Selasa, 20 November 2012

Tauhid Merupakan Tujuan Manusia Diciptakan, dan Bahaya Besar Bagi Penentangnya

Tak jarang dari umat manusia yang belum memahami dengan sebenarnya akan hakekat keberadaannya di muka bumi ini.

Sebagian mereka beranggapan bahwa hidup ini hanyalah proses alamiah untuk menuju kematian.  Sehingga hidup ini tak ubahnya hanyalah makan, minum, tidur, beraktifitas dan mati, lalu selesai! Tanpa adanya pertanggungjawaban amal di hari kiamat kelak.

Allah , Pencipta semesta alam mengingkari anggapan batil ini dengan firman-Nya (artinya): “Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, (sebagian) kami ada yang mati dan sebagian lagi ada yang hidup (lahir). Dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.” Mereka sekali-kali tidak mengerti tentang hal itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (Al Jatsiyah: 24)

Bila demikian keadaannya, lalu apa tujuan diciptakannya kita di muka bumi ini?

Tujuan Diciptakannya Manusia

Para pembaca, sesungguhnya keberadaan kita di muka bumi ini tidaklah sia-sia belaka. Allah berfirman (artinya): “Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian sia-sia belaka?” (Al Mu’minun: 115)

Bahkan dengan tegas Allah menyatakan (artinya): “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengesakan ibadahnya) kepada-Ku, Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku, Sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan Lagi Maha Sangat Kuat” (Adz Dzariyat: 56-58)

Tentunya, ibadah di sini hanyalah berhak diberikan kepada Allah semata, karena Dia-lah satu-satunya Pencipta kita dan seluruh alam semesta ini. Allah berfirman (artinya): “Hai manusia beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dan Dia yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan sebab itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah: 21-22)

Demikianlah hikmah dan tujuan penciptaan kita di muka bumi ini.

Makna Ibadah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ibadah adalah suatu nama yang mencakup seluruh perkara yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya baik berupa ucapan maupun perbuatan, baik yang dhahir maupun batin.”

Asal ibadah adalah ketundukan dan perendahan diri. Suatu ibadah tidaklah dikatakan ibadah sampai pelakunya bertauhid yaitu mengikhlashkan peribadatan hanya kepada Allah dan meniadakan segala sesembahan kepada selain Allah . Atas dasar itu Ibnu Abbas berkata: “Makna beribadah kepada Allah adalah tauhidullah (yaitu mengesakan peribadahan hanya kepada Allah).

Itulah realisasi dari kalimat tauhid  ‘Lailahailallah’ .  Kalimat tauhid ini merupakan kalimat yang sangat akrab dengan kita, bahkan kalimat inilah yang kita jadikan sebagai panji tauhid dan identitas keislaman. Ia sangat mudah diucapkan, namun menuntut adanya sebuah konsekuensi yang amat besar. Oleh karena itu, Allah gelari kalimat ini dengan “Al ‘Urwatul Wutsqo” (buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus), sebagaimana dalam firman-Nya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (segala apa yang diibadahi selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.  Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 256)

Dakwah Tauhid Adalah Misi Utama Yang Diemban Para Rasul

Tujuan pokok diutusnya para Rasul adalah menyeru umat manusia agar beribadah hanya kepada Allah semata, dan melarang dari peribadatan kepada selain-Nya, sebagaimana Allah berfirman (artinya): “Sungguh tidaklah Kami mengutus seorang rasul pada setiap kelompok manusia kecuali untuk menyerukan: “Beribadahlah kalian kepada Allah saja dan tinggalkan thaghut (yakni sesembahan selain Allah).” (An Nahl: 36)

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan padanya bahwa tidak ada sesembahan yang haq diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al Anbiya’: 25)

Nabi Nuh sebagai seorang rasul pertama mengajak umatnya kepada tauhid selama 950 tahun. Demikian pula Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam selama 13 tahun tinggal di Mekkah menyeru umatnya kepada tauhid dan dilanjutkan di Madinah, sampai-sampai menjelang wafat pun beliau tetap mewanti-wanti tentang pentingnya tauhid dan bahayanya syirik, beliau berkata:

