Rabu, 16 Juli 2014

Belajar Islam dengan pemahaman asshalafussholih

IMAM EMPAT MAZHAB ;
TINGGALKAN PENDAPAT KAMI BILA BERTENTANGAN
DENGAN ALQUR'AN DAN AS-SUNNAH

Bismillah,
Di dalam kitab beliau Shifat Shalatin Nabi, Asy-Syaikh Al-Albani pernah menukilkan kisah sekumpulan pemuda Jepang yang ingin masuk Islam. Mendengar keinginan para pemuda ini, berbagai perkumpulan Islam pun menyodorkan mazhab-ma
zhab yang mereka anut. Sekelompok muslim dari India mengatakan kepadanya, “Bermazhablah dengan mazhab Imam Abu Hanifah, karena dia adalah pelita umat ini.” Sebaliknya sekelompok muslimin dari Jawa-Indonesia mengatakan, “Wajib baginya untuk menjadi seorang Syafi’i.”
Ketika orang-orang Jepang itu mendengar perselisihan ini, mereka pun menjadi bingung dan tidak paham apa yang mereka maksud. Maka lihatlah betapa permasalahan mazhab ini bisa menjadi penghalang seseorang untuk masuk ke dalam Islam.
Berseberangan dengan dua kelompok fanatik dalam kisah di atas, para imam mazhab tidaklah menganjurkan murid-muridnya dan segenap kaum muslimin untuk taqlid buta kepada mereka. Bahkan mereka berpesan agar umat ini kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang shahih.
Masih di dalam muqaddimah Kitab Shifat Shalat Nabi, Asy-Syaikh Al-Albani pun menukilkan ucapan-ucapan para Imam Mazhab yang empat yang seolah-olah berkata dengan satu suara, “Jangan fanatik kepada kami, ikutilah sunnah, tinggalkan ucapan kami bila bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam …”

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah Anda taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
(Sumber: Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah)
Sumber : http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/17/imam-empat-mazhab-tinggalkan-pendapat-kami-bila-bertentangan-dengan-al-quran-dan-sunnah/

Selasa, 15 Juli 2014

Sikap Teladan Para Ulama Ahlus Sunnah dalam Perbedaan

Oleh : Abu Abdil Muhsin Firanda Ibnu Abidin


Berikut ini adalah beberapa contoh khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama Ahlus Sunnah akan tetapi mereka tidak saling mengingkari. Namun mereka berusaha menjelaskan pendapat yang paling benar menurut mereka, tanpa adanya sikap saling menjatuhkan, terlebih lagi saling tahdzir, hajr, apalagi tabdi.

[1]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baaz rahimahumallah mengenai boleh tidaknya tentara Amerika berpangkalan di Arab Saudi untuk menghancurkan Irak. Syaikh Ali bin Hasan menjelaskan bahwa khilaf ini bukanlah khilaf yang biasa-biasa saja, namun merupakan khilaf yang nyata. Meskipun demikian mereka tetap tidak saling hajr [1]. Padahal jika kita perhatikan, khilaf ini berkaitan dengan keselamatan orang banyak dan berkaitan dengan masa depan negeri Saudi. Keduanya saling mempertahankan pendapat, tetapi mereka tetap saling mencintai dan saling menghormati.

[2]. Khilaf antara Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah mengenai masalah sedekap setelah ruku’ (ketika i’tidal). Syaikh Al-Albani memandang hal ini merupakan bid’ah. Sebaliknya Syaikh Ibnu Baaz memandang bahwa hal ini disyari’atkan. Namun apakah Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa orang yang berpendapat seperti pendapat Syaikh Ibnu Baaz adalah ahli bid’ah? Tentu saja tidak. Padahal Syaikh Al-Albani benar-benar meyakini bahwa hal itu merupakan bid’ah. Sedangkan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan tiap kesesatan adalah di Neraka.

Mungkin saja nanti ada orang yang membesar-besarkan masalah ini, lalu menjadikannya sebagai ajang perpecahan, dengan alasan bahwa bid’ah itu berbahaya dan kita tidak boleh meremehkan bid’ah sekecil apapun. Pernyataan tersebut benar jika yang dimaksud adalah bid’ah yang disepakati oleh para ulama. Adapun bid’ah yang masih diperselisihkan maka pernyataan ini tidak berlaku.

[3]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dengan para ulama Arab Saudi tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa shalat Tarawih lebih dari 11 raka’at merupakan bid’ah. Namun apakah beliau menyatakan bahwa orang yang menyelisihi beliau adalah mubtadi? Tentu saja tidak. Bahkan beliau berkata, “Kami tidak membid’ahkan dan tidak juga menyesatkan siapa saja yang shalat Tarawih lebih dari sebelas raka’at, jika tidak jelas baginya Sunnah dan dia tidak mengikuti hawa nafsunya’ [2]

Beliau juga berkata, ‘Janganlah seorang menyangka bahwa jika kami memilih pendapat (wajibnya) mencukupkan bilangan raka’at Tarawih sesuai Sunnah (yaitu sebelas raka’at) dan tidak boleh manambah bilangan tersebut, berarti kami telah menyesatkan atau membid’ahkan mereka yang tidak berpendapat demikian dari para ulama, baik ulama yang dahulu maupun yang akan datang sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang, sehingga menjadikan hal ini sebagai kesempatan untuk mencela kami. Mereka menyangka bahwa pendapat kami tentang tidak dibolehkan atau bid’ahnya suatu perkara melazimkan bahwa siapa saja yang berpendapat bolehnya atau disunnahkannya perkara tersebut sebagai ahli bid’ah yang sesat. Sama sekali tidak melazimkan demikian. Ini adalah persangkaan yang bathil dan kebodohan yang sangat. Sesungguhnya yang dicela adalah para ahli bid’ah yang menghalangi tersebarnya sunnah dan menganggap baik seluruh bid’ah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab yang memberi penjelasan, bahkan tanpa taqlid terhadap para ulama, namun hanya sekedar mengikuti hawa nafsu dan mencari pujian orang awam.[3]

Beliau juga berkata : “Karena itu, kita lihat meskipun para ulama berselisih pendapat secara sengit pada sejumlah masalah namun mereka tidak saling menyesatkan dan tidak juga saling membid’ahkan satu sama lain. Satu contoh dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat (bahkan) sejak zaman para sahabat tentang masalah menyempurnakan shalat wajib (empat raka’at) ketika safar. Di antara mereka ada yang membolehkan, sedangkan sebagian yang lain melarangnya dan memandang bahwa hal itu adalah bid’ah yang menyelisihi Sunnah. Meskipun demikian ternyata mereka tidak membid’ahkan orang yang menyelisihi pendapat mereka. Lihatlah Ibnu Umar, beliau berkata, ‘Shalat musafir dua raka’at, barangsiapa yang menyelisihi Sunnah maka telah kafir’. (Sebagaimana diriwayatkan oleh As-Sarraj dalam Musnad-nya XXI/122-123, dengan dua isnad yang shahih dari Ibnu Umar). Meskipun demikian Ibnu Umar tidak mengkafirkan juga tidak menyesatkan orang-orang yang menyelisihi Sunnah disebabkan ijtihadnya. Bahkan, tatkala beliau shalat di belakang imam yang memandang menyempurnakan shalat (empat rakaat), maka beliau pun ikut menyempurnakan shalat bersama imam tersebut. As-Sarraj juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Mina dua raka’at, begitu juga Abu Bakar, Umar dan Utsman di awal masa pemerintahan beliau. Setelah itu Utsman shalat empat raka’at, dan jika beliau shalat sendirian maka beliau shalat dua raka’at.

Perhatikanlah, bagaimana keyakinan Ibnu Umar terhadap kesalahan orang yang menyelisihi Sunnah yang shahih –dengan menyempurnakan shalat empat raka’at- tidak menjadikan beliau menyesatkannya atau membid’ahkannya. Bahkan beliau shalat di belakang Utsman. Sebab, berliau tahu bahwa Utsman tidaklah menyempurnakan shalat empat raka’at karena mengikuti hawa nafsu namun beliau melakukan demikian karena ijitihad beliau.

Inilah jalan tengah yang menurut kami harus ditempuh oleh kaum muslimin untuk memperoleh solusi dari perbedaan pedapat yang timbul diantara mereka yaitu masing-masing menampakkan pendapatnya yang menurutnya benar dan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan syarat tidak menyesatkan atau membid’ahkan orang yang tidak sesuai dengan pendapatnya tersebut..”[4]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata :”Diriwayatkan dari Salafus Shalih jumlah bilangan raka’at Tarawih yang beraneka ragam –dalam masalah ini-, sebagaimana perkataan Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah, maka lapang bagi kita apa yang lapang bagi mereka. Kita telah didahulukan oleh mereka, maka tidak semestinya kita bersikap keras” [5]

Beliau juga berkata, “Ketahuilah, bahwasanya khilaf tentang jumlah bilangan raka’at shalat Tarawih -dan yang semisalnya, yang termasuk perkara-perkara yang dibolehkan ijitihad di dalamnya- hendaknya tidak dijadikan ajang perselisihan dan perpecahan umat. Terlebih lagi jika Salaf berbeda pendapat pada masalah ini. Tidak ada satu dalil pun yang melarang berlakunya ijtihad dalam perkara ini” [6]

[4]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dengan para Ulama Arab Saudi –di antaranya Syaikh Ibnu Baaz- tentang hukum jual beli kredit dengan harga yang berbeda dari harga kontan. [7]. Menurut Syaikh Al-Albani hal itu adalah riba, namun apakah Syaikh Al-Albani men-tahdzir dan meng-hajr para ulama Arab Saudi dengan alasan bahwa mereka membolehkan riba, dan orang yang membolehkan riba terlaknat sebagaimana dalam hadits? Tentu tidak, karena ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah.

[5]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil mengenai Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Syaikh Muqbil menyatakan bahwa Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berada di atas kesesatan. [8] Hal ini tidak disetujui oleh Syaikh Al-Albani, dan beliau berkomentar, “Aku rasa ini adalah pensifatan yang terlalu luas dan tidak pada tempatnya, yaitu dalam memutlakkan sifat dhalal (kesesatan) kepada seperti orang ini (Muhammad Rasyid Ridha). Menurut keyakinan saya, beliau memiliki jasa terhadap banyak Ahlus Sunnah di zaman ini. Karena beliau menyebarkan dan menyeru kepada As-Sunnah dalam majalah beliau yang terkenal, Al-Manar. Bahkan pengaruhnya sampai di banyak negeri kaum muslimin non-Arab. Oleh karena itu, pendapat saya, perkataan ini adalah perkataan yang ghuluw (berlebihan) yang semestinya tidak terlontarkan dari orang seperti saudara kita, Muqbil.

Bagaimanapun juga (sebagaimana perkataan penyair):

Engkau menghendaki seorang teman yang tidak ada aibnya,
Maka dapatkan kayu gaharu mengeluarkan wangi tanpa asap..?

Meski demikian, Syaikh Al-Albani sendiri menyatakan bahwa masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah. [9]

[6]. Khilaf antara Syaikh Muqbil dan hampir seluruh Syaikh kibar –bahkan mungkin dapat dikatakan seluruh Syaikh Salafiyyun- [10] dalam masalah menghukumi Abu Hanifah. Hampir seluruh Syaikh tersebut menyatakan bahwa Abu Hanifah merupakan salah satu Imam dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena itulah madzhab beliau termasuk madzhab yang diakui sejak dahulu, berbeda dengan pendapat Syaikh Muqbil. [11]

[7]. Khilaf antara Syaikh DR Muhammad bin Hadi dan Prof. DR Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad. Syaikh Muhammad bin Hadi menganggap bahwa Yayasan At-Turats Kuwait adalah yayasan hizbiyyah dan beliau mentahdzir yayasan ini. Sedangkan Syaikh Abdurrazzaq sendiri bermu’amalah dengan yayasan tersebut. Lantas bagaimanakah sikap Syaikh Muhammad bin Hadi terhadap Syaikh Abdurrazzaq ? Apakah mereka saling hajr dan meninggalkan salam? Justru sebaliknya. Jika bertemu mereka saling berpelukan. Hal ini menunjukkan rasa cinta dan saling memahami di antara keduanya. Bahkan, meskipun Syaikh Muhammad berpendapat bahwa Syaikh Abdurrazzaq telah melakukan kesalahan, namun apa kata beliau? Beliau berkata, “Aku dan Syaikh Abdurrazzaq seperti tangan yang satu, bahkan jari yang satu” [12]

Masih banyak contoh-contoh yang lain. Namun cukuplah apa yang kami sebutkan kali ini menjadi pelajaran. Tatkala dua orang yang berselisih saling memahami bahwa keduanya sama-sama menginginkan Sunnah, sama-sama menginginkan kebenaran, maka perkaranya akan jadi lebih ringan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sungguh indah perkataan seorang ulama kepada orang yang menyelisihinya dalam perkara yang dibolehkan ijtihad, “Engkau dengan penyelisihanmu kepadaku sesungguhnya telah sepakat denganku, yaitu kita berdua sama-sama memandang wajibnya mengikuti ijtihad yang benar dalam masalah yang masih dibolehkan ijtihad" [13]

Dan sungguh indah ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah :

“Khilaf yang terjadi di antara kita adalah khilaf yang menggabungkan dan tidak mencerai-beraikan, berbeda dengan khilafnya orang lain”

Setiap orang boleh mengucapkan pendapatnya, tidak ada halangan, selama masih dalam batasan penuh adab, tanpa celaan, cercaan dan seterusnya.

