asy-Syubuhat wa yalihi Syarh al-Ushul as-Sittah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, I'dad : Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Dar ats-Tsurayya, cet. IV, 1426 H/2005 M
9. Syarh Tsalatsati al-Ushul, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, I'dad: Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Daar ats-Tsurayya, cet. III, 1417 H/1997 M

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Shahih Muslim Bisyarhi an-Nawawi, Tahqîq wa Takhrîj: 'Ishâm ash-Shababithiy, Hazim Muhammad dan 'Imad 'Amir. Dâr al-Hadîts, Kairo, cet. III, 1419 H/1998 M, IX/16, no. 2687. Atau Tahqiq : Khalil Ma'mun Syiha: XVIII/15, no. 6774
[2]. Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma'ârif, Riyâdh, cet. I dari terbitan terbaru, 1420 H/2000 M. III/455, no. 3540
[3]. Lihat Fathu al-Majîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, Tahqiq: Dr. al-Walîd bin Abdurrahmân Aal Fariyyan, Dar 'Alam al-Fawâ'id, cet. VI, 1420 H. I/151
[4]. Lihat Fathul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri I/226-227, no. 128, 129 dll, juga Shahîh Muslim Syarh an-Nawawi, Khalil Ma'mûn Syiha, I/177-178, no. 143
[5]. Lihat Fathul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri VI/474, no. 3435 dan Shahîh Muslim Syarh an-Nawawi, Khalil Ma'mun Syiha, I/173-174, no. 139, 140.
[6]. Demikian Syaikh Muhammad bin Badul Wahhab memberikan definisi kaitannya dengan Tauhid Uluhiyah. Lihat Syarh Kasyfisy Syubuhat wa yalihi Syarh al-Ushulis Sittah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin t , I'dad : Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Dar ats-Tsurayya, cet. IV, 1426 H/2005 M, hlm. 20, matan.
[7]. Ibid. Pada bagian penjelasan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin t
[8]. Ibid. Syarah
[9]. Lihat Dar'u Ta'ârudh al-'Aql wa an-Naql, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq: Iyad bin Abdul Lathif bin Ibrahim al-Qaisy, Maktabah ar-Rusyd, cet.I, 1427 H/2006 M. I/186
[10]. Ibid. hlm. 187
[11]. Lihat perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t dalam al-Ushûl ats Tsalâtsah. Dalam Syarh Tsalâtsati al-Ushûl, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin trahimahullah, terdapat pada hlm. 33. I'dad: Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Daar ats-Tsurayya, cet. III, 1417 H/1997 M
[12]. Lihat Taqrib at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin, I'dad & takhrij: Sayyid Abbas bin Ali al-Julaimi, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet I, 1413 H/1992, hlm. 119
[13]. Ibid, hlm.110
[14]. Ibid. 112
[15]. Ibid. 110
[16]. Lihat Fathul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd, op.cit. I/151

Ma’rifatullâh, Gerbang Utama Menuju Kesempurnaan Iman Kepada Allâh Azza wa Jalla (2)

Kategori Bahasan : Aqidah
MA'RIFATULLAH, GERBANG UTAMA MENUJU KESEMPURNAAN IMAN KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


MA’RIFATULLAH YANG BENAR JALAN UTAMA UNTUK MERAIH KESEMPURNAAN
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh Azza wa Jalla )” [Fâthir/35:28]

Dalam hadits yang shahih Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allâh dan orang yang paling mengenal-Nya diantara kamu sekalian."[25]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Arti (ayat di atas), 'Hanyalah orang-orang yang berilmu dan mengenal Allâh-lah yang memiliki rasa takut yang benar kepada Allâh. Karena semakin sempurna pemahaman dan penegetahuan (seorang hamba) terhadap Allâh, Dzat yang maha mulia, maha kuasa dan maha mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-nama yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-Nya semakin besar pula.”[26]

Inilah jalan utama bahkan jalan pintas untuk menyempurnakan keimanan dan penghambaan diri seorang mukmin kepada Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau, “Perjalanan menuju Allâh melalui jalur (memahami) nama-nama dan sifat-sifat-Nya keadaannya (sungguh) sangat menakjubkan dan (pintu hidayah) yang dibukakan (melalui jalur ini) sangat agung. Seorang hamba (yang menempuh jalur ini) sungguh telah dibawakan kepadanya kebahagiaan sejati (kesempurnaan iman) saat dia tidur terlentang di atas tempat tidurnya, tanpa merasa lelah dan bersusah payah …”[27]

Ini bukan suatu yang mengherankan, terutama kalau kita memahami bahwa semua kedudukan mulia dan agung dalam Islam tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan menyempurnakan pemahaman dan penghayatan kita terhadap kandungan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla .

Karena masing-masing dari nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla memiliki pengaruh yang kuat dalam menumbuhsuburkan keimanan dan penghambaan diri kepada-Nya secara totalitas. Atau dengan kata lain, penghambaan diri yang sempurna kepada Allâh Azza wa Jalla dalam semua bentuknya kembali kepada pemahaman dan penghayatan makna yang terkandung dalam nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla[28] .

Sebagai contoh, sifat Murâqabatullah (selalu merasa dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla ). Ini adalah sifat mulia dan kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan termasuk tahapan utama dalam menempuh perjalanan menuju ridha Allâh Azza wa Jalla.