“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan nabi mereka sebagai sebagai masjid-masjid.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Sebagaimana pula yang beliau wasiatkan kepada Sahabat Mu’adz bin Jabal t tatkala diutus ke negeri Yaman:

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi sekelompok kaum dari Ahlul Kitab, maka jadikanlah yang pertama kali dalam dakwahmu, (ajakan) supaya mereka mau bertauhid kepada Allah .” (HR. Muslim)

Tauhid Adalah Solusi Dari Problema Umat

Di kancah perselisihan dakwah dengan lahirnya berbagai macam bendera-bendera Islam yang semuanya mengatasnamakan Islam.  Sebagian mereka mengatakan Islam tidak akan maju dan mulia selama tidak memperhatikan sisi ekonomi kaum muslimin.  Yang lain berpandangan bahwa medan politik adalah solusi umat, meraih kekuasan adalah target utama sebagai jembatan penegak syari’at di muka bumi, dan sekian banyak logika-logika yang hanya berdasarkan kepada perasaan ataupun emosional semata tanpa didasari dengan ilmu.

Para pembaca yang mulia, perhatikanlah berita penegasan dari Allah , bahwa dakwah tauhid yang merupakan tujuan diutusnya para rasul dan para nabi, dan diturunkannya kitab-kitab suci dari langit, adalah faktor terbesar untuk meraih kejayaan, mengangkat kehormatan, kemuliaan dan kesejahteraan kaum muslimin.  Allah berfirman (artinya): “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Yaitu mereka tetap beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An Nur: 55)

“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami melimpahkan berkah dari langit dan bumi.” (Al A’raf: 96)

Dan tauhid merupakan landasan utama dari sebuah keimanan dan ketakwaan.

Keutamaan Tauhid

Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah mewajibkan suatu perkara, melainkan pasti padanya terdapat keutamaan-keutamaan yang sangat mulia. Begitu pula dengan “Tauhid” yang merupakan perkara paling wajib dari perkara-perkara yang paling wajib, tentunya pasti mempunyai berbagai keutamaan.

Di antara keutamaannya ialah:

1. Tauhid Adalah Tingkat Keimanan Yang Tertinggi

Kita ketahui bahwa iman itu bertingkat-tingkat, dan tingkatan yang tertinggi adalah kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah. Rasulullah r bersabda:

“Iman itu ada enam puluh cabang lebih, yang paling tinggi adalah perkataan/ucapan Laa Ilaaha Illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim)

2. Tauhid Sebagai Syarat Diterimanya Suatu Ibadah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Seandainya mereka menyekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al An’am: 88)

3. Tauhid Merupakan Sebab Bagi Datangnya Ampunan Allah Subhanahu wa ta’ala

Hal ini didasarkan kepada firman Allah subhanahu wa ta’ala : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik (ketika pelakunya meninggal dunia dan belum bertaubat darinya), dan Dia mengampuni dosa yang di bawah syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa’: 48 & 116)

4. Tauhid Sebagai jaminan Masuk ke Surga (Al Jannah) Tanpa Hisab

Ketika para shahabat bertanya-tanya tentang 70.000 orang dari umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam  bersabda:

“… mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta di kay dan tidak mengundi nasib dengan burung dan sejenisnya dan mereka bertawakkal hanya kepada Allah.” (H.R. At Tirmidzi)

5. Orang Yang Tauhidnya Benar Pasti Akan Masuk Al Jannah

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam :

“Barangsiapa bertemu Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, niscaya dia akan masuk surga.” (H.R. Muslim)

6. Tauhid Merupakan Sumber Keamanan

Sebagaimana firman Allah (artinya): “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kedhaliman (kesyirikan), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al An’am: 82)

Bagaimanakah Bahaya Syirik ?