“Dan bagi masing-masing ada kiblatnya yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam) kebaikan” [Al-Baqarah : 148] [14]

[Dinukil dari buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan Menyikapi Fenomena Hajr Di Indonesia, Fasal Kesimpulan Kesepuluh Tidak Ada Hajr Dalam Perkara Debatable, Penulis Abu Abdil Muhsin Firanda Ibnu Abidin, Penerbii Pustaka Cahaya Islam, Cetakan Ke-2 Rajab 1427H/Agustus 2006]
__________
Foote Note
[1]. Sebagaimana yang kami dengar dari ceramah beliau di salah satu hotel di Makkah pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan tahun 2003.
[2]. Shalaatut Taarawih, hal. 106
[3]. Ibid, hal. 35-36
[4]. Ibid, hal. 37-38
[5]. Lihat Majmu Fataawa (XIV/208)
[6]. Majmu’ Fataawa (XIV/189)
[7]. Perhatikanlah, sungguh ajaib akhlak kedua ulama besar Ahlus Sunnah tersebut. Keduanya berselisih dalam banyak permasalahan yang sebagiannya bukanlah masalah ringan. Masalah-masalah tersebut bahkan terkadang terjadi berulang-ulang. Namun keduanya sama sekali tidak saling menjatuhkan, bahkan keduanya saling mencintai dan saling menghormati. Itulah akhlak para ulama kita. Bahkan Syaikh Ibnu Baaz memuji Syaikh Al-Albani bahwa beliau adalah mujaddid (reformis) abad ini. (Silahkan merujuk kepada Silsilah Al-Huda wa Nuur, kaset no. 725)
Demikian pula dengan Syaikh Ibnu Utsaimin yang sering menyelisihi Syaikh Al-Albani dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Meskipun demikian beliau pernah berkata “Syaikh Al-Albani adalah ahli hadits abad ini” (Perhatikan Silsilah Al-Huda wa Nuur, kaset no. 880)
Adapun “sebagian orang”, terkadang disebabkan satu masalah saja yang diperselisihkan –padahal masalah tersebut bukanlah masalah yang berat dan terkadang merupakan masalah dunia, bukan permasalahan agama- maka mereka jadikan alasan untuk saling menjauhi, saling menjatuhan, saling mencerca saling men-tahdzir dan saling hajir, dan seterusnya. Wallahul Musta’aan.
[8]. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muqbil dalam muqaddimah Ash-Shahiih Al-Musnad min Dalaa-ilin Nubuwwah (hal.10), juga penjelasan beliau secara panjang lebar dalam kitab beliau Ruduud Ahlil Ilmu Alath Thaa’iniin fii Hadits As-Sihr waa Bayaan bu’d Muhammad Rasyid Ridha ‘an As-Salafiyah.
[9]. Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 32
Namun penyelisihan Syaikh Al-Albani terhadap sikap Syaikh Muqbil tidaklah mengubah kecintaan beliau terhadap Syaikh Muqbil. Dalam ceramahnya, Syaikh Al-Albani memuji dan bahkan membela Syaikh Muqbil dari orang-orang yang mengkritik dan mencela Syaikh Muqbil (Perhatikan Silsilah Al-Huda wa Nuur, kaset no. 851). Adapun pujian Syaikh Muqbil terhadap Syaikh Al-Albani maka sangatlah banyak. Semoga Allah merahmati keduanya dengan rahmat yang luas. Sebagai contoh sikap saling puji antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil maka silakan mendengar Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 850).
[10]. Seperti Syaikh Al-Albani –perhatikanlah munaqasyah Syaikh Al-Albani terhadap dalil yang disebutkan oleh Syaikh Muqbil dalam Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 56) –Syaikh Ibnu Utsaimin- lihat nukilan fatwa beliau dibawah ini- Syaikh Ibnu Baaz, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Alusy Syaikh, Shalih Alusy Syaikh dan lain-lain. Bahkan saat ini penulis belum menemukan seorangpun dari kalangan ulama Ahlus Sunnah zaman ini yang mendukung pendapat Syaikh Muqbil dalam hal ini. Wallahu a’lam
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Syaikh yang mulia, kami adalah saudara-saudara Anda di Indonesia. Kami mencintai anda karena Allah. Kami mengikuti kabar tentang anda dan juga fatwa-fatwa anda. Kami mendapatkan banyak faedah dari ilmu anda, melalui buku dan kaset anda. Pada kesempatan ini, kami meminta fatwa kepada anda tentang sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang da’i pada sebuah majalan di Indonesia yang bernama Majalah Salafy (edisi 20 tahun 1418H/1997M, dan edisi 29 tahun 1999M –pen). Da’i tersebut berkata, “Ahlur ra’yi adalah pemikir yang lebih banyak berdalil dengan qiyas dibandingkan berdalil dengan Al-Qur’an dan hadits. Imam mereka adalah Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit ... dst” [Silahkan merujuk kepada Kitaabul Ilm, hal 304-305].

Maka Syaikh menjawab, “Sikap yang benar terhadap para imam yang memiliki para pengikut yang mempersaksikan adalah (keshalihah) dan istiqomah mereka adalah kita tidak menyerang mereka dan kita meyakini bahwa kesalahan yang timbul dari mereka merupakan hasil dari ijtihad mereka. Seorang mujtahid dari umat ini pasti mendapatkan pahala. Jika ijtihad-nya benar maka ia akan mendapatkan dua pahala, dan jika keliru, maka akan mendapatkan satu pahala serta kesahalahnnya diampuni.

Dan Abu Hanifah rahimahullaah adalah seperti para imam lainnya yang memiliki kesalahan-kesalahan dan juga memiliki kebenaran-kebenaran. Tidak seorangpun yang ma’shum melainkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana perkataan Imam Malik, “Setiap orang dapat diambil pendapatnya dan ditolak kecuali penghuni kubur ini”, sambil memberi isyarat kepada kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Yang wajib dilakukan adalah menahan diri dari (mencela) para imam kaum muslimin. Namun jika sebuah pendapat merupakan kesalahan, maka hendaknya disebutkan (kesalahan) pendapat tersebut tanpa mecela pengucapannya. Hendaknya seseorang menyebutkan pendapat yang keliru tersebut kemudian menyanggahnya. Inilah jalan yang selamat” [Lihat Kitaabul Ilm hal. 304-306]
[11]. Lihat buku beliau yang berjudul Nasyr Ash-Shahifah fi Dzikris Shahih min Aqwaal A-immatil Jarh wat Ta’diil fii Abi Hanifah.
[12]. Pernyataan beliau ini didengar oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah –di antara mereka adalah penulis sendiri-, di kediaman beliau pada tahun 2004. Hal ini sungguh berbeda dengan tindakan sebagian saudara-saudara kita yang menyelisihi sikap para Syaikh dalam men-tahdzir Yayasan Ihya At-Turats. Karena itu, kita dapati bahwa Syaikh Rabi sendiri tidak pernah men-tahdzir ulama Ahlus Sunnah lain yang membolehkan mu’amalah dengan Yayasan Ihya At-Turats.

Peringatan:
Sebagaimana halnya orang-orang yang berpegang dengan fatwa para ulama besar dalam bermu’amalah dengan Yayasan tersebut mengharapkan para saudaranya memahami bahwa ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak boleh disikapi berlebih-lebihan sampai pada tingkataan hajr, maka mereka pun harus berlapang dada jika saudara-saudara mereka megkritik dengan cara yang baik dan tidak berlebih-lebihan –tanpa tahdzir dan hajr-. Sebab saudara-saudara mereka pun melakukan hal tersebut karena mengikuti pendapat para ulama yang telah diakui secara integritas dan kompetensi –seperti Syaikh Rabi dan Syaikh Muqbil-. Lihatlah bagaimana Syaikh Abdurrazzaq Al-Abbad berlapang dada menerima kritik Syaikh Muhammad bin Hadi. Apalagi telah jelas ada kesalahan-kesalahan yang terdapat di yayasan tersebut yang berkaitan dengan manhaj maka sikap kehati-hatian tetap perlu diperhatikan. Wallahu a’lam
[13]. Majmuu Fatawa karya Syaikh Ibnu Utsaimin (XIV/189)
[14]. Silsilah Al-Huda wan Nuur (kaset no. 880) tatkala Syaikh Al-Albani menceritakan khilaf antara beliau dan Syaikh Sindi Al-Pakistani

Sumber:

Buku Rujukan:

Siapakah Syeikh Albani?

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syaikh Nashiruddin Al-Albani adalah salah satu tokoh yang pernah hidup di abad 20 sebagai ulama yang mendalami masalah kritik sanad hadits. Menjadi tenar -salah satunya- karena pendapat-pendapat beliau yang cenderung berbeda dari kebanyakan pendapat yang sudah dianut oleh umat Islam, baik di bidang ilmu hadits atau pun di bidang fiqih.
Salah satunya adalah pandangan beliau yang mengajak orang untuk tidak terpaku kepada pandangan dari mazhab-mazhab fiqih peninggalan para ulama. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, karena sudah banyak dikampanyekan oleh para tokoh sebelumnya seperti Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha. Namun beliau menyampaikan dengan format yang berbeda dan lebih spesifik serta didukung oleh keahlian beliau di bidang kritik sanad hadits.
Kelahiran di Albania dan Hijrah ke Damaskus
Syeikh Nashiruddin Al-Albani lahir tahun 1914 masehi atau bertepatan dengan tahun 1333 hijriyah, di ibukota Albania saat itu, Asyqodar.
Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari’ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul) dan menjadi rujukan orang-orang dalam masalah agama.
Keluarga beliau kemudian berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana setelah Ahmad Zaghu raja Albania saat itu menyimpangkan negaranya menjadi kebarat-baratan.
Pendidikan Agama
Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah dengan baik. Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah yang sangat fenomenal di dunia Islam. Namun setelah itu ayahnya punya pendapat tersendiri tentang madrasah An-Nizamiyah sehingga beliau keluar dan belajar dengan sistem tersendiri pelajarannya, seperti Quran, tajwid, nahwu, sharf serta fiqih mazhab Hanafi.
Beliau mengkhatamkan Al-Quran di tangan ayahnya sendiri dengan bacaan riwayat Hafsh dari Ashim. Beliau belajar kitab fiqih mazhab Al-Hanafi yaitu Maraqi al-Falah kepada Syeikh Said Al-Burhani, selain juga belajar lughah dan balaghah.
Secara pendapatan finansial, beliau bekerja sebagai tukang jam, sebuah keahlian yang diwariskannya dari ayahnya sendiri. Bahkan beliau sampai menjadi termasyhur di bidang service jam di Damaskus.
Sesungguhnya ayah beliau telah mengarahkan beliau untuk mendalami agama khususnya pada mazhab Al-Hanafi serta memperingatkan beliau untuk tidak terlalu menekuni ilmu hadits. Namun beliau tetap belajar ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainnya yang menunjang. Sehingga paling tidak beliau menghabiskan 20 tahun dari hidupnya dalam mempelajari ilmu hadits, karena pengaruh dari bacaan beliau pada majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Syaikh Rasyid Ridha rahimahullah.
Mendalami Ilmu Hadits di Perpustakaan
Beliau menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau.
Bahkan kemudian beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.
Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.

Kontroversi Tentang Sosok Beliau
Syeikh Nashiruddin Al-Albani oleh beberapa kalangan sangat dihormati sebagai ulama yang setuju dengan pandangan-pandangannya, namun memang ada juga sebagian lainnya yang kurang suka kepada pendapatnya serta cara penyampaiannya yang khas.
Mereka yang gemar dengan pendapat beliau umumnya adalah kalangan muda yang getol mempelajari ilmu hadits. Namun kurang dalam mempelajari ilmu fiqih serta perangkat-perangkatnya. Paling tidak, sistematika fiqih yang beliau kembangkan beliau tidak sebagaimana umumnya sistematika ilmu fiqih yang digunakan oleh para ahli fiqih umumnya.
Misalnya buat beliau, kesimpulan hukum suatu masalah lebih sering ditetapkan semata-mata berdasarkan kekuatan riwayat suatu hadits. Sedangkan pertimbangan lainnya sebagaimana yang ada di dalam ilmu fiqih, termasuk pendapat para imam mazhab, seringkali ditepis oleh beliau.
Ketidak-sukaan sebagian orang kepada beliau biasanya dilatar-belakangi oleh kekurang-mengertian mereka kepada sosok beliau. Sehingga melahirkan pandangan yang kurang baik pada citra diri beliau. Bahkan beliau pernah mengalami dua kali dipenjara, yang konon disebabkan oleh masalah seperti ini.
Memang terkadang bahasa yang beliau gunakan boleh dibilang agak terbuka dan terlalu apa adanya. Sehingga membuat telinga sebagian orang yang membacanya dan kebetulan kena sindir beliau menjadi merah telinganya.
Selain itu beliau memang dikenal sebagai tokoh di bidang ilmu hadits yang cenderung tidak mau berpegang kepada pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab fiqih yang ada. Kesan itu akan sangat terasa menyengat bila kita banyak mengkaji ceramah dan tulisan beliau, terutama yang menyangkut kajian fiqih para ulama mazhab.
Bagi beliau, pendapat para ulama mazhab harus ditinggalkan bila bertentangan dengan apa yang beliau yakini sebagai hasil ijtihad beliau dari hadits-hadits shahih. Apalagi bila menurut beliau, pendapat para ulama mazhab itu tidak didasari oleh riwayat hadits yang kuat sanadnya.
Bahkan beliau mudah menjatuhkan vonis ahli bid’ah kepada siapa saja yang menurut beliau telah berdalil dengan hadits yang lemah. Maksudnya lemah di sini adalah lemahmenurut hasil penelitian beliau sendiri. Termasuk juga pada masalah-masalah yang umumnya dianggap sudah final di kalangan para ahli fiqih. Buat beliau, semua itu harus diabaikan, bila berbeda dengan pandangan beliau dengan landasan ijtihad beliau di bidang ilmu hadits.
Barangkali hal-hal inilah yang sering menimbulkan pandangan tertentu di kalangan sebagian orang tentang sosok beliau.
Namun apa yang beliau sampaikan itu sebenarnya bukan sekedar omongan belaka, namun berangkat dari hasil ijtihad beliau pribadi. Dengan kapasitas ilmu hadits yang beliau miliki serta banyaknya beliau membaca di perpustakaan, maka apa yang menjadi pendapat beliau punya landasan ilmiyah, bukan asal bunyi.
Namun sebagaimana tradisi keilmuwan di dalam peradaban Islam, boleh saja para ulama saling berbeda pandangan satu dengan yang lainnya, namun kita diharamkan untuk saling ejek, saling cemooh, saling cela dan saling boikot, hanya lantaran perbedaan pandangan.
Apa yang menjadi pandangan Albani harus dihormati sebagai sebuah hasil ijtihad seorang yang telah menguasai satu cabang ilmu. Tentunya beliau berhak atas pendapatnya. Namun ijtihad yang dihasilkan oleh seorang ulama tidaklah harus menggugurkan ijtihad ulama lain yang juga telah mengerahkan semua kemampuannya. Biarlah hasil-hasil ijtihad saling berbeda, sehingga memberikan ruang gerak yang luas kepada umat Islam ini.
Beberapa Tugas yang Pernah Diemban
Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar hadits dan ilmu-ilmu hadits di Universitas Islam Madinah meski tidak lama, hanya sekitar tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H.
Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.
Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam’iyah Islamiyah di sana. Mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.
Wafat Beliau dan Warisannya
Beliau wafat pada hari Jum’at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Karya-karya beliau amat banyak yang menjadi warisan kepada dunia Islam, sebagian sudah dicetak, namun ada yang masih berupa manuskrip, bahkan ada yang hilang, semua berjumlah 218 judul. Antara lain:
  1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
  2. Al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah
  3. Silisilah al-Ahadits ash-Shahihah
  4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah
  5. At-Tawasul wa anwa’uhu
  6. Ahkam Al-Jana’iz wabida’uha
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