Hakikat murâqabatullâh adalah seorang hamba selalu merasakan dan meyakini pengawasan Allâh Azza wa Jalla terhadap (semua keadaannya) lahir dan batin. Dia merasakan pengawasan-Nya ketika berhadapan dengan perintah-Nya, untuk kemudian dia melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, dan ketika berhadapan dengan larangan-Nya, untuk kemudian dia berusaha keras menjauhinya dan menghindarinya.[29]

Inilah yang diungkapkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tingkatan tertinggi dalam Islam, yaitu kedudukan al-Ihsan. Dalam hadits Jibril Alaihissallam yang terkenal, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

(al-Ihsan adalah) engkau beribadah kepada Allâh seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”[30]

Kedudukan tinggi ini hanya akan dicapai oleh seorang hamba dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla , kemudian dengan pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , khususnya yang berhubungan dengan pengawasan, persaksian, penglihatan, pendengaran dan pengetahuan-Nya yang maha sempurna. Misalnya nama Allâh Azza wa Jalla ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi), asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan), al-Bashîr (Yang Maha Melihat) dan al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui) [31] .

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah memaparkan pembahasan penting ini dalam ucapan beliau, “Murâqabatullâh adalah termasuk amalan hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan diri kepada Allâh dengan (memahami dan mengamalkan makna yang terkandung dalam) nama-Nya ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi) dan asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan). Maka ketika seorang hamba mengetahui atau meyakini bahwa semua gerakan (aktifitas)nya, tidak ada (satupun) yang luput dari pengatahuan-Nya, dan dia (senantiasa) menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini (semua) akan menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya dari (semua) pikiran (buruk) dan angan-angan yang dibenci Allâh, serta menjaga lahir (anggota badan)nya dari (semua) ucapan dan perbuatan yang dimurkai Allâh, serta dia akan beribadah atau mendekatkan diri (kepada Allâh) dengan kedudukan al-ihsan, maka dia akan beribadah kepada Allâh seakan-akan dia melihat-Nya, kalau dia tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allâh melihatnya.”[32]

Demikian pula sifat Tawakkal (selalu bersandar dan berserah diri) kepada Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah sifat yang agung dan memiliki kedudukan sangat tinggi dalam Islam. Bahkan kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh berfirman :

رَّبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا

(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung [al-Muzzammil/73:9][33] .

Merealisasikan tawakkal dengan benar adalah sebab utama yang mengundang pertolongan Allâh Azza wa Jalla bagi hamba-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allâh niscaya Allâh akan mencukupkan (segala keperluan)nya [ath-Thalâq/65: 2-3]

Kedudukan yang mulia ini juga hanya akan dicapai dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla kemudian dengan pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , misalnya: al-Hasîb (Yang Maha Memberi Kecukupan), al-Qawiyyu (Yang Maha Kuat), al-Matîn (Yang Maha Kokoh), dan az-‘Azîz (Yang Maha Perkasa)[34] , juga kekhususan-Nya dalam sifat-sifat rububiyah, seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rezki, memberi manfaat dan mencegah keburukan.[35]

Kedudukan Mahabbatullah (mencintai Allâh Azza wa Jalla ) dan menjadikan-Nya lebih dicintai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Ini merupakan ciri utama orang yang merasakan manisnya iman dan kesempurnaannya, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allâh dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allâh, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allâh sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”[36] .

Kedudukan tertinggi dalam Islam ini hanya akan diraih dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla kemudian dengan pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengenal Allâh dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya maka dia pasti akan mencintai-Nya”[37]

Juga kedudukan Ridha billahi rabban (ridha kepada Allâh sebagai Rabb), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya.[38] Ini adalah kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Akan merasakan kelezatan atau kemanisan iman (yaitu) orang yang ridha dengan Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[39]

Kedudukan agung ini hanya akan dicapai dengan taufik dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala kemudian dengan pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap sifat-sifat rububiyah dan bahwa Dia-lah satu-satunya yang maha mampu melakukan semua itu, seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rezki, mengatur alam semesta, memberi manfaat dan mencegah keburukan.[40]

Demikianlah, maka semua sifat dan kedudukan tinggi dalam Islam hanya akan diraih dengan sempurna melalui pemahaman dan penghayatan yang mendalam terhadap keindahan nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Sehingga hamba yang paling sempurna dalam keimanan dan penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dialah yang paling mengenal kandungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri (kepada Allâh Azza wa Jalla ) adalah orang yang menghambakan diri (kepada-Nya) dengan (memahami kandungan) semua nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui oleh manusia.”[41]

CARA UNTUK MERAIH MA’RIFATULLAH YANG BENAR
Cara yang paling pertama dan utama adalah berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla , karena di tangan-Nyalah segala kebaikan dan hanya Dialah yang mampu menganugerahkan semua sifat-sifat yang agung kepada hamba-Nya.