Syirik merupakan lawan dari tauhid. Kalau tauhid mengandung makna menunggalkan Allah dalam hal ibadah, maka syirik mengandung makna menyekutukan Allah dalam hal ibadah. Di saat tauhid mempunyai banyak keutamaan maka sebaliknya syirik pun sangat berbahaya dan mempunyai banyak mudharat. Di antaranya adalah:

1. Dosa Syirik Tidak Akan Diampuni Oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik (ketika pelakunya meninggal dunia dan belum bertaubat darinya), dan Dia mengampuni dosa yang di bawah syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa’: 48 & 116)

2. Kesyirikan Adalah Kedhaliman Yang Besar

Firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya): “Sesungguhnya kesyirikan adalah kedhaliman yang besar.” (Luqman: 13)

3. Orang Yang Meninggal Dunia Dalam Keadaan Musyrik Akan Masuk Neraka Dan Kekal Di Dalamnya

Allah berfirman (artinya):

“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan baginya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang dhalim.” (Al Maidah: 72)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam juga bersabda:

“Barangsiapa meninggal dunia dan dia berdo’a kepada selain Allah niscaya dia masuk neraka.” (HR. Al Bukhari)

4. Kesyirikan Penyebab Terpecah Belahnya Umat

Firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar Ruum: 31-32)

Semoga Allah menjauhkan kita semua dari kesyirikan, dan menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang bertauhid, dan para penghuni jannah (surga)-Nya. Amin…

Sumber : Kewajiban Bertauhid Dan Menjauhi Kesyirikan,  Buletin Al-Ilmu  23 Syaban 1427 | 17 September 2006
http://www.buletin-alilmu.com/kewajiban-bertauhid-dan-menjauhi-kesyirikan-2

Kamis, 08 November 2012

Tips menjadi siswa yg cerdas dan komunikatif

Mau tahu apa rahasia para pelajar berprestasi? Ini dia rahasianya:

1. Jadilah seorang pemimpin. Latihlah rasa tanggung jawabmu.
Apabila guru meminta bantuanmu untuk mengerjakan sesuatu misalnya membersihkan kelas, jangan ragu untuk menerimanya. Ajak beberapa teman kelas dan pimpin mereka untuk membersihkan kelas bersama-sama.

2. Mendengarkan penjelasan guru dengan baik.
Jawablah setiap pertanyaan yang diajukan oleh guru apabila kamu mengetahui jawabannya. Jangan menunggu guru untuk memanggil kamu untuk menjawab pertanyaan.

3. Jangan malu untuk bertanya.
Selalu ajukan pertanyaan kepada guru apabila tidak mengerti tentang sesuatu hal.

4. Kerjakan PR dengan baik, jangan selalu mencari alasan untuk tidak mengerjakannya.
Jangan malas mengerjakan PR dengan alasan lupa atau menunda-nunda mengerjakannya. Enak kan kalau kita cepat mengerjakan PR, jadi masih punya banyak waktu untuk bermain dan nonton TV deh!

5. Setiap pulang dari sekolah, selalu mengulang pelajaran yang tadi diajarkan.
Nanti sewaktu ada ulangan jadi tidak banyak yang harus dipelajari! Asyik!

6. Cukup istirahat, makan dan bermain.
Semuanya dilakukan secara berimbang. Setelah pulang sekolah, kita sering ingin cepat-cepat bermain dan melupakan segala hal penting lainnya, contohnya makan dan istirahat. Padahal setelah seharian di sekolah, tak terasa badan kita membutuhkan masukan energi tambahan yang bisa didapatkan dari istirahat dan makanan yang kita makan. Oleh karenanya kita harus dapat membagi waktu untuk makan, istirahat dan bermain. Kalau semuanya dilakukan dengan baik, badan jadi segar setiap hari! Jadi tidak sering mengantuk di kelas!

7. Banyak berlatih pelajaran yang kurang disuka.
Apabila kamu tidak menyenangi suatu mata pelajaran, contohnya matematika, maka banyak-banyaklah berlatih, mengikuti kursus atau belajar berkelompok dengan teman. Sehabis belajar bisa bermain dan menambah teman baru di tempat kursus. Selain itu, siapa tahu dari kurang menyukai matematika, kalian malahan menyukainya.