Nasihat buat Pengikut Syaikh Nasiruddin al-Albani

Assalamu’alaikum wr. wb.
Minta tolong pencerahannya pak Ustadz.
1. Seorang teman saya sangat berhati-hati dalam beragama dan menganggap semua yang tidak sependapat dengan kelompoknya adalah sesat atau bidah bahkan dianggap bermaksiat terhadap Allah karena beribadah tidak dengan cara Rasulullah, dan hal demikian menurut mereka bukan sekedar khilafiyah. Yasinan, bermaafan menjelang Ramadhan, qunut dan sebagainya adalah bidah dan sesat masuk neraka. Bagaimana sebenarnya batasan bidah yang diharamkan?
2. “Sikap tidak bisa menerima pandangan orang lain yang tidak sama dengan diri sendiri sebenarnya justru ciri khas orang awam. Di mana akses mereka terhadap ilmu-ilmu syariah tersumbat. ” Pak Ustadz Ahmad Syarwat pernah menuliskan demikian dalam jawaban pertanyaan mengenai shalat witir. Menurut seorang teman saya berarti pak Ustadz secara tidak langsung dia menyebutkan Syaikh Nasiruddin Al-Albani adalah orang awam. Jadi sebenarnya siapa Syaikh Nasiruddin Al-Albani itu dan bagaimana kapasitasnya sebagai seorang Ulama Islam? Serta bagaimana pula pandangan Syaikh itu terhadap khilafiyah?
3. Kalau kita dianggap sesat orang lain, apa yang seharusnya kita lakukan? Apakah boleh kita jadi makmum/imam bagi orang yang demikian (dan sebaliknya)? Mengingat mereka menganggap kita sesat.
4. Jika kita bertemu dengan muslim lain yang tidak sependapat dengan kita, misalnya dalam hal qunut, bagaimana kita berjamaah? Misalnya dalam hal diundang Yasinan, dan sebagainya? Bagaimana sikap kita? Menerima ataukah menolak?
Terima kasih pak ustadz, JazakAllah khoir
Mohammad Agus Sulistyono
agusme

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Bahwa seseorang berpendapat suatu tindakan itu bid’ah atau haram, tentu saja merupakan hak tiap orang. Akan tetapi yang tidak boleh adalah menunjuk hidung tiap orang dan menyapanya dengan sebutan, “Hai Ahli Bid’ah”, atau “Hai calon penghuni neraka.” Nauzu billahi min zalik
Ketika Imam Malik rahimahullah mengatakan bahwa qunut pada shalat shubuh itu bid’ah, beliau tidak pernah mengatakan bahwa Imam As-syafi’i muridnya yang paling cerdas dan berhasil membangun mazhab sendiri sebagai ahli bid’ah atau calon penghuni neraka, lantaran berpendapat bahwa qunut shubuh itu sunnah.
Demikian juga ketika Imam As-Syafi’i menjadi imam shalat shubuh di masjid Madinah, tempat di mana Imam Malik gurunya itu pernah mengajar fiqih, beliau meninggalkan qunut shubuh. Padahal pendapat beliau menyebutkan bahwa qunut itu sunnah, bila ditinggalkan dengan sengaja harus melakukan sujud sahwi. Namun beliau tetap sangat menghormati almarhum gurunya.
Kedua ulama guru dan murid itu alih-alih saling mencaci, justru mereka saling bertukar pujian. Dan bukan sekedar basa-basi, melainkan pujian setulus hati dan sejujurnya. Berbeda dengan ulama zaman sekarang, yang ketika memuji, boleh jadi hatinya masih panas.
Maka bagi seorang alim, berpendapat yang berbeda dengan saudaranya sangat wajar dan manusiawi. Tapi kalau kemana-mana selalu melontarkan cacian, makian, tuduhan, ejekan serta secara terus menerus menyakiti hati dan perasaan saudaranya dengan julukan-julukan kurang ajar, padahal yang dibicarakannya itu masih seputar masalah khilafiyah, sungguh bukan sikap seorang ahli ilmu.
2. Syeikh Nasiruddin Al-Albani tidak senaif yang dibilang teman anda. Beliau seorang ulama besar yang sudah pasti paham bahwa di dalam masalah syariah, pasti banyak perbedaan pendapat. Beliau sangat bisa menerima perbedaan pendapat dengan ulama lain.
Dan tentu saja tidak benar bila kami menuduh bahwa Syeikh termasuk yang kami katakan sebagai orang awam yang tidak punya akses kepada ilmu syariah.
Tentu saja yang kami maksud bukan Syeikh Al-Albani, melainkan segelintir orang yang ke mana-mana membawa nama beliau, tetapi melakukan tindakan tidak terpuji. Seandainya Syeikh masih hidup dan mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, pastilah mereka akan ditegur dengan keras.
Yang tidak bisa menerima perbedaan pendapat itu memang orang-orang awam, yang barangkali hanya kenal satu ulama saja. Misalnya mereka hanya kenal Syeikh Nasiruddin Al-Albani saja. Sayangnya kemudian pendapat beliau banyak dieksploitir sedemikian rupa, sehingga seolah-olah Al-Albani jadi tokoh kontroversial.
Padahal di dunia ini yang namanya ulama bukan hanya beliau seorang saja. Dan beliau yang mulia Syeikh Al-Albani sendiri pasti mengakui bahwa dirinya bukan satu-satunya ulama. Beliau tidak pernah mengatakan bahwa siapapun yang tidak sesuai dengan pendapat dirinya, pasti sesat dan pasti masuk neraka. Beliau juga tidak pernah mengatakan bahwa yang benar hanya dirinya sendiri, sementara semua pendapat lain pasti salah dan sesat. Sungguh Syeikh Al-Albani terlepas dari semua hal yang dituduhkan.
Bahwa seorang Al-Albani punya pendapat yang berbeda dengan banyak ulama lain, itu karena beliau yakin bahwa hujjah beliau kuat. Dan sebagai seorang ahli hadits, tidak seorang pun yang meragukan kemampuan beliau. Namun dengan semua kemampuannya itu, beliau sama sekali belum pernah merasa dirinya paling benar. Bahkan beliau terlepas dari sikap-sikap jumud dari kalangan awam yang menisbahkan diri mereka sebagai murid beliau, namun tidak mengikuti akhlaqnya.
Al-Albani tidak pernah mencaci maki seorang ulama. Beliau tidak pernah mengkafirkan atau menuduh siapa pun sebagai ahli bid’ah. Meski beliau sangat anti dan memerangi bid’ah, namun biar bagaimana pun beliau seorang ulama yang paham etika dan estetika. Beliau tidak pernah menyebut nama seseorang dari kalangan ulama lain yang tidak sepaham dengan beliau sebagai kafir, atau ahli bid’ah, atau calon penghuni neraka atau sebutan-sebutan lain yang tidak etis.
Tidak sebagaimana sekelompok kecil orang awam yang berani memakai nama beliau sebagai rujukan atau ulama ikutan, tetapi berakhlaq rendah serta bermasalah dengan jiwanya. Dalam logika kelompok kecil ini, yang penting semua orang harus salah dulu, lalu disikat dengan berbagai macam dalil. Dan kemudian mereka menggunakan nama Al-Albani sebagai tumbal.
Sementara Syaikh Al-Albani jauh dari sikap dan tindakan gegabah seperti itu. Sebenarnya nama baik beliau justru direndahkan dan dihinakan oleh sekelompok kecil orang yang tidak bertanggung-jawab. Mereka membawa-bawa nama Syeikh seolah tindakan salah mereka itu adalah perintah dan ajaran dari beliau.
Semoga Allah memaafkan kesalahan saudara-saudara kita itu dan menyadaran mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Semoga Allah SWT meluaskan dada mereka dan mau menerima realita dalam berjamaah bersama dengan sesama umat Muhammad SAW. Semua yang mereka tuduhan kepada Syaikh semoga dihilangkan.
3. Ketika ada seseorang menuduh diri kita sebagai sesat, hanya lantaran kita punya pemahaman fiqih yang tidak sama dengan dirinya, maka ketahuilah bahwa kita sedang berhadapan dengan orang jahil. Dalam hal ini, mungkin firman AllahSWT berikut bisa kita sima baik-baik.
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata keselamatan. (QS Al-Furqan: 63)
Kita tetap sah bermakmum di belakang mereka, selama kita yakin bahwa shalat mereka sah. Sedangkan kalau mereka tidak mau bermakmum kepada kita, tidak usah dipikirkan. Nothing to loose, kan?
4. Seandainya anda berkeyakinan bahwa qunut itu bid’ah, maka anda tetap sah shalat di belakang imam yang qunut. Dan demikian juga sebaliknya.
Sebab sekali lagi, kalau pun qunut itu dikatakan bid’ah, sebenarnya tidak ada satu ayat Quran yang menyebutkannya dan juga tidak ada hadits shahih yang secara eksplisit menyebutkannya. Kebid’ahan qunut hanya lahir dari hasil sebuah ijtihad manusia belaka, bukan kalamullah dan bukan sabda rasulullah SAW. Jadi bisa benar dan bisa salah.
Demikian juga dengan kebid’ahan Yasinan, kami yakin mereka yang berpendapat demikian, tidak pernah bisa menyebutkan satu ayat atau satu hadits pun yang secara eksplisit nabi SAW melarang untuk melakukannya. Kalau pun dikatakan bahwa Yasinan itu bid’ah, ketahuilah bahwa hal itu hasil dari sebuah ijtihad. Bisa benar dan bisa salah.
Dan tidak ada seorang pun yang berhak untuk mengklaim bahwa dirinya selalu dan senantiasa benar, lalu semua orang pasti semua salah, bid’ah dan neraka. Kecuali hanya satu orang yang berhak mengklaim demikian, yaitu Rasulullah SAW seorang.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

Senin, 14 Juli 2014

Meluruskan Kesalahfahaman Tentang “Wahabi”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Menjawab Tuduhan (Meluruskan Kesalahfahaman Tentang “Wahabi”)

 
 
 
 
 
 
Rate This

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Menjawab Tuduhan (Meluruskan Kesalahfahaman Tentang “Wahabi”)
Diambil dari Kitab : Tashhihul Mafahimil Khati’ati