Oleh karena itu, imam Mutharrif bin 'Abdillah bin asy-Syikhkhîr rahimahullah berkata, “Aku mengingat-ingat (merenung-red) apakah yang bisa menghimpun segala kebaikan ? Karena kebaikan itu banyak ; puasa, shalat (dan lain-lain). Semua kebaikan itu ada di tangan Allâh Azza wa Jalla, maka jika kamu tidak mampu (memiliki) apa yang ada di tangan Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan memohon kepada-Nya agar Dia memberikan semua itu kepadamu, berarti yang bisa menghimpun (semua) kebaikan adalah berdoa (kepada Allâh Azza wa Jalla)”[42]

Kemudian berusaha memahami dan menghayati ayat-ayat al-Qur'an yang mayoritas isinya tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , serta penjabaran dari semua itu.

Secara ringkas, syaikh 'Abdur Rahman as-Sa'di rahimahullah memaparkan cara untuk meraih ilmu yang agung ini melalui penghayatan terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur'an, yaitu dengan menghadirkan makna yang terkandung dalam nama-nama Allâh yang maha indah dan berusaha meresapinya ke dalam hati, agar hati dapat merasakan pengaruh baik dari kandungan nama-nama tersebut dan dipenuhi dengan ilmu yang paling agung ini. Sebagai contoh :

1. Nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang mengandung sifat-sifat maha agung, maha besar, maha mulia dan maha tinggi. Kandungan sifat-sifat ini akan mengisi hati manusia dengan rasa pengagungan dan pemuliaan terhadap Allâh.

2. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha indah, maha baik, maha penyayang dan maha dermawan. Kandungan sifat-sifat ini akan memenuhi hati manusia dengan kecintaan, kerinduan, selalu memuji dan bersyukur kepada-Nya.

3. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha mulia, maha memiliki hikmah atau bijaksana, maha mengetahui dan maha kuasa atas segala sesuatu. Kandungan sifat-sifat ini akan mengisi hati manusia dengan rasa tunduk, tawaddhu' dan selalu mengakui kelemahan diri di hadapan-Nya.

4. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha mengetahui segala sesuatu dengan terperinci, maha meliputi, maha mengawasi dan maha menyaksikan. Kandungan sifat-sifat ini akan menghadirkan di hati manusia perasaan selalu dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla dalam semua gerakan maupun diamnya, selalu menjaga bisikan hatinya dari semua pikiran buruk dan keinginan rusak.

5. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha kaya dan maha lembut. Kandungan sifat-sifat ini akan mengisi hati manusia dengan selalu merasa butuh, tergantung dan menghadapkan diri kepada-Nya dalam setiap saat dan dalam semua keadaan.

Ilmu yang agung ini ketika meresap ke dalam hati dengan sebab pemahaman (yang mendalam) terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla kemudian penghambaan diri kepada-Nya dengan kandungan nama-nama dan sifat-sifat tersebut, maka itu menjadi perkara yang paling agung dan mulia bagi seorang hamba di dunia. Bahkan inilah anugerah terbesar yang Allâh Azza wa Jalla limpahkan kepada hamba-Nya dan inilah inti serta ruh dari tauhid. Barangsiapa yang telah dibukakan baginya pintu yang agung ini maka sungguh ia telah dibukakan pintu (menuju) tauhid yang murni dan iman yang sempurna.”[44]

PENUTUP
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita untuk berusaha meraih kedudukan yang paling agung dalam Islam ini dengan taufik dan hidayah-Nya.

Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan doa dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Ya Allâh, aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti), dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah yang menyesatkan.[45]

(Ya Allâh) aku memohon kepada-Mu kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu dan kecintaan kepada (semua) amal perbuatan yang mendekatkan diriku kepada kecintaan kepada-mu [46] .

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[25]. HSR al-Bukhari (no. 20) dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[26]. Tafsir Ibnu Katsir (3/729).
[27]. Kitab Tharîqul Hijratain, hlm. 334
[28]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 24 dan 28
[29]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 160
[30]. HSR Muslim (no. 8).
[31]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 26
[32]. Tafsîru Asma-illâhil Husnâ, hlm. 55
[33]. Lihat kitab al-Irsyâd ila Shahîhil I’tiqâd, hlm. 59).
[34]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 157
[35]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 26
[36]. HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).
[37]. Kitab Madârijus Sâlikîn (3/17).
[38]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 81
[39]. HSR Muslim, no. 34
[40]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 81
[41]. Kitab Madârijus Sâlikîn (1/420).
[42]. Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam kitab az-Zuhd, no. 1346).
[43]. Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah Azza wa Jalla, lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 131 dan 946
[44]. Lihat kitab al-Qaulus Sadîd melalui perantaraan kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 16-17)
[45]. HR an-Nasa-i dalam as-Sunan (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/264), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no. 1971) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani dalam Zhilâlul Jannah fî Takhrîjis Sunnah (no. 424).
[46]. HR at-Tirmidzi (no. 3235), dinyatakan shahih oleh imam al-Bukhari, at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.