8. Ikutilah kegiatan ektrakurikuler yang kamu senangi.
Cari tahu kegiatan apa yang cocok dan kamu suka. Contohnya apabila kalian suka pelajaran tae kwon do, cobalah untuk mengikuti kursus dari kegiatan tersebut, sehingga selain belajar pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah, kalian juga dapat mendapatkan pelajaran tambahan di luar sekolah.

9. Cari seorang pembimbing yang baik.
Orangtua adalah pembimbing yang terbaik selain guru. Apabila ada yang kurang jelas dari keterangan guru di sekolah, kalian dapat menanyakan hal tersebut kepada orang tua. Selain itu, kalian juga dapat belajar dari teman yang berprestasi.

10. Jangan suka mencontek teman.
Kalau mencontek, kamu bisa bodoh karena tidak berpikir sendiri. Lagipula belum tentu, teman yang kamu contek itu menjawab pertanyaan dengan benar. Belum lagi kalau ketahuan guru dan teman lain, malu kan? Kalau kamu rajin belajar, pasti bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar sehingga ulangan dapat nilai baik.

Finlandia Punya Cara Bikin Siswa Cerdas

Senin, 16 April 2012 18:04 WIB
Metrotvnews.com, Helsinki: Finlandia menerapkan sistem pendidikan yang terbilang unik. Tidak mengenal evaluasi akhir tahun seperti Ujian Nasional (UN). Tapi selalu ada ujian yang bukan menguji kecerdasan siswa melainkan kesuksesan guru dalam menerangkan. Tak heran jumlah siswa yang drop-out di Finlandia hanya 2 persen. Angka terendah di seluruh dunia.

Bukan hanya itu. Siswa tak terlalu banyak diberi beban. Untuk kenyamanan belajar, pemerintah menetapkan standar 1 kelas 20 siswa dan 3 guru. Dua guru menerangkan di depan kelas, satu lagi membantu siswa yang terlihat kesulitan memahami materi pelajaran.

Pemerintah menetapkan standar masuk SD mulai usia 7 tahun. Guru pun bebas merancang kurikulum. Guru-guru di Finlandia adalah guru-guru terbaik, minimal pendidikan S2, serta merupakan lulusan terbaik dengan predikat 10 besar di kelasnya.

Meskipun gaji guru tidak besar, pemerintah dan masyarakat Finlandia sangat menghargai profesi guru. Apalagi hasil juga tak bisa diragukan. Finlandia menghasilkan para pelajar dengan kualitas hampir terbaik di dunia. Para pelajar menduduki peringkat kedua untuk Sains dan Matematika. Ini melampaui Amerika Serikat (AS) yang hanya menduduki peringkat 14.(*****)

Jumat, 12 Oktober 2012

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi)