Karya: Syaikh DR. Shalih bin Abdul Aziz As-Sindy
Diterjemahkan oleh : Nur Kholis Kurdian, Lc. (Dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii, Jember, Jawa Timur)
Dikoreksi ulang oleh: Abdullah Zaen, Lc. & Muhammad Yasir, Lc.
Segala puji bagi Allah -ta’ala- semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahhabatnya. Dari dulu hingga sekarang, perdebatan serta perbincangan seputar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- dan jalan dakwahnya, terus berkecamuk antara mereka yang pro dan yang kontra.
Dan yang mengherankan dari dakwaan mereka yang kontra -yang melontarkan tuduhan-tuduhan kepada Syaikh- adalah: omongan mereka yang kosong dari dalil berupa bukti dari perkataan Syaikh atau tulisan beliau di dalam kitab-kitabnya, yang ada hanyalah tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang terdahulu, lalu ‘difotokopi’ oleh para pewaris mereka.
Kami kira setiap orang yang obyektif sepakat bahwa jalan yang paling tepat untuk mengenal hakikat pemikiran seseorang adalah dengan cara kembali langsung kepada orang tersebut, atau kepada referensi-referensi yang otentik. Alhamdulillah tulisan-tulisan serta ucapan-ucapan Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab-red) sampai saat ini masih ada dan mudah untuk didapatkan. Dengan menelaah tulisan-tulisan tersebut, benar tidaknya isu-isu yang sementara ini tersebar di masyarakat akan terlihat. Adapun tuduhan-tuduhan yang tanpa bukti, maka ini bagaikan fatamorgana yang tidak ada hakikatnya.
Di tulisan ini, kami akan memaparkan ucapan-ucapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kami nukil dengan penuh amanah dari referensi-referensi otentik yang menghimpun perkataan-perkataan beliau. Peran kami dalam buku ini hanyalah sebagai penyusun.
Buku ini memuat jawaban-jawaban Syaikh sendiri, atas tuduhan-tuduhan utama yang dilontarkan ‘para lawan’ dakwah beliau. Kami amat yakin insyaAllah dengan taufik dari Allah, tulisan ini akan cukup untuk menjelaskan al-Haq bagi mereka yang memang menginginkannya.
Adapun mereka yang memusuhi dan menentang perjuangannya, yang tidak henti-hentinya menebarkan tuduhan-tuduhan dusta, maka kami katakan kepada mereka: ‘Sadarlah, karena sesungguhnya kebenaran telah jelas, agama Allah -ta’ala- akan menang dan cahaya matahari yang bersinar terang tidak bisa dihalangi dengan kedua telapak tangan.’
Perkataan-perkataan beliau dalam buku ini meluluh-lantakkan tuduhan-tuduhan mereka. Jika mereka memiliki bukti dari perkataan beliau yang menguatkan tuduhan tersebut maka keluarkanlah dan jangan disembunyikan. Jika mereka tidak bisa mendatangkannya, maka kami menasihatkan, “Telusurilah jalan Allah ta’ala dengan hati yang bersih dari hawa nafsu dan kefanatikan terhadap suatu golongan. Mohonlah kepada-Nya agar Dia menunjukkan kebenaran lalu ikutilah kebenaran itu. perhatikanlah perkataan-perkataan beliau, kemudian renungkanlah; apakah beliau datang membawa ajaran baru yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah?”.
Kemudian renungkan kembali: Adakah jalan keselamatan selain dengan mengucapkan kebenaran serta membenarkannya? Jika telah datang kebenaran kepadamu maka terimalah dan ikutilah kebenaran tersebut; karena yang demikian lebih baik dari pada bersikeras dalam kebatilan. Hanya kepada Allah-lah semuanya akan kembali.
Hakikat Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Alangkah baiknya kami paparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang hakikat dakwah yang beliau serukan. Karena hingga saat ini ‘para musuh’ dakwah beliau masih terus membangun dinding tebal di hadapan orang-orang awam, sehingga mereka terhalang untuk melihat hakikat dakwah sebenarnya yang diusung oleh beliau.
Syaikh berkata : “Segala puji dan karunia dari Allah, serta kekuatan hanyalah bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Alhamdulillah aku bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran sufi, ajaran imam tertentu yang aku agungkan atau ajaran orang filsafat.
Akan tetapi aku mengajak kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada sunnah Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap untuk tidak menolak kebenaran jika datang kepadaku. Bahkan aku jadikan Allah, para malaikat-Nya serta seluruh makhluk-Nya sebagai saksi bahwa jika datang kepada kami kebenaran darimu maka aku akan menerimanya dengan lapang dada. Lalu akan kubuang jauh-jauh semua yang menyelisihinya walaupun itu perkataan imamku, kecuali perkataan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- karena beliau tidak pernah menyampaikan selain kebenaran.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/37-38).
“Alhamdulillah, aku termasuk orang yang senantiasa berusaha mengikuti dalil, bukan orang yang mengada-adakan hal yang baru dalam agama.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab: V/36).
“Dan yang aku dakwahkan sebenarnya adalah: Kita tidak boleh menyembah kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman-Nya : فَلا تَدْعُو مَعَ اللَّھِ أَحَداً “Maka kamu janganlah menyembah seorang pun di samping menyembah Allah.” (QS. Al-Jin : 18).
Allah ta’ala juga memerintahkan Nabi-Nya -shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) kuasa memberikan suatu kemanfaatan.”  (QS. Al-Jin: 21)
Inilah firman Allah -ta’ala- yang telah disampaikan dan diwasiatkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada kita. Inilah yang akan menjadi hakim antara kalian dan diriku. Jika kalian mendengar tentang dakwahku selain yang kukatakan tadi, maka ketahuilah bahwa hal itu adalah dusta.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/90-91).
Poin Pertama : Keyakinan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Di antara tuduhan besar yang dilontarkan ‘musuh-musuh’ dakwah Syaikh kepada beliau dalam masalah ini adalah :
1.    Beliau dituduh tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah penutup Para Nabi dan Rasul.
Demikianlah tuduhan yang tersebar, padahal semua kitab karangan beliau telah membuktikan dustanya tuduhan ini. Di antara perkataan beliau yang membantah tuduhan tersebut : “Aku beriman bahwa Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah penutup para Nabi dan Rasul. Keimanan seseorang tidak dianggap sah hingga dia beriman dengan kenabian dan kerasulannya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/32).
“Orang yang paling bahagia, paling besar kenikmatannya dan paling tinggi derajatnya adalah orang yang paling setia mengikuti tuntunan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mengamalkan ajaran beliau.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/21).
2.    Beliau dituduh tidak memenuhi hak Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- serta tidak memposisikan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana mestinya. Untuk menjelaskan hakikat tuduhan ini, kami akan kutip perkataan Syaikh yang menjelaskan keyakinan beliau tentang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Beliau berkata : “Ketika Allah -ta’ala- berkehendak untuk menampakkan Tauhid dan menyempurnakan agama-Nya di atas muka bumi, serta meninggikan kalimat Allah dan merendahkan kalimat orang-orang kafir; maka Allah -ta’ala- mengutus Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai penutup para rasul dan kekasih Rabb alam semesta. Beliau senantiasa dikenal setiap masa, bahkan disebutkan pula dalam kitab Taurat Nabi Musa -‘alaihis salam- dan kitab Injil Nabi Isa -‘alaihis salam-. Hingga Allah -ta’ala- memunculkan mutiara tersebut di antara kabilah Bani Kinanah dan Bani Zahrah. Allah mengutus beliau di masa-masa terputusnya (pengiriman) rasul-rasul, lalu menunjukinya jalan yang lurus.
Sebelum beliau diutus menjadi Rasul, telah tampak pada dirinya tanda-tanda kenabian yang tidak bisa ditiru oleh siapapun yang hidup di zamannya. Allah -ta’ala- menumbuhkan beliau dengan sebaik-baiknya hingga menjadi orang yang paling mulia akhlaknya, paling tinggi budi pekertinya, paling tangguh kesabarannya, paling baik dengan para tetangganya, serta paling jujur tutur katanya, sehingga kaumnya menjulukinya sebagai al-amin (yang dipercaya); karena di dalam pribadinya terdapat perilaku yang baik dan sifat-sifat yang terpuji.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/90-91).
“Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah pemimpin para pemberi syafa’at, dan pemberi syafa’at agung (di Padang Mahsyar), Nabi Adam -‘alaihis salam- dan keturunannya kelak berada di bawah benderanya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/86).
“Rasul pertama adalah Nabi Nuh -‘alaihis salam-, dan rasul yang terakhir dan yang paling utama adalah nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/143).
“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyampaikan risalah kepada umatnya dengan sempurna dan menjelaskannya dengan sebaik-baiknya. Beliau adalah penasihat terbaik bagi para hamba Allah, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjihad dengan sebenar-benarnya di jalan Allah ta’ala, serta beribadah kepada Allah -ta’ala- hingga ajalnya tiba.” (Kitab ad-Durar as Saniyyah: II/21).
Syaikh menjelaskan bahwa sabda Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Salah seorang dari kalian tidak dianggap beriman hingga aku lebih dia cintai daripada orang tua dan anak-anaknya serta seluruh manusia”, menunjukkan akan wajibnya mengedepankan kecintaan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- atas kecintaan kepada diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. (Kitab at-Tauhid: hal. 108).
3.    Beliau dituduh mengingkari syafa’at Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Syaikh menjawab tuduhan ini dengan berkata : “Mereka menuduh kami mengingkari syafaat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Subhanallah! ini adalah kedustaan yang besar. Bahkan kami menjadikan Allah -ta’ala- sebagai saksi, bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah orang yang diberi izin Allah -ta’ala- untuk memberikan syafa’at dan pemilik syafa’at agung (di padang mahsyar). Kami memohon kepada Allah Yang Maha Pemurah agar mengizinkan beliau untuk memberikan syafa’atnya kepada kita, dan semoga Allah ta’ala mengumpulkan kita bersamanya kelak.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/63-64).
“Yang mengingkari adanya syafa’at adalah ahlul bid’ah dan orang yang sesat. Akan tetapi syafa’at tersebut tidak akan bisa diraih kecuali setelah kita mendapatkan izin serta ridha dari Allah -ta’ala-. Sebagaimana firman-Nya :
“Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al- Anbiya’: 28).
Allah -ta’ala- juga berfirman :
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa seizin dari-Nya.”  (QS. Al-Baqarah: 255). (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/31).
Kemudian beliau menjelaskan sebab timbulnya tuduhan dusta tersebut : “Tatkala kusebutkan kepada mereka apa yang difirmankan Allah ta’ala, apa yang disabdakan Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, serta apa yang dijelaskan para ulama dari berbagai madzhab, tentang perintah untuk memurnikan ibadah untuk Allah ta’ala semata serta larangan untuk menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib sebagai tuhan selain Allah -ta’ala-, mereka pun berkata, “Kamu telah melecehkan para nabi, orang-orang shalih dan para wali.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/50).
Poin Kedua : Tentang Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Di antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada Syaikh: mereka mengatakan bahwa beliau membenci ahlul bait serta tidak memenuhi hak-hak mereka sebagaimana mestinya.
Jawabannya : tuduhan tersebut tidak sesuai dengan fakta, karena kenyataannya beliau mengakui kedudukan mereka dan mencintai serta menghormati mereka, bahkan beliau mengingkari orang yang benci terhadap mereka, beliau berkata : “Allah -ta’ala- telah mewajibkan kepada umat ini untuk memenuhi hak-hak keluarga Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengabaikan hak-hak mereka, dengan prasangka bahwa hal itu adalah bagian dari tauhid. Keyakinan seperti itu termasuk dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Yang kami ingkari adalah model pemuliaan ahlul bait dengan cara meyakini bahwa dalam diri mereka terdapat sifat-sifat ketuhanan, juga aku mengingkari orang-orang yang menghormati oknum-oknum yang mendakwakan hal tersebut.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab: V/284).
Siapapun yang membaca biografi beliau, niscaya dia akan mengetahui kebenaran apa yang diucapkannya. Cukuplah sebagai bukti akan kebenaran ucapan beliau; tatkala beliau menamai enam dari tujuh orang putra-putranya dengan nama-nama ahlul bait. Mereka adalah: Ali, Abdullah, Husain, Hasan, Ibrahim dan Fatimah. Ini merupakan salah satu bukti yang jelas tentang besarnya kecintaan beliau terhadap ahlul bait.
Poin Ketiga : Tentang Karamah Para Wali