Ma’rifatullâh, Gerbang Utama Menuju Kesempurnaan Iman Kepada Allâh Azza wa Jalla (1)


Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


Barangkali tidak salah kalau dikatakan bahwa istilah ma’rifatullâh, yang secara bahasa berarti mengenal Allâh Azza wa Jalla , termasuk istilah yang cukup populer di kalangan kaum Muslimin. Karena semua yang beriman sepakat meyakini bahwa mengenal Allâh Azza wa Jalla dan mencintai-Nya merupakan kewajiban dan tuntutan yang paling utama dalam Islam. Bahkan istilah ma’rifatullâh selalu diidentikkan oleh para Ulama Ahlus Sunnah dengan kesempurnaan iman dan takwa kepada Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh Azza wa Jalla )” [Fâthir/35:28].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allâh Azza wa Jalla, maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungan hamba tersebut kepada-Nya…, yang kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan, pemuliaaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah-Nya.”[1]

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah berkata, “Semakin banyak pengetahuan seseorang tentang Allâh, maka rasa takutnya kepada Allâh pun semakin besar, yang kemudian rasa takut ini menjadikan dirinya (selalu) menjauh dari perbuatan-perbuatan maksiat dan (senantiasa) mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Dzat yang ditakutinya (yaitu Allâh Azza wa Jalla).”[2]

Namun ironisnya, istilah ma’rifatullâh yang agung ini sering disalahartikan dan disalahgunakan oleh sebagian kaum Muslimin. Lebih parah dari itu, sebagian kalangan justru membawa pengertian istilah ini kepada pemahaman yang sangat menyimpang dan berseberangan dengan syariat Islam yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Orang-orang ahli tasawuf yang mengklaim bahwa metode pemahaman merekalah yang paling dekat dan mudah untuk mencapai ma’rifatullâh. Akan tetapi, kalau kita amati dengan seksama, ternyata ma’rifatullâh yang mereka maksud bukanlah cara mengenal Allâh Azza wa Jalla melalui wahyu yang diturunkan-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ma’rifatullâh yang dikenal di kalangan mereka adalah cara mengenal Allâh Azza wa Jalla yang bersumber dari pertimbangan akal dan perasaan, atau ciptaan pimpinan-pimpinan kelompok mereka, bahkan berdasarkan khayalan atau mimpi yang kemudian mereka namakan mukassyafah (tersingkapnya tabir)[3] .
Bahkan sebagian dari para penganut pemahaman sesat ini berani mengklaim bahwa metode yang mereka tempuh dalam mencapai ma’rifatullâh lebih baik dan lebih mudah daripada metode dalam al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini jelas merupakan tipu daya Iblis yang terlaknat untuk menyesatkan manusia dari jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allâh menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya [Fâthir/35:8].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Termasuk tipu daya setan adalah apa yang dilontarkannya kepada orang-orang ahli tasawuf yang bodoh, berupa asy-syathahât (ucapan-ucapan tanpa sadar/igauan) dan penyimpangan besar, yang ditampakkannya kepada mereka sebagai bentuk mukâsyafah (tersingkapnya tabir hakikat) dari khayalan-khayalan. Maka setanpun menjerumuskan mereka dalam berbagai macam kerusakan dan kebohongan, serta membukakan bagi mereka pintu pengakuan (dusta) yang sangat besar. Setan membisikan kepada mereka bahwa sesungguhnya di luar ilmu (syariat yang bersumber dari al-Qur'ân dan sunnah) ada sebuah jalan (lain) yang jika mereka menempuhnya maka jalan itu akan membawa mereka kepada tersingkapnya (hakikat dari segala sesuatu) secara jelas dan membuat mereka tidak butuh lagi untuk terikat dengan (hukum dalam) al Qur'ân dan Sunnah (?!!)…maka ketika (mereka menempuh jalan yang) jauh dari bimbingan ilmu yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , setanpun menampakkan kepada mereka berbagai macam kesesatan sesuai dengan keadaan mereka, dan membisikkan khayalan-khayalan ke (dalam) jiwa mereka, kemudian menjadikan khayalan tersebut seperti benar-benar nyata sebagai penyingkapan (hakikat dari segala sesuatu) secara jelas…(?!!).”[4]

MEMAHAMI MA’RIFATULLAH YANG BENAR
Ahlus sunnah wal jama’ah meyakini dan menetapkan bahwa ma’rifatullâh yang benar adalah mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha sempurna dan perbuatan-perbuatan-Nya yang maha terpuji, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa at-tahrîf (menyelewengkan maknanya yang benar), at-ta’thîl (menolak/ mengingkarinya), at-takyîf (membagaimanakannya) dan at-tamtsîl (menyerupakannya dengan makhluk).[5]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Kita tidak boleh menyifati Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan sifat yang Dia Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya (dalam al-Qur’ân) dan yang ditetapkan oleh rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits-hadits yang shahih), kita tidak boleh melampaui al-Qur’ân dan hadits.”[6]

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ma’rifatullâh (yang benar) adalah mengenal zat-Nya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mengenal perbuatan-perbuatan-Nya.”[7]

Demikian pula memperhatikan dan merenungi keadaan alam semesta beserta semua makhluk Allâh Azza wa Jalla di dalamnya yang merupakan tanda-tanda kemahakuasaan-Nya dan bukti kesempurnaan ciptaan-Nya [8] . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ﴿٢٠﴾وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh Azza wa Jalla ) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?” [adz-Dzâriyât/51:20-21][9]

Jadi memahami nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan benar adalah satu-satunya pintu untuk bisa mengenal Allâh (ma'rifatullâh) dengan pengenalan yang benar, yang ini merupakan landasan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena salah satu landasan utama ibadah adalah al-mahabbah (kecintaan) kepada Allâh Azza wa Jalla , yang ini tidak mungkin dicapai kecuali dengan mengenal Allâh Azza wa Jalla[10] dengan pengenalan yang benar melalui pemahaman terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Maka orang yang tidak memiliki ma'rifatullah (mengenal Allâh) yang benar, tidak mungkin bisa beribadah dengan benar kepada-Nya.[11]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya maka dia pasti akan mencintai-Nya.”[12]

Oleh karena itulah, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan keterkaitan antara ibadah kepada-Nya dan pemahaman terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam dua ayat al-Qur'ân. Ayat pertama :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku [adz-Dzâriyât/51:56].