Rumah, merupakan tempat pertama yang sangat menentukan pembentukan kepribadian seorang anak manusia. Jika anak lahir dalam suasana rumah tangga yang baik (agamis) insya Allah ia akan menjadi generasi yang baik. Demikian pula sebaliknya. Bagaimana kita sebagai orang tua meletakkan batu pertama pembangunan kepribadian mereka? Simak bahasan berikut!
Dalam edisi-edisi sebelumnya, khususnya dalam rubrik Akhlak, telah dijelaskan bahwa akhlak merupakan salah satu bagian terpenting di dalam agama ini. Juga didapatkan gambaran bahwa sebuah kehidupan, baik yang bersifat individu ataupun masyarakat akan menjadi indah bila dihiasi dengan akhlak yang baik. Bila ada yang menganggap bahwa persoalan akhlak merupakan persoalan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan, niscaya pada dirinya akan didapati agamanya telah pincang dan menjadi sosok yang penuh tanda tanya.
Benarkah dia jujur? Benarkah dia adalah orang yang amanat? Benarkah dia adalah orang yang penyabar? Benarkah dia adalah orang yang baik pergaulannya? Benarkah dia adalah orang yang murah hati? Benarkah dia adalah orang yang lembut? Benarkah dia adalah orang yang suka senyum? Benarkah dia tidak suka menipu? Benarkah dia adalah orang yang bertanggung jawab? Dan berbagai perta-nyaan akan muncul mengenai dirinya.
Karena akhlak yang tidak baik pada dirinya itulah, orang-orang akan berpikir panjang untuk mendekatinya. Di sinilah akan terlihat nyata kebenaran apa yang telah disabdakan Rasulullah n:
“Ruh itu adalah tentara yang dikelompokkan. Maka apa yang ia kenali, ia akan menyatu dan bila berbeda akan berpisah.”1
Seorang penyair berkata:
Sesungguhnya umat akan kokoh bila mereka berakhlak
Dan akan hancur bila akhlak mereka telah hilang
Individu merupakan asal pembentukan sebuah rumah tangga dan sangat menen-tukan kebaikan rumah tangga tersebut. Bila sebagai individu telah berakhlak baik, niscaya akan melahirkan rumah tangga yang baik pula. Begitu sebaliknya, bila individu itu rusak akan menyebabkan rusaknya rumah tangga. Oleh karenanya, Allah I mengingatkan di dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi menjelaskan: “Menjaga diri sendiri dengan cara melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Serta menjaga keluarga, maknanya memerintahkan mereka untuk taat dan mencegah mereka dari melakukan kemaksiatan. ‘Ali z mengata-kan: ‘Ajari dan didiklah mereka’.” (Zadul Masir Fi ‘Ilmit Tafsir hal. 1453)
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Qatadah, ia berkata tentang firman Allah I: “Jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”: “Menjaga mereka artinya memerintahkan mereka untuk taat kepada Allah I dan melarang mereka dari bermaksiat kepada Allah I. Serta melaksanakan tugas-tugas sesuai yang telah diperintahkan Allah I kepadanya, lalu dengan itu dia memerintahkan keluarganya dan membantu mereka dalam hal ini. Dan bila melihat mereka melakukan kemaksiatan, dia berusaha mencegah dan melarangnya. Allah I telah berfirman:
“Perintahkan keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah kamu terhadap mereka.” (Thaha: 132) Artinya, peliharalah dan selamatkanlah mereka dari adzab api neraka dengan mendirikan shalat dan bersabar atas mereka.”
Dan terdapat hadits yang semakna dengan ayat di atas, yaitu hadits yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya (2/187) dan Abu Dawud di dalam Sunan-nya (no. 495) dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
“Perintahkan anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) ketika mereka berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Hadits ini derajatnya hasan. Makna “pisahkanlah tempat tidur mereka” adalah untuk laki-laki atau perempuan. Hal ini termasuk dari menjaga pintu kemaksiatan dan termasuk keindahan syariat Islam yang mulia.
Ibnu Katsir t juga mengatakan: “Demikian juga melatih mereka untuk berpuasa agar mereka terlatih dalam beribadah kepada Allah I. Sehingga ketika mereka beranjak dewasa selalu dalam keadaan beribadah kepada Allah I, menaati-Nya, menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran. Semoga Allah I memberikan taufiq.” (Lihat ta’liq atas Zadil Masir hal. 1453)
Membangun Rumah Tangga yang Baik