Sebagian orang menyebarkan isu bahwa beliau mengingkari adanya karamah para wali. Perkataan beliau di berbagai pembahasan dalam kitab-kitabnya membuktikan dustanya tuduhan ini. Di antara ucapan beliau : “Aku meyakini keberadaan karamah para wali.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/32).
Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin beliau dituduh demikian, padahal beliau adalah orang yang menyifati golongan yang mengingkari karamah para wali dengan sebutan ahlul bid’ah dan golongan sesat?! Beliau berkata : “Dan tiada yang mengingkari karamah para wali melainkan ahlul bid’ah dan golongan yang sesat.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab: I/169).
Poin Keempat : Tentang Pengkafiran
Di antara tuduhan terbesar yang tersebar adalah: bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta pengikutnya mengkafirkan kaum muslimin, dan meyakini bahwa nikah dengan mereka hukumnya tidak sah, kecuali jika menikah dengan orang yang sepaham dengannya atau orang yang hijrah kepadanya.
Beliau telah membantah tuduhan ini di berbagai bukunya, antara lain ucapannya : “Tuduhan bahwa aku telah mengkafirkan kaum muslimin adalah dusta besar yang diada-adakan orang yang memusuhiku; untuk menghalang-halangi orang dari agama ini. Maka aku katakan, “Maha suci Engkau (wahai Rabbku), ini adalah kedustaan yang besar.” (Kitab ad-Durar as- Saniyyah, I/100).
“Bermacam-macam tuduhan telah dilontarkan kepada kami, fitnah pun makin menjadi-jadi, mereka mengerahkan pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki dari kalangan iblis untuk menyerang kami. Dan di antara kebohongan yang mereka sebarkan, adalah tuduhan bahwa aku mengkafirkan seluruh kaum muslimin kecuali pengikutku, dan nikah dengan mereka hukumnya tidak sah. Untuk menukil tuduhan tersebut saja orang yang berakal merasa malu, apalagi untuk mempercayainya. Bagaimana mungkin orang yang berakal memiliki keyakinan seperti itu? Apakah mungkin seorang muslim meyakini keyakinan demikian?. Aku berlepas diri dari tuduhan itu. Tuduhan itu tidaklah dilontarkan melainkan dari orang yang tidak waras dan linglung. Semoga Allah ta’ala memerangi orang-orang yang bermaksud jelek.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/80).
“Yang aku kafirkan adalah orang yang telah mengerti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia menghinanya, menghalangi manusia darinya, serta memusuhi penganutnya. Inilah yang aku kafirkan, dan alhamdulillah kebanyakan umat ini tidaklah demikian keadaannya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/73).
Poin Kelima: Tentang Pemikiran Khawarij
Sebagian orang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berpemikiran Khawarij, yaitu mengkafirkan orang yang berbuat maksiat.
Beliau menjawab : “Aku tidak akan mengatakan tentang seorang pun dari kaum muslimin bahwa dia pasti masuk surga atau neraka, kecuali orang yang telah dipersaksikan demikian oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berharap semoga orang yang baik masuk surga, dan aku mengkhawatirkan orang yang berbuat jelek akan masuk neraka. Aku tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin, serta mengeluarkannya dari agama ini, hanya karena dia terjerumus ke suatu perbuatan dosa.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/32).
Poin Keenam: Tentang Menyifati Allah -ta’ala- Dengan Sifat Tubuh, Seperti Tubuhnya Makhluk
Di antara isu-isu yang tersebar di publik, bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mensifati Allah ta’ala dengan sifat tubuh, yakni menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Beliau telah menjelaskan keyakinannya dalam masalah ini, dan kenyataannya beliau amat jauh dari keyakinan batil di atas. Beliau berkata : “Termasuk bagian dari keimanan kepada Allah ta’ala adalah: mengimani sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam Kitab dan Sunnah, tanpa mengotori keimanan tersebut dengan tahrif (merubah lafaz maupun makna) dan ta’thil (pengingkaran secara total maupun parsial). Aku meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Aku tidak mengingkari sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Aku juga tidak menyelewengkan makna sifat-sifat tersebut, atau berupaya untuk mereka-reka keadaan serta bentuk yang hakiki dari sifat-sifat itu. Aku tidak menyerupakan sifat-sifat Allah ta’ala dengan sifat-sifat makhluk-Nya; karena tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Dia tidak dianalogikan dengan para makhluk-Nya.
Sesungguhnya Allah ta’ala Maha Mengetahui Dzat-Nya serta makhluk-Nya juga Maha benar firman-Nya. Allah telah berlepas diri dari keyakinan-keyakinan golongan takyif (yang berupaya untuk mereka-reka keadaan serta bentuk yang hakiki dari sifat-sifat Allah), maupun golongan tamtsil (yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya). Juga Allah telah berlepas diri dari keyakinan-keyakinan golongan tahrif (yang merubah lafazh maupun makna sifat-sifat-Nya) maupun golongan ta’thil (yang mengingkari sifat-sifat-Nya secara total maupun parsial). Allah -ta’ala- berfirman :
“Maha suci Rabb-mu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam”. (QS. Ash-Shafat : 180-182).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/29).
“Sebagaimana telah maklum bahwa ta’thil (pengingkaran sifat-sifat Allah secara total maupun parsial) adalah lawan dari tajsim (menyifati Allah ta’ala dengan sifat jasmani seperti jasmani makhluk). Dua keyakinan ini saling bermusuhan. Dan keyakinan yang benar adalah sikap yang tengah di antara keduanya (yaitu: meyakini sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk-Nya).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, III/11).
Poin Ketujuh : Tentang Menyelisihi Pendapat Para Ulama
Sebagian orang mengatakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam dakwahnya telah menyelisihi para ulama, tidak menghiraukan perkataan mereka, tidak pula merujuk kepada kitab-kitab mereka. Bahkan beliau dituduh telah menciptakan ajaran baru dan membawa pemahaman madzhab yang kelima.
Sebaik-baik bantahan atas tuduhan ini adalah pengakuan beliau sendiri : “Aku adalah orang yang bertaqlid kepada Kitab dan Sunnah, serta para salafus salih. Aku juga bergantung dengan perkataan para imam madzhab yang empat; Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah merahmati mereka semua.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab: V/97).
“Seandainya kalian mendapatkan fatwaku menyelisihi ijma’ para ulama, maka tunjukkan padaku.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/53)
“Jika kalian mengira bahwa para ulama telah menyelisihi apa yang aku ajarkan, sesungguhnya di hadapan kalian ada kitab-kitab mereka, (bacalah dengan seksama dan bandingkan dengan apa yang kuajarkan).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/58).
“Aku selalu membandingkan perkataan orang yang bermadzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I maupun Hambali dengan perkataan ulama yang mu’tamad (terpercaya) dalam madzhab tersebut.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/82).
“Walhasil yang aku ingkari adalah pengkultusan terhadap selain Allah -ta’ala-. Maka jika ajaranku bersumber dari pendapatku sendiri, atau dari buku yang tidak tepercaya, atau semata-mata dari hasil taqlidku kepada para ulama mazhabku (mazhab Hambali); maka buanglah jauh-jauh ajaranku. Namun jika ajaranku bersumber dari Kitab dan Sunnah serta ijma’ para ulama dari berbagai mazhab; maka tidak layak bagi orang yang beriman terhadap Allah -ta’ala- dan hari akhir, untuk menolaknya; hanya gara-gara kebanyakan orang di zamannya, atau di negerinya menyelisihi ajaran tersebut.” (Kitab ad-Durar as-Saniyah: I/76).
Penutup
Di penghujung tulisan ini, kami akan mempersembahkan nasihat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Nasehat pertama adalah untuk orang-orang yang memusuhi dakwah ini dan para pengikutnya, yang senantiasa berusaha untuk menghalanginya, serta melontarkan berbagai macam tuduhan batil kepadanya.
Beliau berkata : “Aku ingatkan orang-orang yang menyelisihiku: Seluruh manusia berkewajiban untuk mengikuti apa yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Bukankah kitab-kitab agama ada pada kalian? Bacalah!
Janganlah kalian mengambil sedikitpun dari perkataanku! Namun jika kalian mendapatkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam kitab-kitab tersebut, maka amalkanlah! Meskipun kebanyakan manusia tidak mengamalkannya.
Jangan kalian menaatiku! Namun taatilah perintah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab kalian.
Ketahuilah bahwa tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian melainkan hanya berpegang teguh kepada tuntunan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Hidup di dunia ini hanyalah sementara. Tidak pantas bagi orang yang berakal untuk melupakan surga dan neraka.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/89-90).
“Aku mengajak orang-orang yang menyelisihiku untuk berpegang dengan empat perkara: Kitabullah, Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan ijma’ para ulama. Jika kalian tetap keras kepala, maka aku mengajak kalian untuk mubahalah (masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat berdo’a kepada Allah ta’ala dengan sungguhsungguh, agar Allah ta’ala menjatuhkan laknat kepada pihak yang salah).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/55).
Nasehat kedua adalah bagi orang yang sedang merasa bingung, tidak mengerti mana yang benar dan mana yang salah dalam perkara ini.
Syaikh berkata : “Mohonlah (petunjuk) dengan sungguh-sungguh kepada Allah -ta’ala-, dengan merendahkan diri kepada-Nya, terutama pada waktu-waktu yang mustajab; di antaranya pada waktu sepertiga malam yang terakhir, di akhir shalat, dan antara azan dengan iqamat.
Bacalah do’a yang diajarkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, terutama yang tertera dalam hadits shahih. Seperti doa yang senantiasa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baca :
اللھم رب جبرائیل ومیكائیل وإسرافیل, فاطر السماوات والأرض, عالم الغیب والشھادة, أنت تحكم بین عبادك فیما كانوا.فیھ یختلفون, اھدني لما اختلف فیھ من الحق بإذنك, إنك تھدي من تشاء إلى صراط مستقیم
Wahai Rabb Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Engkaulah yang memutuskan perselisihan di antara hamba-hamba-Mu. Dengan izin-Mu, tunjukkanlah kepadaku kebenaran yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Engkaulah yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.
Hendaknya engkau sering memanjatkan doa tersebut, kehadirat Dzat yang mengabulkan doa orang yang sedang tertimpa kesusahan. Dialah Yang menunjukkan Nabi Ibrahim -‘alaihis salam- kepada kebenaran, meskipun menyelisihi seluruh manusia pada zamannya. Ucapkan pula, “Wahai Dzat yang mengajari Nabi Ibrahim, ajarilah aku.”
Dan jika kamu merasa berat (ketika akan mengamalkan kebenaran) gara-gara menyelisihi masyarakatmu, maka renungkanlah firman Allah -ta’ala- :
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sama sekali tidak akan dapat melindungimu dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang dzalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al- Jatsiyah: 18-19).
Juga firman Allah ta’ala :
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116)
Renungkanlah sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- : “Islam pertama kali datang dianggap asing, dan (di akhir zaman) akan kembali dianggap asing.”
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak mencabut ilmu dari muka bumi ini dengan begitu saja, akan tetapi mencabutnya dengan meninggalnya para ulama. Jika tiada lagi ulama di muka bumi, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemuka agama; sehingga mereka sendiri sesat dan menyesatkan.”
Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasidin sesudahku (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib).”
Dan sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- : “Dan jauhilah hal-hal baru dalam agama (bid’ah), karena semua bid’ah dalam agama adalah sesat.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/42-43).
“Dan jika telah jelas bagimu bahwa inilah kebenaran, yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya, maka wajib bagimu untuk menyampaikan kebenaran itu kepada umat manusia dan mengajarkannya kepada kaum muslimin dan muslimat.
Semoga Allah -ta’ala- merahmati orang yang menunaikan kewajibannya, bertaubat kepada- Nya, dan mengakui kesalahannya. Ketahuilah bahwa orang yang bertaubat dari suatu kesalahan, bagaikan orang yang tidak memiliki dosa. Semoga Allah -ta’ala- menunjukkan kepada kami, kalian dan seluruh saudara-saudara kita jalan yang dicintai dan diridhai-Nya. Wassalam.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/43).
Shalawat, salam serta barakah Allah semoga tetap tercurahkan kepada hamba dan Rasul- Nya, Nabi kita dan kekasih kita Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beserta seluruh isteri-isterinya,  para shahabat beliau yang mulia, dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj beliau sampai hari Kiamat.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab


(1115 – 1206 H/1701 – 1793 M)
Nama Lengkapnya
BELIAU adalah Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin `Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Tempat dan Tarikh Lahirnya
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung `Uyainah (
Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut
kota
Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang.
Beliau meninggal dunia pada 29 Syawal 1206 H (1793 M) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri selama lebih 46 tahun dalam memangku jawatan sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi .
Pendidikan dan Pengalamannya
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkembang dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah ketua jabatan agama setempat. Sedangkan kakeknya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat
Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama. Oleh karena itu, kita tidaklah hairan apabila kelak beliau juga menjadi seorang ulama besar seperti datuknya.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dan ditempa jiwanya dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh `Abdul Wahhab.
Sejak kecil lagi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab sudah kelihatan tanda-tanda kecerdasannya. Beliau tidak suka membuang masa dengan sia-sia seperti kebiasaan tingkah laku kebanyakan kanak-kanak lain yang sebaya dengannya.
Berkat bimbingan kedua ibu-bapaknya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah berjaya menghafal al-Qur’an 30 juz sebelum berusia sepuluh tahun.
Setelah beliau belajar pada orantuanya tentang beberapa bidang pengajian dasar yang meliputi bahasa dan agama, beliau diserahkan oleh ibu-bapaknya kepada para ulama setempat sebelum dikirim oleh ibu-bapaknya ke luar daerah.
Tentang ketajaman fikirannya, saudaranya Sulaiman bin `Abdul Wahab pernah menceritakan begini:
“Bahwa ayah mereka, Syeikh `Abdul Wahab merasa sangat kagum atas kecerdasan Muhammad, padahal ia masih di bawah umur. Beliau berkata: `Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh.’ “
Syeikh Muhammad mempunyai daya kecerdasan dan ingatan yang kuat, sehingga apa saja yang dipelajarinya dapat difahaminya dengan cepat sekali, kemudian apa yang telah dihafalnya tidak mudah pula hilang dalam ingatannya. Demikianlah keadaannya, sehingga kawan-kawan sepermainannya kagum dan heran kepadanya.
Belajar di Makkah, Madinah dan Basrah
Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima – mengerjakan haji di Baitullah. Dan manakala telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya terus kembali ke kampung halamannya.
Adapun Muhammad, ia tidak pulang, tetapi terus tinggal di Mekah selama beberapa waktu, kemudian berpindah pula ke Madinah untuk melanjutkan pengajiannya di
sana.
Di Madinah, beliau berguru pada dua orang ulama besar dan termasyhur di waktu itu. Kedua-dua ulama tersebut sangat berjasa dalam membentuk pemikirannya, yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
Selama berada di Madinah, beliau sangat prihatin menyaksikan ramai umat Islam setempat maupun penziarah dari luar
kota Madinah yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak kesyirikan dan tidak sepatutnya dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya Muslim.
Beliau melihat ramai umat yang berziarah ke maqam Nabi mahupun ke maqam-maqam lainnya untuk memohon syafaat, bahkan meminta sesuatu hajat pada kuburan mahupun penghuninya, yang mana hal ini sama sekali tidak dibenarkan oleh agama Islam. Apa yang disaksikannya itu menurut Syeikh Muhammad adalah sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kesemua inilah yang semakin mendorong Syeikh Muhammad untuk lebih mendalami pengkajiannya tentang ilmu ketauhidan yang murni, yakni Aqidah Salafiyah. Bersamaan dengan itu beliau berjanji pada dirinya sendiri, bahwa pada suatu ketika nanti, beliau akan mengadakan perbaikan (Islah) dan pembaharuan (Tajdid) dalam masalah yang berkaitan dengan ketauhidan, yaitu mengembalikan aqidah umat kepada sebersih-bersihnya tauhid yang jauh dari khurafat, tahyul dan bid’ah. Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan
gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu `Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian beliau berpindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadith danmusthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa’id) dan tidak ketinggalan pula lughatnya semua.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan.
Mulai Berdakwah
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang sesat, yaitu ulama jahat yang memusuhi dakwahnya di sana; keduanya diancam akan dibunuh. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Di samping mempelajari keadaan negeri-negeri Islam tetangga, demi kepentingan dakwahnya di masa akan datang, dan setelah menjelajahi beberapa negeri Islam, beliau lalu kembali ke al-Ihsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif al-Ihsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat didalaminya.
Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian beliau kembali ke kampung asalnya ‘Uyainah, tetapi tidak lama kemudian beliau menyusul orang tuanya yang merupakan bekas ketua jabatan urusan agama ‘Uyainah ke Haryamla, yaitu suatu tempat di daerah Uyainah juga.
Adalah dikatakan bahwa di antara orang tua Syeikh Muhammad dan pihak berkuasa Uyainah berlaku perselisihan pendapat, yang oleh karena itulah orang tua Syeikh Muhammad terpaksa berhijrah ke Haryamla pada tahun 1139 H.
Setelah perpindahan ayahnya ke Haryamla kira-kira setahun, barulah Syeikh Muhammad menyusulnya pada tahun 1140 H. Kemudian, beliau bersama ayahnya itu mengembangkan ilmu dan mengajar serta berdakwah selama lebih kurang 13 tahun lamanya, sehingga ayahnya meninggal dunia di sana pada tahun 1153.
Setelah tiga belas tahun menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar di Haryamla, beliau mengajak pihak Penguasa setempat untuk bertindak tegas terhadap gerombolan penjahat yang selalu melakukan kerusuhan, merampas, merampok serta melakukan pembunuhan. Maka gerombolan tersebut tidak senang kepada Syeikh Muhammad, lalu mereka mengancam hendak membunuhnya. Syeikh Muhammad terpaksa meninggalkan Haryamla, berhijrah ke Uyainah tempat ayahnya dan beliau sendiri dilahirkan.
KEADAAN NEGERI NAJD, HIJAZ DAN SEKITARNYA
KEADAAN negeri Najd, Hijaz dan sekitarnya semasa awal pergerakan tauhid amatlah buruknya. Krisis Aqidah dan akhlak serta merosotnya tata nilai sosial, ekonomi dan politik sudah mencapai titik kulminasi. Semua itu adalah akibat penjajahan bangsa Turki yang berpanjangan terhadap bangsa dan Jazirah Arab, di mana tanah Najd dan Hijaz adalah termasuk jajahannya, di bawah penguasaan Sultan Muhammad Ali Pasya yang dilantik oleh Khalifah di Turki (Istanbul) sebagai Gubenur Jenderal untuk daerah koloni di kawasan Timur Tengah, yang berkedudukan di Mesir.
Pemerintahan Turki Raya pada waktu itu mempunyai daerah kekuasaan yang cukup luas. Pemerintahannya berpusat di Istanbul (Turki), yang begitu jauh dari daerah jajahannya. Kekuasaan dan pengendalian khalifah mahupun sultan-sultannya untuk daerah yang jauh dari pusat, sudah mulai lemah dan kendur disebabkan oleh kekacauan di dalam negeri dan kelemahan di pihak khalifah dan para sultannya.
Disamping itu, adanya cita-cita dari amir-amir di negeri Arab untuk melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah pusat yang berkedudukan di Turki. Ditambah lagi dengan hasutan dari bangsa Barat, terutama penjajah tua yaitu Inggris dan Perancis yang menghasut bangsa Arab dan umat Islam supaya berjuang merebut kemerdekaan dari bangsa Turki, hal mana sebenarnya hanyalah tipudaya untuk memudahkan kaum penjajah tersebut menanamkan pengaruhnya di kawasan itu, kemudian mencengkeramkan kuku penjajahannya di dalam segala lapangan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan dan aqidah.
Kemerosotan dari sektor agama, terutama yang menyangkut aqidah sudah begitu memuncak. Kebudayaan jahiliyah dahulu seperti taqarrub (mendekatkan diri) pada kuburan (maqam) keramat, memohon syafaat dan meminta berkat serta meminta diampuni dosa dan disampaikan hajat, sudah menjadi ibadah mereka yang paling utama sekali, sedangkan ibadah-ibadah menurut syariat yang sebenarnya pula dijadikan perkara kedua. Di mana ada maqam wali, orang-orang soleh, penuh dibanjiri oleh penziarah-penziarah untuk meminta sesuatu hajat keperluannya. Seperti misalnya pada maqam Syeikh Abdul Qadir Jailani, dan maqam-maqam wali lainnya. Hal ini terjadi bukan hanya di tanah Arab saja, tetapi juga di mana-mana, di seluruh pelosok dunia sehingga suasana di negeri Islam waktu itu seolah-olah sudah berbalik menjadi jahiliyah seperti pada waktu pra Islam menjelang kebangkitan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Masyarakat Muslim lebih banyak berziarah ke kuburan atau maqam-maqam keramat dengan segala macam munajat dan tawasul, serta pelbagai doa dialamatkan kepada maqam dan mayat didalamnya, dibandingkan dengan mereka yang datang ke masjid untuk solat dan munajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikianlah kebodohan umat Islam hampir merata di seluruh negeri, sehingga di mana-mana maqam yang dianggap keramat, maqam itu dibina bagaikan bangunan masjid, malah lebih mewah daripada masjid, karena dengan mudah saja dana mengalir dari mana-mana, terutama biaya yang diperolehi dari setiap pengunjung yang berziarah ke sana, atau memang adanya tajaan dari orang yang membiayainya di belakang tabir, dengan maksud-maksud tertentu. Seperti dari imperalis Inggris yang berdiri di belakang tabir maqam Syeikh Abdul Qadir Jailani di India misalnya.
Di tengah-tengah keadaan yang sedemikian rupa, maka Allah melahirkan seorang Mujadid besar (Pembaharu Besar) Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab (al-Wahabi) dari `Uyainah (Najd) sebagai mujaddid Islam terbesar abad ke 12 Hijriyah, setelah Ibnu Taimiyah, mujaddid abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal itu.
Bidang pentajdidan kedua mujaddid besar ini adalah sama, yaitu mengadakan pentajdidan dalam aspek aqidah, walau masanya berbeda, yaitu kedua-duanya tampil untuk memperbaharui agama Islam yang sudah mulai tercemar dengan bid’ah, khurafat dan tahyul yang sedang melanda Islam dan kaum Muslimin. Menghadapi hal ini Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah menyusun barisan Ahli Tauhid (Muwahhidin) yang berpegang kepada pemurnian tauhid. Bagi para lawannya, pergerakan ini mereka sebut Wahabiyin yaitu gerakan Wahabiyah.
Dalam pergerakan tersebut tidak sedikit rintangan dan halangan yang dilalui. Kadangkala Syeikh terpaksa melakukan tindakan kekerasan apabila tidak boleh dengan cara yang lembut. Tujuannya tidak lain melainkan untuk mengembalikan Islam kepada kedudukannya yang sebenarnya, yaitu dengan memurnikan kembali aqidah umat Islam seperti yang diajarkan oleh Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.
Setelah perjuangan yang tidak mengenal lelah itu, akhirnya niat yang ikhlas itu diterima oleh Allah, sesuai dengan firmanNya: ” Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah nescaya Allah akan menolongmu dan menetapkan pendirianmu. ” (Muhammad: 7)
Awal Pergerakan Tauhid
Muhammad bin `Abdul Wahab memulakan pergerakan di kampungnya sendiri yaitu Uyainah. Di waktu itu Uyainah diperintah oleh seorang amir (penguasa) bernama Amir Uthman bin Mu’ammar. Amir Uthman menyambut baik idea dan gagasan Syeikh Muhammad itu dengan sangat gembira, dan beliau berjanji akan menolong perjuangan tersebut sehingga mencapai kejayaan.
Selama Syeikh melancarkan dakwahnya di Uyainah, masyarakat negeri itu semua lelaki dan wanita merasakan kembali kedamaian luar biasa, yang selama ini belum pernah mereka rasakan. Dakwah Syeikh bergema di negeri mereka. Ukhuwah Islamiyah dan persaudaraan Islam telah tumbuh kembali berkat dakwahnya di seluruh pelusuk Uyainah dan sekitarnya. Orang-orang dari jauh pun mula mengalir berhijrah ke Uyainah, karena mereka menginginkan keamanan dan ketenteraman jiwa di negeri ini.
Syahdan; pada suatu hari, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Syeikh Muhammad mengemukakan alasannya kepada Amir, bahwa menurut hadith Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, membina sesebuah bangunan di atas kubur adalah dilarang, karena yang demikian itu akan menjurus kepada kemusyrikan. Amir menjawab: “Silakan… tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini.”
Tetapi Syeikh mengajukan pendapat bahwa beliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh ahli jahiliyah(kaum Badwi) yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai maqam Zaid bin al-Khattab Radiyallahu ‘anhu yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka anggap maqam Zaid bin al-Khattab itu adalah maqam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah maqam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di tempat itu, yang kemudian dihancurkan pula oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Mu’ammar.
Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, akan tetapi semua maqam-maqam yang dipandang berbahaya bagi aqidah ketauhidan, yang dibina seperti masjid yang pada ketika itu berselerak di seluruh wilayah Uyainah turut diratakan semuanya. Hal ini adalah untuk mencegah agar jangan sampai dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat yang sudah mulai nyata kejahiliahan dalam diri mereka. Dan berkat rahmat Allah, maka pusat-pusat kemusyrikan di negeri Uyainah dewasa itu telah terkikis habis sama sekali.
Setelah selesai dari masalah tauhid, maka Syeikh mulai menerangkan dan mengajarkan hukum-hukum syariat yang sudah berabad-abad hanya termaktub saja dalam buku-buku fiqh, tetapi tidak pernah diterapkan sebagai hukum yang diamalkan. Maka yang dilaksanakannya mula-mula sekali ialah hukum rajam bagi penzina.
Pada suatu hari datanglah seorang wanita yang mengaku dirinya berzina ke hadapan Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab, dia meminta agar dirinya dijatui hukuman yang sesuai dengan hukum Allah dan RasulNya. Meskipun Syeikh mengharapkan agar wanita itu menarik balik pengakuannya itu, supaya ia tidak terkena hukum rajam, namun wanita tersebut tetap bertahan dengan pengakuannya tadi, ia ingin menjalani hukum rajam. Maka, terpaksalah Syeikh menjatuhkan kepadanya hukuman rajam atas dasar pengakuan wanita tersebut.
Berita tentang kejayaan Syeikh dalam memurnikan masyarakat Uyainah dan penerapan hukum rajam kepada orang yang berzina, sudah tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.
Masyarakat Uyainah dan sekelilingnya menilai gerakan Syeikh Ibnu `Abdul Wahab ini sebagai suatu perkara yang mendatangkan kebaikan. Namun, beberapa kalangan tertentu menilai pergerakan Syeikh Muhammad itu sebagai suatu perkara yang negatif dan membahayakan kedudukan mereka. Memang, hal ini sama keadaannya dimanapun di saat tersebut, bahkan pergerakan pembaharuan tersebut dipandang rawan bagi penentangnya. Hal tersebut seperti halnya untuk mengislamkan masyarakat Islam yang sudah kembali ke jahiliyah ini, yaitu, dengan cara mengembalikan mereka kepada Aqidah Salafiyah seperti di zaman Nabi, para Sahabat dan para Tabi’in dahulu.