Ayat kedua :

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allâh berlaku padanya, agar kamu mengetahui (memahami) bahwasannya Allâh Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allâh, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu [ath-Thalâq/65:12].

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla tidak akan mugkin dapat diwujudkan oleh seorang hamba dengan benar kecuali setelah dia mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allâh dengan pemahaman yang benar.[13]

Di sini juga perlu diingatkan bahwa ma’rifatullâh ada dua macam.
Pertama: mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan hanya menetapkan keberadaan-Nya dan sifat-sifat Rububiyah-Nya. inilah jenis ma’rifatullâh yang dimiliki oleh semua manusia, yang beriman maupun kafir dan yang taat maupun durhaka kepada-Nya.

Kedua: mengenal Allâh Azza wa Jalla yang menimbulkan rasa malu, cinta, rindu, ketergantungan hati, takut, selalu kembali, merasa bahagia dan selalu bersandar kepada-Nya[14]. Inilah ma’rifatullâh yang sempurna dan merupakan pembahasan dalam tulisan ini.

ILMU YANG PALING AGUNG DALAM ISLAM
Memahami nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan benar untuk mencapai ma’rifatullâh adalah ilmu yang paling agung dan paling utama secara mutlak, karena berhubungan langsung dengan Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang maha sempurna.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya keutamaan suatu ilmu mengikuti keutamaan obyek yang dipelajarinya, karena keyakinan jiwa akan dalil-dalil dan bukti-bukti keberadaannya, juga karena besarnya kebutuhan dan manfaat untuk memahaminya. Maka tidak diragukan lagi, bahwa ilmu tentang Allâh, nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Perbandingan ilmu ini dengan ilmu-ilmu yang lain adalah seperti perbandingan (kemahasempurnaan) Allâh Azza wa Jalla dengan semua obyek yang dipelajari (dalam) ilmu-ilmu lainnya.”[15]

Jadi seorang hamba tidak akan mungkin meraih kebaikan yang hakiki dalam agamanya kecuali setelah dia memahami ilmu yang mulia ini. Karena mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah landasan utama agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan semua agama yang dibawa oleh para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam[16]. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kunci dakwah (semua agama) yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla adalah ma’rifatullâh (mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya).[17]

Oleh karena itu, di dalam al-Qur’an yang merupakan sebaik-baik pedoman hidup bagi manusia, petunjuk terbesar dan paling utama adalah penjelasan tentang nama-nama Allâh yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an terdapat penjelasan (tentang) nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allâh yang lebih banyak dari penjelasan (tentang) makanan, minuman dan pernikahan di surga. Ayat-ayat yang mengandung penjelasan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala lebih utama kedudukannya daripada ayat-ayat (tentang) hari kemudian. Maka ayat yang paling agung dalam al-Qur’ân adalah ayat kursi yang mengandung penjelasan nama-nama dan sifat-sifat Allâh. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat imam Muslim dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau n bersabda kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, “Apakah kamu mengetahui ayat apakah yang paling agung dalam kitabullâh (al-Qur’ân) ?”, Ubay Radhiyallahu anhu menjawab : (Firman Allâh) :

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ

Allâh yang tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia Yang Maha Hidup lagi Berdiri sendiri dan menegakkan makhluk-Nya [al-Baqarah/2:255]

Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk dada Ubay Radhiyallahu anhu dengan tangan beliau dan bersabda, “Ilmu akan menjadi kesenangan bagimu, wahai Abul Mundzir (Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu)”[18] .

Demikian pula surat yang paling utama (dalam al-Qur’an) adalah Ummul Qur’ân (surat al-Fâtihah), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih, dari Abu Sa’id Ibnul Mu’alla Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya (tentang keutamaan surat al-Fâtihah), “Sesungguhnya belum pernah diturunkan dalam (kitab) Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’ân yang seperti surat al-Fâtihah). Inilah tujuh ayat yang (dibaca) berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung yang diberikan (oleh Allâh Azza wa Jalla ) kepadaku.”[19]

Dalam surat ini terdapat penjelasan nama-nama dan sifat-sifat Allâh yang lebih agung dari penjelasan (tentang) hari kemudian di dalamnya.