Sebuah rumah tangga terkadang terdiri dari berbagai individu dengan beragam watak dan perangai. Bahkan sangat mungkin di dalam satu rumah tangga terdapat seribu satu macam perangai dan tabiat. Sehingga akhlak seakan-akan lahir dari sumber yang berbeda-beda. Siapakah pertama kali yang akan mewarnai mereka? Dan siapakah yang pertama kali akan mencetak dan membentuk mereka?
Rasulullah n telah memberikan jawaban di dalam sebuah sabda beliau:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanya lah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”2
Kedua orang tuanyalah yang menjadi peletak batu pertama dalam pembangunan kepribadian setiap anak. Orang tua adalah orang pertama kali yang akan memberikan tinta pada lembaran fitrah yang suci setiap anak. Alangkah celakanya bila nahkoda (kedua orang tua) perahu yang sedang berlayar memakai aturan-aturan pelayaran yang dibuat sendiri atau mengambil aturan para pembajak perjalanan, yaitu Iblis dan bala tentaranya. Betapa malang nasib awak kapal dan para penumpangnya jika tidak segera mengubah situasi dan kondisi yang lurus dan stabil.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sehingga mereka yang mengubah nasib mereka.” (Ar-Ra’d: 11)
Kedua orang tualah yang menjadi tulang punggung perjalanan sebuah rumah tangga dan sebagai akar kebaikan anggota rumah tangga itu sendiri. Mereka berdua yang akan mempertanggungjawabkan hasil perbuatannya dan perbuatan anaknya di hadapan Ilahi yaitu Allah I. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama menyimak bimbing-an Rasulullah n menuju keluarga yang diridhai:
Pertama: Sebelum membangun rumah tangga.
“Wanita itu dinikahi dengan empat alasan yaitu karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Dan pilihlah yang beragama (dan jika tidak) akan celaka kedua tanganmu.”3
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah.”4
Kedua: Setelah melakukan perni-kahan.
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
“Dan perintahkan keluargamu untuk melakukan shalat dan bersabarlah kamu atas mereka.” (Thaha: 132)
“Berwasiatlah kalian kepada kaum wanita karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Dan jika kamu berusaha meluruskannya, khawatir kamu akan mematahkannya dan jika kamu membiarkannya, niscaya akan terus bengkok. (Oleh karena itu) berwasiatlah kebaikan kepada mereka.”5
“Setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian. Seorang imam (penguasa) adalah pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya, seorang kepala rumah tangga adalah pemimpin di keluarga-nya dan dia dimintai tanggung jawab atas yang dipimpinnya, dan seorang wanita adalah penanggung jawab di rumah suaminya dan akan dimintai tanggung jawab, dan seorang pembantu adalah penanggung jawab bagi harta tuannya dan akan dimintai tanggung jawab.’6
“Perintahkan anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka di ranjang-ranjang mereka.”
Setan Bertujuan Merusak Rumah Tangga
Bagi setan, rumah tangga merupakan urusan yang sangat berharga bila mampu dirusaknya. Karena jika rumah tangga rusak, otomatis akan menampilkan generasi yang rusak. Setiap orang yang telah berkeluarga nicaya pernah merasakan betapa mudahnya timbul gesekan di antara mereka. Permasalahan yang sepele akan bisa tersulut menjadi sesuatu yang besar dan berbahaya. Tidak lain, setanlah yang menjadi dalangnya.
Sudah barang tentu sebaliknya, bila keluarga itu baik niscaya sebuah kehidupan akan menjadi baik dan diridhai. Dengan itu, maka salah satu sasaran Iblis yang besar adalah merusak keluarga. Hal ini telah dipertegas Rasululllah n di dalam sebuah sabdanya:
“Sesungguhnya Iblis meletakkan sing-gasananya di atas air kemudian dia mengutus bala tentaranya. Orang yang paling dekat kedudukannya di sisinya adalah orang yang paling besar fitnah yang ditimbulkan. Datanglah salah seorang dari mereka dan mengatakan aku telah melakukan demikian-demikian, Iblis menjawab: ‘Engkau belum berbuat apa-apa.’ Dan kemudian yang lain datang dan mengatakan: ‘Aku tidaklah meninggalkan dia bersama keluarganya melainkan aku telah memecah belah di antara keduanya’. Lalu kemudian Iblis mendekat-kannya dan mengatakan, ‘Iya, kamu sebaik-baik anak buah’.”7