Di antara yang menentangnya dakwah tersebut adalah Amir (pihak berkuasa) wilayah al-Ihsa’ (suku Badwi) dengan para pengikut-pengikutnya dari Bani Khalid Sulaiman bin Ari’ar al-Khalidi. Mereka adalah suku Badui yang terkenal berhati keras, suka merampas, merampok dan membunuh. Pihak berkuasa al-Ihsa’ khuatir kalau pergerakan Syeikh Muhammad tidak dipatahkan secepat mungkin, sudah pasti wilayah kekuasaannya nanti akan direbut oleh pergerakan tersebut. Padahal Amir ini sangat takut dijatuhkan hukum Islam seperti yang telah diperlakukan di negeri Uyainah. Dan tentunya yang lebih ditakutinya lagi ialah kehilangan kedudukannya sebagai Amir (ketua) suku Badui.
Maka Amir Badui ini menulis sepucuk surat kepada Amir Uyainah yang isinya mengancam pihak berkuasa Uyainah. Adapun isi ancaman tersebut ialah: “Apabila Amir Uthman tetap membiarkan dan mengizinkan Syeikh Muhammad terus berdakwah dan bertempat tinggal di wilayahnya, serta tidak mau membunuh Syeikh Muhammad, maka semua pajak dan upeti wilayah Badui yang selama ini dibayar kepada Amir Uthman akan diputuskan (ketika itu wilayah Badwi tunduk dibawah kekuasaan pemerintahan Uyainah).” Jadi, Amir Uthman dipaksa untuk memilih dua pilihan, membunuh Syeikh atau suku Badui itu menghentikan pembayaran upeti.
Ancaman ini amat mempengaruhi pikiran Amir Uthman, karena upeti dari wilayah Badui sangat besar artinya baginya. Adapun upeti tersebut adalah terdiri dari emas murni.
Didesak oleh tuntutan tersebut, terpaksalah Amir Uyainah memanggil Syeikh Muhammad untuk diajak berunding bagaimanakah mencari jalan keluar dari ancaman tersebut. Soalnya, dari pihak Amir Uthman tidak pernah sedikit pun terfikir untuk mengusir Syeikh Muhammad dari Uyainah, apalagi untuk membunuhnya. Tetapi, sebaliknya dari pihaknya juga tidak terdaya menangkis serangan pihak suku Badui itu.
Maka, Amir Uthman meminta kepada Syeikh Muhammad supaya dalam hal ini demi keselamatan bersama dan untuk menghindari dari terjadinya pertumpahan darah, sebaiknya Syeikh bersedia mengalah untuk meninggalkan negeri Uyainah. Syeikh Muhammad menjawab seperti berikut: “Wahai Amir! Sebenarnya apa yang aku sampaikan dari dakwahku, tidak lain adalah DINULLAH (agama Allah), dalam rangka melaksanakan kandungan LA ILAHA ILLALLAH – Tiada Tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasulullah.
Maka barangsiapa berpegang teguh pada agama dan membantu pengembangannya dengan ikhlas dan yakin, pasti Allah akan mengulurkan bantuan dan pertolonganNya kepada orang itu, dan Allah akan membantunya untuk dapat menguasai negeri-negeri musuhnya. Saya berharap kepada anda Amir supaya bersabar dan tetap berpegang terhadap pegangan kita bersama terlebih dahulu, untuk sama-sama berjuang demi tegaknya kembali Dinullah di negeri ini. Mohon sekali lagi Amir menerima ajakan ini. Mudah-mudahan Allah akan memberi pertolongan kepada anda dan menjaga anda dari ancaman Badui itu, begitu juga dengan musuh-musuh anda yang lainnya. Dan Allah akan memberi kekuatan kepada anda untuk melawan mereka agar anda dapat mengambil alih daerah Badui untuk sepenuhnya menjadi daerah Uyainah di bawah kekuasaan anda.”
Setelah bertukar fikiran di antara Syeikh dan Amir Uthman, tampaknya pihak Amir tetap pada pendiriannya, yaitu mengharapkan agar Syeikh meninggalkan Uyainah secepat mungkin.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin `Abdul Wahab, Wada’ Watahu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau berkata: “Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dar’iyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Beliau meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dinihari, dan sampai ke negeri Dar’iyah pada waktu malam hari.” (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.
Bersamaan dengan itu, pihak berkuasa telah merencanakan pembunuhan ke atas diri Syeikh di dalam perjalanannya, namun Allah mempunyai rencana sendiri untuk menyelamatkan Syeikh dari usaha pembunuhan, wamakaru wamakarallalu wallahu khairul makirin. Mereka mempunyai rencana dan Allah mempunyai rencanaNya juga, dan Allah sebaik-baik pembuat rencana. Sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab selamat di perjalanannya sampai ke negeri tujuannya, yaitu negeri Dar’iyah.
Syeikh Muhammad di Dar’iyah
Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dar’iyah, yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah negeri Dar’iyah), Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Sulaim al-`Arini. Bin Sulaim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat.
Syeikh meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain.
Pada mulanya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana Dar’iyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak tenteram, menyebabkan setiap tamu yang datang hendaklah melaporkan diri kepada pihak berkuasa setempat. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dar’iyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Sulaim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Sesuai dengan peraturan yang wujud di Dar’iyah di kala itu, yang mana setiap tetamu hendaklah melaporkan diri kepada pihak berkuasa setempat, maka Muhammad bin Sulaim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan tamunya yang baru tiba dari Uyainah dengan menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau.
Kononnya, ada riwayat yang mengatakan; bahwa seorang soleh datang menemui isteri Amir Ibnu Saud, ia berpesan untuk menyampaikan kepada suaminya, bahwa ada seorang ulama dari Uyainah yang bernama Muhammad bin `Abdul Wahab hendak menetap di negerinya. Beliau hendak menyampaikan dakwah Islamiyah dan mengajak masyarakat kepada sebersih-bersih tauhid. Ia meminta agar isteri Amir Ibnu Saud membujuk suaminya supaya menerima ulama tersebut agar dapat menjadi warga negeri Dar’iyah serta mau membantu perjuangannya dalam menegakkan agama Allah.
Isteri Ibnu Saud ini sebenarnya adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, si isteri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya.
Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: “Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar. Kanda jangan ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari.”
Akhirnya, baginda Ibnu Saud dapat diyakinkan oleh isterinya yang soleh itu. Namun, baginda bimbang sejenak. Ia berfikir apakah Syeikh itu dipanggil datang menghadapnya, ataukah dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh, untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun meminta pandangan dari beberapa penasihatnya, terutama isterinya sendiri, tentang bagaimanakah cara yang lebih baik harus dilakukannya.
Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaik-baiknya dalam hal ini, baginda sendiri yang harus datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Karena ulama itu didatangi dan bukan ia yang datang, al-`alim Yuraru wala Yazuru.’` Maka baginda dengan segala kerendahan hatinya menyetujui nasihat dan isyarat dari isteri maupun para penasihatnya.
Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Sulaim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.
Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Sulaim; di sana Syeikh bersama anda punya rumah sudah bersedia menerima kedatangan Amir Ibnu Saud. Amir Ibnu Saud memberi salam dan keduanya saling merendahkan diri, saling menghormati.
Amir Ibnu Saud berkata: “Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berikrar untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda Syeikh di negeri ini dalam menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Dar’iyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda Syeikh rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk bersama-sama anda Syeikh berjuang demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah RasulNya sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!”
Kemudian anda Syeikh menjawab: “Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama.”
Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dar’iyah, yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus membela darahnya bagaikan saudara kandung sendiri, yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup-semati, senasib, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di bumi persada tanah Dar’iyah.
Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya. Sehingga cita-cita dan perjuangan mereka disampaikan Allah dengan penuh kemenangan yang gilang-gemilang.
Sejak hijrahnya Tuan Syeikh ke negeri Dar’iyah, kemudian melancarkan dakwahnya di sana, maka berduyun-duyunlah masyarakat luar Dar’iyah yang datang dari penjuru Jazirah Arab. Di antara lain dari Uyainah, Urgah, Manfuhah, Riyadh dan negeri-negeri jiran yang lain, menuju Dar’iyah untuk menetap dan bertempat tinggal di negeri hijrah ini, sehingga negeri Dar’iyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab.
Nama Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu popular di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dar’iyah mahupun di luar negerinya, sehingga ramai para penuntut ilmu datang berbondong-bondong, secara perseorangan maupun secara berombongan datang ke negeri Dar’iyah.
Maka menetaplah Syeikh di negeri Hijrah ini dengan penuh kebesaran, kehormatan dan ketenteraman serta mendapat sokongan dan kecintaan dari semua pihak. Beliau pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi teras bagi rencana perjuangan beliau, yaitu bidang pengajian ‘Aqaid al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatika (nahu/saraf)nya serta lain-lain lagi dari ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Dalam waktu yang singkat saja, Dar’iyah telah menjadi kiblat ilmu dan kota pelajar penuntut Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah, yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat umum, begitu juga majlis-majlis ta’limnya.
Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh pelosok Dar’iyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mula menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bid’ah dan khurafat di negeri mereka masing-masing.
Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd. Beliau pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
Berdakwah Melalui Surat-menyurat
Syeikh menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, yang pada ketika itu adalah Dahkan bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama Khariq dan penguasa-penguasa, begitu juga ulama-ulama negeri Selatan, seperti al-Qasim, Hail, al-Wasyim, Sudair dan lain-lainnya.
Beliau terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke sleuruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Semua surat-surat itu ditujukan kepada para umara dan ulama, dalam hal ini termasuklah ulama negeri al-Ihsa’, daerah Badwi dan Haramain (Mekah – Madinah). Begitu juga kepada ulama-ulama Mesir, Syria, Iraq, Hindia, Yaman dan lain-lain lagi. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.
Bukanlah bererti bahwa ketika itu tidak ada lagi perhatian para ulama Islam setempat kepada agama ini, sehingga seolah-olah bagaikan tidak ada lagi yang memperahtikan masalah agama. Akan tetapi yang sedang kita bicarakan sekarang adalah masalah negeri Najd dan sekitarnya.
Tentang keadaan negeri Najd, di waktu itu sedang dilanda serba kemusyrikan, kekacauan, keruntuhan moral, bid’ah dan khurafat. Kesemuanya itu timbul bukanlah karena tidak adanya para ulama, malah ulama sangat ramai jumlahnya, tetapi kebanyakan mereka tidak mampu menghadapi keadaan yang sudah begitu parah. Misalnya, di negeri Yaman dan lainnya, di mana di sana tidak sedikit para ulamanya yang aktif melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta menjelaskan mana yang bid’ah dan yang sunnah. Namun Allah belum mentaqdirkan kejayaan dakwah itu dari tangan mereka seperti apa yang Allah taqdirkan kepada Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afthanistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Memang cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut tetapi pada waktu itu kebanyakan di antara mereka yang kehilangan arah, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.
Begitu semarak dan bergemanya suara dakwah dari Najd ke negeri-negeri mereka, serentak mereka bangkit sahut-menyahut menerima ajakan Syeikh Ibnu `Abdul Wahab untuk menumpaskan kemusyrikan dan memperjuangkan pemurnian tauhid. Semangat mereka timbul kembali bagaikan pohon yang telah layu, lalu datang hujan lebat menyiramnya sehingga menjadi hijau dan segar kembali.
Demikianlah banyaknya surat-menyurat di antara Syeikh dengan para ulama di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan beliau, yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia Islam, baik melalui Rabithah al-`Alam Islami, maupun terus dari pihak kerajaan Saudi sendiri ( di masa mendatang). Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu beliau serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa kini, tulisan-tulisan beliau sudah tersebar luas ke seluruh pelosok dunia Islam.
Dengan demikian, jadilah Dar’iyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dar’iyah pula menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh pelusuk negeri dengan cara membuka sekolah-sekolah di daerah-daerah mereka.
Namun, meskipun demikian, perjalanan dakwah ini tidak sedikit mengalami rintangan dan gangguan yang menghalangi. Tetapi setiap perjuangan itu tidak mungkin berjaya tanpa adanya pengorbanan.
Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.
Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Karena pergerakan ini mendapat tentangan bukan hanya dari luar, akan tetapi lebih banyak datangnya dari kalangan sendiri, terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Namun, oleh karena perlawanan sudah juga digencarkan muslimin sendiri, maka orang-orang di luar Islam pula, terutama kaum orientalis mendapat angin segar untuk turut campur-tangan membesarkan perselisihan diantara umat Islam sehingga terjadi saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan.
Masa-masa tersebut telah pun berlalu. Umat Islam kini sudah sedar tentang apa dan siapa kaum pengikut dakwah Rasulullah yang diteruskan Muhammad bin Abdul Wahhab (dijuluki Wahabi). Dan satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam semenjak awal, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini sudah terungkap.
Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, sama ada dari kalangan dalam Islam sendiri, mahupun dari kalangan luarnya, yang dilancarkan melalui pena atau ucapan, yang ditujukan untuk membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh Syeikh Islam, Imam Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Maghribi sampai ke Merauke, malah kini sudah berkumandang pula ke seluruh jagat raya.
Dalam hal ini, jasa-jasa Putera Muhammad bin Saud (pendiri kerajaan Arab Saudi) dengan semua anak cucunya tidaklah boleh dilupakan begitu saja, di mana dari masa ke masa mereka telah membantu perjuangan tauhid ini dengan harta dan jiwa.
SIAPAKAH Salafiyyah ITU?
SEBAGAIMANA yang telah disebutkan, bahwa Salafiyyah itu adalah suatu pergerakan pembaharuan di bidang agama, khususnya di bidang ketauhidan. Tujuannya ialah untuk memurnikan kembali ketauhidan yang telah tercemar oleh pelbagai macam bid’ah dan khurafat yang membawa kepada kemusyrikan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Beliau mendapat pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan al-Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:
“Sebenarnya tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya beliau menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid.”
Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: “Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya.”