Dan disebutkan dalam hadits shahih dari berbagai jalur periwayatan bahwa surat:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah: Dialah Allâh Yang Maha Esa [al-Ikhlas/112:1]

Surat ini sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an.[20]

Dalam hadits shahih (lainnya), Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira kepada seorang shahabat Radhiyallahu anhu yang selalu membaca surat al-Ikhlâs ini dan dia berkata, "Aku mencintai surat ini karena surat ini (menjelaskan tentang) sifat ar-Rahman (Allah Azza wa Jalla), (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda), “Sesungguhnya Allâh mencintainya.”[21] (Dalam hadits ini), Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allâh mencintai orang yang senang menyebut sifat-sifat-Nya Azza wa Jalla, dan ini adalah pembahasan yang luas”[22] .

Semua keterangan di atas dengan jelas menunjukkan keutamaan dan keagungan kedudukan ilmu yang mulia ini. Ilmu ini merupakan landasan utama iman sekaligus pondasi agama Islam yang dibangun di atasnya semua kedudukan mulia dan tingkatan tinggi dalam agama. Maka tidak akan mungkin bagi seorang hamba untuk mencapai kebaikan yang hakiki dalam kehidupannya tanpa mengenal Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan dan melimpahkan berbagai macam nikmat kepadanya, baik yang lahir dan batin.

Tidak akan mungkin seorang hamba bisa beribadah kepada-Nya dengan rasa cinta, mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya tanpa dia mengenal kemahaindahan nama-nama-Nya dan kemahasempurnaan sifat-sifat-Nya yang semua ini menunjukkan betapa Allâh maha agung dan maha tinggi. Dia satu-satunya yang berhak dibadahi dan tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia Azza wa Jalla.[23]

Salah seorang Ulama salaf mengungkapkan makna ini dalam ucapannya, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini.” Lalu ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini ?” Ulama itu menjawab, “Cinta kepada Allâh, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.”[24]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Kitab Raudhatul Muhibbîn, hlm. 406
[2]. Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 502
[3]. Maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan al Qur-an dan Sunnah.
[4]. Kitab Ighâtsatul Lahfân, hlm. 193 - Mawaaridul amaan).
[5]. Lihat kitab Majmû’ul Fatâwâ (5/26) dan Taisîrul Wushûl, hlm. 11
[6]. Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ (5/26).
[7]. Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ (17/104).
[8]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 24
[9]. Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab Syarhu Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 13
[10]. Lihat kitab Majmû’ul Fatâwâ (10/84).
[11]. Lihat kitab Sabîlul Huda war Rasyâd, hlm. 401 dan al Qawâ'idul Mutslâ , hlm. 17
[12]. Kitab Madârijus Sâlikîn (3/17).
[13]. Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim tentang pembahasan penting ini dalam kitab beliau Miftâhu Dâris Sa'âdah (1/178).
[14]. Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab al-Fawâid, hlm. 170
[15]. Kitab Miftâhu Dâris Sa'âdah (1/86).
[16]. Lihat kitab Taisîrul Wushûl, hlm. 12
[17]. Kitab ash-Shawâ’iqul Mursalah (1/151).
[18]. HSR Muslim (no. 810).
[19]. HR Ahmad (2/357) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan sanad yang shahih.
[20]. HSR al-Bukhari (no. 5013) dan Muslim (no. 811 dan 812).
[21]. HSR al-Bukhari (no. 7375) dan Muslim (no. 813).
[22]. Kitab Dar-u Ta’ârudhil ‘Aqli wan Naqli (3/61).
[23]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 10
[24]. Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Ighâtsatul Lahfân (1/72).

Minggu, 06 April 2014

Apakah itu Ilmu syariat, hakikat, tarikat dan ma'rifat...?

Apakah itu Ilmu syariat, hakikat, tarikat dan ma'rifat...?Yuk menambah Ilmu agar selamat dari kesesatan...