`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu `Abdul Wahab, seperti berikut: “Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Qur’an mahupun Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali).”
Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau berkata: “Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam’ dan dengan perkataan `bahwa jasad Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.
Dan ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, Nabi tidak mengerti makna “La ilaha illallah” sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: “Fa’lam annahu La ilaha illallah,” dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab, karena didalamnya bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami dianggap mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mahu menerima bai’ah seseorang sehingga kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu-bapaknya juga bukan musyrik.’
Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun.
Kami dituduh tidak mahu mengakui kebenaran para ahlul Bait Radiyallahu ‘anhum. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, karena akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.
Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawapan, kecuali yang dapat kami katakan hanya “Subhanaka – Maha suci Engkau ya Allah” ini adalah kebohongan yang besar. Oleh karena itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami, yang dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaithan dari menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.
Kami beri’tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina, riba’ dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya.” (Shiyanah al-Insan, m.s 475)
Khusus tentang Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: “Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa martabat beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan Beliau itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Beliau itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga berziarah ke masjid Nabi dan melakukan solat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat ke atas Nabi, selawat yang datang daripada beliau sendiri, maka ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.”
Tantangan Dakwah Salafiyyah
Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
1. Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
2. Atas nama politik yang berselubung agama.
Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.
Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.
Namun Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa mempedulikan celaan orang yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
1. Golongan ulama khurafat, yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
2. Golongan ulama taashub, yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
3. Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.
Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab, yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar’iyah.
Beliau pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata.
Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ” Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa.” (al-Hadid:25)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an al-Hadid fihi basun syadid yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat. yaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapan, meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain lagi, yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.
Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana al-Qur’an menyatakan dengan Wama nafiu linasi yaitu dan banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.
Orang yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, mahupun oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan, yang diperhambakan oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya, melainkan jika mereka diiring dengan senjata.
Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.
Adalah suatu kebahagiaan yang tidak terucapkan bagi beliau, yang mana beliau dapat menyaksikan sendiri akan kejayaan dakwahnya di tanah Najd dan daerah sekelilingnya, sehingga masyarakat Islam pada ketika itu telah kembali kepada ajaran agama yang sebenar-benarnya, sesuai dengan tuntunan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.
Dengan demikian, maka maqam-maqam yang didirikan dengan kubah yang lebih mewah dari kubah masjid-masjid, sudah tidak kelihatan lagi di seluruh negeri Najd, dan orang ramai mula berduyun-duyun pergi memenuhi masjid untuk bersembahyang dan mempelajari ilmu agama. Amar ma’ruf ditegakkan, keamanan dan ketenteraman masyarakat menjadi stabil dan merata di kota mahupun di desa. Syeikh kemudian mengirim guru-guru agama dan mursyid-mursyid ke seluruh pelusuk desa untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat setempat terutama yang berhubungan dengan aqidah dan syari’ah.
Setelah beliau meninggal dunia, perjuangan tersebut diteruskan pula oleh anak-anak dan cucu-cucunya, begitu juga oleh murid-murid dan pendukung-pendukung dakwahnya. Yang dipelopori oleh anak-anak Syeikh sendiri, seperti Syeikh Imam `Abdullah bin Muhammad, Syeikh Husin bin Muhammad, Syeikh Ibrahim bin Muhammad, Syeikh Ali bin Muhammad. Dan dari cucu-cucunya antara lain ialah Syeikh `Abdurrahman bin Hasan, Syeikh Ali bin Husin, Syeikh Sulaiman bin `Abdullah bin Muhammad dan lain-lain. Dari kalangan murid-murid beliau yang paling menonjol ialah Syeikh Hamad bin Nasir bin Mu’ammar dan ramai lagi jamaah lainnya dari para ulama Dar’iyah.
Masjid-masjid telah penuh dengan penuntut-penuntut ilmu yang belajar tentang pelbagai macam ilmu Islam, terutama tafsir, hadith, tarikh Islam, ilmu qawa’id dan lain-lain lagi. Meskipun kecenderungan dan minat mansyarakat demikian tinggi untuk menuntut ilmu agama, namun mereka pun tidak ketinggalan dalam hal ilmu-ilmu keduniaan seperti ilmu ekonomi, pertanian, perdagangan, pertukangan dan lain-lain lagi yang mana semuanya itu diajarkan di masjid dan dipraktikkan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Setelah kejayaan Syeikh Muhammad bersama keluarga Amir Ibnu Saud menguasai daerah Najd, maka sasaran dakwahnya kini ditujukan ke negeri Mekah dan negeri Madinah (Haramain) dan daerah Selatan Jazirah Arab. Mula-mula Syeikh menawarkan kepada mereka dakwahnya melalui surat menyurat terhadap para ulamanya, namun mereka tidak mau menerimanya.
Mereka tetap bertahan pada ajaran-ajaran nenek moyang yang mengkeramatkan kuburan dan mendirikan masjid di atasnya, lalu berduyun-duyun datang ke tempat itu meminta syafaat, meminta berkat, dan meminta agar dikabulkan hajat pada ahli kubur atau dengan mempersekutukan si penghuni kubur itu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebelas tahun setelah meninggalnya kedua tokoh mujahid ini, yaitu Syeikh dan Amir Ibnu Saud, kemudian tampillah Imam Saud bin `Abdul `Aziz untuk meneruskan perjuangan pendahulunya. Imam Saud adalah cucu kepada Amir Muhammad bin Saud, rekan seperjuangan Syeikh semasa beliau masih hidup.
Berangkatlah Imam Saud bin `Abdul `Aziz menuju tanah Haram Mekah dan Madinah (Haramain) yang dikenal juga dengan nama tanah Hijaz.
Mula-mula beliau bersama pasukannya berjaya menduduki Tha’if. Penaklukan Tha’if tidak begitu banyak mengalami kesukaran karena sebelumnya Imam Saud bin `Abdul `Aziz telah mengirimkan Amir Uthman bin `Abdurrahman al-Mudhayifi dengan membawa pasukannya dalam jumlah yang besar untuk mengepung Tha’if. Pasukan ini terdiri dari orang-orang Najd dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu Ibnu `Abdul `Aziz tidak mengalami banyak kerugian dalam penaklukan negeri Tha’if, sehingga dalam waktu singkat negeri Tha’if menyerah dan jatuh ke tangan Salafy (pengikut Syaikh Muhammad).
Di Tha’if, pasukan muwahidin membongkar beberapa maqam yang di atasnya didirikan masjid, di antara maqam yang dibongkar adalah maqam Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu. Masyarakat setempat menjadikan maqam ini sebagai tempat ibadah, dan meminta syafaat serta berkat daripadanya.
Dari Tha’if pasukan Imam Saud bergerak menuju Hijaz dan mengepung kota Mekah. Manakala Gubernur Mekah mengetahui sebab pengepungan tersebut (waktu itu Mekah di bawah pimpinan Syarif Husin), maka hanya ada dua pilihan baginya, menyerah kepada pasukan Imam Saud atau melarikan diri ke negeri lain. Ia memilih pilihan kedua, yaitu melarikan diri ke Jeddah. Kemudian, pasukan Saud segera masuk ke kota Mekah untuk kemudian menguasainya tanpa perlawanan sedikit pun.
Tepat pada waktu fajar, Muharram 1218 H, kota suci Mekah sudah berada di bawah kekuasaan muwahidin sepenuhnya. Seperti biasa, pasukan muwahidin sentiasa mengutamakan sasarannya untuk menghancurkan patung-patung yang dibuat dalam bentuk kubah di perkuburan yang dianggap keramat, yang semuanya itu boleh mengundang kemusyrikan bagi kaum Muslimin.Maka semua lambang-lambang kemusyrikan yang didirikan di atas kuburan yang berbentuk kubah-kubah masjid di seluruh Hijaz, semuanya diratakan, termasuk kubah yang didirikan di atas kubur Khadijah Radiyallahu ‘anha, isteri pertama Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Bersamaan dengan itu mereka melantik sejumlah guru, da’i, mursyid serta hakim untuk ditugaskan di daerah Hijaz. Selang dua tahun setelah penaklukan Mekah, pasukan Imam Saud bergerak menuju Madinah. Seperti halnya di Mekah, Madinah pun dalam waktu yang singkat saja telah dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Muwahhidin di bawah panglima Putera Saud bin Abdul Aziz, peristiwa ini berlaku pada tahun 1220 H.
Dengan demikian, daerah Haramain (Mekah – Madinah) telah jatuh ke tangan muwahidin. Dan sejak itulah status sosial dan ekonomi masyarakat Hijaz secara berangsur-angsur dapat dipulihkan kembali, sehingga semua lapisan masyarakat merasa aman, tenteram dan tertib, yang selama ini sangat mereka inginkan.
Walaupun sebagai sebuah daerah yang ditaklukan, keluarga Saud tidaklah memperlakukan rakyat dengan sesuka hati. Keluarga Saud sangat baik terhadap rakyat terutama pada kalangan fakir miskin yang mana pihak kerajaan memberi perhatian yang berat terhadap nasib mereka. Dan tetaplah kawasan Hijaz berada di bawah kekuasaan muwahidin (Saudi) yang dipimpin oleh keluarga Saud sehingga pada tahun 1226 H.
Setelah delapan tahun wilayah ini berada di bawah kekuasaan Imam Saud, pemerintah Mesir bersama sekutunya Turki, mengirimkan pasukannya untuk membebaskan tanah Hijaz, terutama Mekah dan Madinah dari tangan muwahidin sekaligus hendak mengusir mereka keluar dari daerah tersebut.
Adapun sebab campurtangan pemerintah Mesir dan Turki itu adalah seperti yang telah dikemukakan pada bahagian yang lalu, yaitu karena pergerakan muwahidin mendapat banyak tantangan dari pihak musuh-musuhnya, bahkan musuh dari pihak dalam Islam sendiri apalagi dari luar Islam, yang bertujuan sama yaitu untuk mematikan dan memadamkan api gerakan dakwah Salafiyyah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Oleh karena musuh-musuh gerakan Salafiyyah tidak mempunyai kekuatan yang memadai untuk menentang pergerakan Wahabiyah, maka mereka menghasut pemerintah Mesir dan Turki dengan menggunakan nama agama, seperti yang telah diterangkan pada kisah yang lalu. Akhirnya pasukan Mesir dan Turki menyerbu ke negeri Hijaz untuk membebaskan kedua kota suci Mekah dan Madinah dari cengkaman kaum muwahiddin, sehingga terjadilah peperangan di antara Mesir bersama sekutunya Turki di satu pihak melawan pasukan muwahidin dari Najd dan Hijaz di pihak lain. Peperangan ini telah berlangsung selama tujuh tahun, yaitu dari tahun 1226 hingga 1234 H.
Dalam masa perang tujuh tahun itu tidak sedikit kerugian yang dialami oleh kedua belah pihak, terutama dari pihak pasukan Najd dan Hijaz, selain kerugian harta benda, tidak sedikit pula kerugian nyawa dan korban manusia. Tetapi syukur alhamdulillah, setelah lima tahun berlangsung perang saudara di antara Mesir-Turki dan Wahabi, pihak Mesir maupun Turki sudah mulai jemu dan bosan menghadapi peperangan yang berkepanjangan itu. Akhirnya, secara perlahan-lahan mereka sedar bahwa mereka telah keliru, sekaligus mereka menyadari bahwa sesungguhnya gerakan Wahabi tidak lain adalah sebuah gerakan Aqidah murni dan patut ditunjang serta didukung oleh seluruh umat Islam.
Dalam dua tahun terakhir menjelang selesainya peperangan, secara diam-diam gerakan muwahidin terus melakukan gerakan dakwah dan mencetak kader-kadernya demi penerusan gerakan aqidah di masa-masa akan datang. Berakhirnya peperangan yang telah memakan waktu tujuh tahun tersebut, membikin dakwah Salafiyyah mulai lancar kembali seperti biasa.
Semua kekacauan di tanah Hijaz boleh dikatakan berakhir pada tahun 1239 H. Begitu juga dakwah Salafiyyah telah tersebar secara meluas dan merata ke seluruh pelusuk Najd dan sekitarnya, di bawah kepemimpinan Imam Turki bin `Abdullah bin Muhammad bin Saud, adik sepupu Amir Saud bin `Abdul `Aziz yang disebutkan dahulu.
Semenjak kekuasaan dipegang oleh Amir Turki bin `Abdullah, suasana Najd dan sekitarnya berangsur-angsur pulih kembali, sehingga memungkinkan bagi keluarga Saud (al-Saud) bersama keluarga Syeikh Muhammad (al-Syeikh) untuk melancarkan kembali dakwah mereka dengan lisan dan tulisan melalui juru-juru dakwah, para ulama serta para Khutaba.
Suasana yang sebelumnya penuh dengan huru-hara dan saling berperang, kini telah berubah menjadi suasana yang penuh aman dan damai menyebabkan syiar Islam kelihatan di mana-mana di seluruh tanah Hijaz, Najd dan sekitarnya. Sedangkan syi’ar kemusyrikan sudah hancur diratakan dengan tanah. Ibadah hanya kepada Allah, tidak lagi ke perkuburan dan makhluk-makhluk lainnya. Masjid mulai kelihatan semarak dan lebih banyak dikunjungi oleh umat Islam, dibanding ke maqam-maqam yang dianggap keramat seperti sebelumnya.
Khususnya daerah Hijaz dengan kota Mekah dan Madinah, begitu lama terputus hubungan dengan Kerajaan (daulah) Saudiyah, yaitu semenjak perlanggaran Mesir dan sekutunya pada tahun 1226 -1342, yang bererti lebih kurang seratus duapuluh tujuh tahun wilayah Hijaz terlepas dari tangan dinasti Saudiyah. Dan barulah kembali ke tangan mereka pada tahun 1343 H, yaitu di saat daulah Saudiyah dipimpin oleh Imam `Abdul `Aziz bin `Abdurrahman bin Faisal bin Turki bin `Abdullah bin Muhammad bin Saud, cucu keempat dari pendiri dinasti Saudiyah, Amir Muhammad bin Saud al-Awal.
Menurut sejarah, setelah Mekah – Madinah kembali ke pangkuan Arab Saudi pada tahun 1343, hubungan Saudi – Mesir tetap tidak begitu baik yang mana tidak ada hubungan diplomatik di antara kedua negara tersebut, meskipun kedua bangsa itu tetap terjalin ukhuwah Islamiyah. Namun setelah Raja Faisal menaiki tahta menjadi ketua negara Saudi, hubungan Saudi – Mesir disambung kembali hingga kini.
Wafatnya
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab.
Dan Allah telah memanjangkan umurnya sampai 92 tahun, sehingga beliau dapat menyaksikan sendiri kejayaan dakwah dan kesetiaan pendukung-pendukungnya. Semuanya itu adalah berkat pertolongan Allah dan berkat dakwah dan jihadnya yang gigih dan tidak kenal menyerah waktu itu.
Kemudian, setelah puas melihat hasil kemenangannya di seluruh negeri Dar’iyah dan sekitarnya, dengan hati yang tenang, perasaan yang lega, Muhammad bin `Abdul Wahab menghadap Tuhannya. Beliau kembali ke Rahmatullah pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd). Semoga Allah melapangkan kuburnya, dan menerima segala amal solehnya serta mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amin