APA ITU SYARI'AT, TAREQAT, HAKIKAT DAN MA'RIFAT?
Bismillah
Berikut ini saya nukilkan klaim mereka , kaum tasawwuf tentang apa itu istilah2 yang populer di kalangan tasawwuf/Sufi dalam rangka menuju Ma’rifatullah :
Ma’rifatullah, pada intinya adalah mengenal Allah.
Di dalam dunia tasawwuf, ada tahap-tahap yang dilalui :
- Syariat,
- Tariqat,
- Hakikat,
- Ma’rifat.
Pada puncak inilah seorang hamba mengenal pencipta-NYA. Saking mengenalnya maka seolah berpadu. Orang bilang ini, “manunggaling kawulo gusti”. Tapi hendaknya dipahami BERPADU disini tidak berarti melebur menjadi satu hingga muncul “Tuhan adalah Aku, Aku adalah Tuhan” seperti “manunggaling kawulo gusti”-nya Fir’aun beberapa abad sebelum masehi yang lalu.
Berpadu, artinya terdiri dari entitas yang berlainan yang masing-masing punya peran dan fungsi berbeda tetapi rela untuk berpadu. Dalam pada itu keduanya memberi warna dalam bingkai ma’rifatullah yang tegas, yang selama tak dilanggar batas-batasnya maka lukisan itu (hidup dan kehidupan) menjadi indah dalam bingkainya.
Sirkuit Syariat (aturan, peribadatan, praktek, amalan, dsb) –melalui Tariqat (jalan, pencarian, pencapaian, pemahaman) – untuk kemudian mencapai Hakikat (hakiki, kesejatian, absolut) – dan pada akhirnya Ma’rifat (mengenal) adalah stasiun-stasiun yang umum dilewati para sufi. Ujungnya, Allah-nya. Pangkalnya, Allah-nya juga.
Seseorang yang shalatnya benar, rukunnya benar, maka pahamnya benar, maka akan mendapatkan kesejatian yang benar, dan mengenal Allah dengan benar. Hamba yang mengenal Allah dengan benar maka shalatnya pun benar, rukunnya benar, pahamnya benar, dan kesejatian yang didapatinya pun benar.
Itulah Ma’rifatullah, dimana hamba menyadari hak dan kewajibannya kepada Allah, sebagaimana Allah telah memenuhi hak dan kewajiban-NYA kepada hamba-NYA.
Ibaratnya orang akan ke pasar nih. syariat adalah jalan kaki atau naik angkot atau apalah. tarikat adalah jalan yang kita lalui untuk menuju ke pasar tersebut. hakikat adalah dari kejauhan sudah nampak atau sudah terasa hingar bingarnya pasar. makrifat adalah kita sudah berada dalam pasar, melebur dan terlingkupi oleh pasar itu sendiri.
Komentar terhadap perkataan diatas :
Tingkatan syari'at, tarekat, hakikat dan ma'rifat, maka itu adalah istilah2 yang biasa digunakan kalangan tasawwuf atau ahli tarekat/Sufi.
Sebab kalangan ahli tasawwuf dan tarikat itu sendiri ada banyak corak ragamnya. Dari yang kotorannya sedikit hingga yang paling kotor dan rusak.
Namun tidak sedikit di antaranya yang justru sudah menginjak-injak syari'ah itu sendiri serta sulit menghindarkan diri dari khurafat, bid’ah dan fenomena syirik. Bahkan boleh dibilang sudah keluar dari syari'ah Islam yang telah ditetapkan oleh para ulama ahlus sunnah.
Sehingga istilah syari'ah, tarekah, ma'rifat dan hakikat itu hanya sekedar "lips service". Namun pada hakikatnya tidak lain merupakan sebuah pengingkaran dan pelecehan terhadap syari'ah serta merupakan penyimpangan dari manhaj salafus shalih.
Ilmu hakikat ma’rifat adalah ilmu yang mempelajari cara memfanakan diri yaitu cara-cara menyatu secara mutlak dan meniadakan bilangan dan pecahan sehingga tidak di bedakan lagi antara hamba dan Tuhan bahkan semua adalah satu yaitu Tuhan adalah hamba dan hamba adalah Tuhan, tidak dibedakan lagi antara Kholiq (Pencipta) dengan makhluk, sedangkan perintah dan larangan syar’i hanya untuk orang-orang yang masih terhijab yaitu orang yang belum mencapai hakekat kefanaan (hakekat ma’rifat).
Bagi orang hakekat ma’rifat perintah dan larangan adalah sesuatu yang tidak dibedakan sehingga bagi mereka tidak ada lagi ketaatan dan kemaksiatan karena sudah tidak ada lagi siapa yang harus taat dan siapa yang harus ditaati, bahkan seluruh isi al-Qur’an adalah kesyirikan karena masih membedakan antara perintah dan larangan, antara ketaatan dan maksiat, antara yang baik dan yang buruk.
Inilah arti tauhid dan hakekat ma’rifat menurut mereka, sehingga mereka tidak membedakan lagi antara wali Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan musuh Alloh Subhanahu wa Ta’ala , antara orang yang dicintai Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan orang yang dimurkai Alloh Subhanahu wa Ta’ala, antara ma’ruf dan munkar, antara muttaqin dan orang durhaka, antara orang yang taat dengan ahli maksiat.
Apabila seseorang memiliki keyakinan yang demikian maka terlepas Islam dari lehernya dan dia telah kafir dengan kekafiran yang nyata walaupun orangnya mengaku telah mencapai hakekat ma’rifat atau mengaku sebagai wali Alloh Subhanahu wa Ta’ala maka mereka adalah wali syetan.
Padahal sebenarnya mereka telah menyatu dengan iblis dan tentaranya, mereka telah menyatu dengan setiap kekafiran, kesyirikan dan kedurhakaan. (Madarij : I/130-134).
Dimana Dipelajari Ilmu Hakekat Ma’rifat?
Ilmu hakekat ma’rifat adanya hanya pada tasawuf dan filsafat atau ajaran kebatinan (batiniyah). Ilmu hakikat ma’rifat tidak ada pada kitab-kitab ahlussunnah wal jama’ah semacam kitab Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Kitab Sunan at-Tirmidzi, Abu Dawud, Annasa’I, Ibnu Majah, dan seluruh ulama’ ahlussunnah wal jama’ah semacam al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik bin Anas, al-Imam Asy-Syafi’I, al-Imam Auza’i, al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Imam an-Nawawi semuanya tidak pernah mengajarkan ilmu hakekat ma’rifat sebagai mana difahami kelompok sufi.
Ilmu hakekat ma’rifat hanya bisa didapatkan di dalam kitab-kitabnya tokoh-tokoh sufi seperti al-Futuhat al-Fushush, Tarjamul Asywaq, Unaqo’, Maghrib, Mawaqiun Nujum semuanya karya Ibnu Arobi, kitab Insanul Kamil karya al-Jaili, Taiyah karya Ibnul Faridl, kitab at-Thibaqot, al-Jawahir, al-Kibrit, al Ahmar karya Asy Sya’roni, kitab al-Ibriz karya ad Dibagh, kitab al-Jawahim dan ar-rimah karya at-Tijari, kitab Roudlotulqulum karya Hasan Ridwan.
Kalau kalian membaca kitab – kitab tasawuf tersebut kemudian membaca buku – buku karya Abu Sangkan maka akan mendapati kesamaan dan kesambungan benang merahnya.
Mengapa Hanya Pada Ajaran Sufi, Filsafat dan Batiniyah Saja Adanya Ilmu Hakekat Ma’rifat? Karena hanya kelompok sufi yang telah mengajarkan dan membagi muslimin menjadi dua golongan yaitu :
1. Ahli syari’at.
Menurut istilah kelompok sufi, kelompok batiniyah, atau kebatinan, ahli syari’at adalah penganut zhohir atau kulit, atau penganut kertas dan mereka katakan sebagai agamanya (syari’atnya) orang awam.
2. Ahli hakekat ma’rifat.
Ilmu hakekat ma’rifat menurut orang tasawuf adalah ilmu yang berasal dari perasaan, kecintaan, dan hawa nafsu tanpa harus mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah, sedangkan ilmu hakekat menurut islam adalah ilmu yang berasal dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman as-Salafush shohih.
Ahli hakekat ma’rifat mengaku menganut batin, penganut daya rasa, orang khusus, karena sudah mengerti batinnya atau intinya al-Quran dan al-Hadist yang hanya diketahui orang – orang sufi saja dan tidak diketahui oleh orang syari’at.
Ibarat buah, orang syari’at adalah orang yang masih di kulit dan orang hakekat ma’rifat adalah orang yang sudah mencapai isi/inti yang sudah lepas dari kulit serta tidak butuh lagi dengan syari’at, orang – orang syari’at adalah orang – orang yang masih terikat oleh hukum – hukum syari’at, masih terikat hukum halal harom, perintah dan larangan, dan masih harus sholat, puasa, zakat, dan haji dan seterusnya.
Sedangkan ahli hakekat ma’rifat sudah bebas dari semua itu. Kemudian mereka, tokoh – tokoh sufi terdahulu membuat thoriqoh sendiri untuk mencapai hakekat ma’rifat yaitu acara riyadloh, tujuan tertinggi dari riyadloh ini sama dengan latihan sholat khusyu’ buatan Abu Sangkan yaitu menyatunya hamba dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau wihdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti.
Setelah mereka mengadakan riyadloh, mereka berkata:
“sekarang kita tidak usah pedulikan perbuatan kita, adapun perintah dan larangan itu hanya untuk orang awam yang masih terkena beban (taklif)”. Terhadap perkataan tokoh sufi ini telah berkata Syaikhul Islam bin Taimiyah Rahimahullah :
“Tidak diragukan lagi dikalangan ahli Ilmu dan iman bahwa ucapan ini adalah puncak kekufuran, melampaui kekufuran yahudi dan nashoro mengingkari sebagian dan mengimani sebagian dan tetap menyakini bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala menetapkan perintah dan larangan bagi mereka”
Beliau juga berkata:
“Barang siapa yang berkeyakinan bisa keluar dari perintah dan larangan syari’at dan tidak berlaku padanya hukum harom maka ia adalah orang yang paling kufur di muka bumi dan tergolong jenis Fir’aun”.
Padahal pembagian ini adalah muhdats, dusta dan kebohongan merupakan kebatilan yang besar karena tidak ada dalil yang menunjukan adanya pembagian muslimin menjadi dua golongan tersebut.
Kalau syari'at diletakkan paling rendah, akan muncul kesan bahwa demi kepentingan tarekah, ma'rifat dan hakikat, syari'ah bisa dikesampingkan. Dan paham seperti ini berbahaya bahkan sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap agama Islam.
Jadi, jangan sampai ada anggapan bahwa bila orang sudah mencapai derajat hakikat, apalagi ma'rifat, lalu dia bebas boleh tidak shalat, tidak puasa atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syari'at itu sendiri.
Kalau ajaran seperti itu, dimana ma'rifat dan hakikat boleh menyalahi syari'ah, maka ketahuilah, ulama2 mereka adalah ulama su' yang tidak lain adalah syetan yang datang merusak ajaran Islam.
Sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan
ma'rifat dan hakikat, beliau hanya meninggalkan Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman dalam menjalankan syari'ah.
Dan tidaklah seseorang bisa mencapai derajat ma'rifah dan hakikat, manakala dia meninggalkan syari'ah.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membuat garis dgn tangannya, kemudian bersabda :
"Inilah jalan Allah yg lurus", lalu beliau membuat garis2 di kanan dan kirinya kmudian bersabda,"Inilah jalan2 yg sesat, tak satupun jalan2 itu kecuali didalamnya terdapat syaitan yg menyeru kepadanya".[SHAHIH. HR. Ahmad 1/435, ad Darimi 1/72, al Hakim 2/261, al Lalika'i 1/90. Dishahihkan al Albani dlm Dzilalul Jannah (17)].