Bila Rumah Tangga Rusak
Keluarga adalah madrasah yang pertama dan utama di dalam hidup. Seseorang bila tidak memiliki keluarga bisa dikatakan seratus persen hidupnya tidak memiliki arah dan tujuan, kecuali bagi mereka yang memang diridhai Allah I. Begitu juga bila rumah tangga sebagai madrasah pertama bagi seorang anak rusak, bisa dikatakan seratus persen anak itu rusak, kecuali bila dirahmati oleh Allah I sehingga Dia berkehendak lain. Dan begitu seterusnya, akan berakibat sangat fatal dalam kelang-sungan regenerasi.
Karena dari keluarga itulah, akan lahir generasi baru. Generasi baru sedikit banyak membawa cerminan generasi sebelumnya. Generasi baru menjadi baik bila generasi sebelumnya merupakan generasi yang baik. Dan begitu sebaliknya, bila generasi sebelumnya merupakan cermin kejahatan maka generasi sesudahnya akan menjadi cermin keburukan generasi sebelumnya, kecuali bila generasi sesudahnya disambut dengan hidayah Allah I.
Berdasarkan itu semua, maka teramat penting untuk kita berusaha sebagai berikut:
1.    Mencetak Generasi yang Berilmu
Generasi yang berilmu adalah generasi yang memahami agama dengan benar dan mengamalkannya sesuai dengan apa yang dimaukan Allah I dan Rasul-Nya. Generasi yang menempuh jalan Rasulullah n dan para shahabat beliau dalam segala amaliah, baik lahiriah ataupun batiniah. Generasi seperti ini akan menjadi musuh besar Iblis dan bala tentaranya. Bagaimana tidak, dengan ilmu, dirinya akan terpelihara dari segala rayuan Iblis dan bisa membedakan perkara yang haq dan batil. Lebih dari itu, dia akan bisa mengingatkan orang lain untuk tidak tergoda rayuan Iblis dan tidak mengikuti langkah-langkahnya. Rasulullah n mengatakan:
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscaya Allah akan memberikan dia kefaqihan (pemahaman) dalam agama.”8
Rasulullah n juga bersabda:
“Barangsiapa berjalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudah-kan jalannya menuju surga.”9
2.    Generasi yang Berakidah Benar
Akidah merupakan landasan hidup setiap orang dan akan menentukan kebaik-an yang lain. Ia merupakan asas dibangun-nya amalan-amalan di dalam Islam. Bila landasan ini rusak, akan menyebabkan kerusakan yang lain. Akidah merupakan manhaj yang sempurna di dalam kehidupan seseorang. Ini akan terwujud bila mengimplementasikan kemerdekaan total dari perbudakan kepada selain Allah I pada generasinya, membentuk kepribadian yang harmonis dan seimbang di dalam hidupnya, memberikan rasa aman, memberikan keku-atan dalam menghadapi segala tantangan di dalam hidup dan menanamkan persauda-raan di atas keimanan. (diringkas dari kitab Al-Firqatun Najiyah karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu)
Allah I berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah mem-buat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka semua ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang jelek, yang telah tercabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak ada kekokohan sedikitpun. Allah meneguhkan iman orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Dan Allah menyesatkan orang-orang yang dzalim dan Allah berbuat apa-apa yang dikehendaki.” (Ibrahim: 24-27)
3.    Generasi yang Berakhlak Mulia
Generasi yang berakhlak rusak tentunya akan menjadi pecundang setan dalam jaring penyesatannya. Ia akan dijadikan sebagai pasukan yang handal untuk memusuhi orang-orang yang taat kepada Allah I, bahkan memusuhi para nabi dan rasul. Allah I berfirman:
“Demikianlah kami menjadikan musuh bagi setiap nabi dari kalangan pelaku masiat.” (Al-Furqan: 31)
Bila akhlak yang mulia menghiasi suatu kaum niscaya akan menjadikan kaum itu baik dan menjadi cermin kemuliaan bagi generasi sesudahnya. Rasulullah n bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah generasi-ku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.” 10
Pujian yang diberikan Allah I melalui lisan Rasul-Nya n kepada tiga generasi tersebut meliputi pujian lahiriah dan batiniah mereka, dan termasuk di dalam pujian lahiriah adalah akhlak yang terpuji.
4.    Berpendidikan Baik
Rasulullah n telah mencontohkan pengajaran yang baik kepada calon generasi yang baik dengan mengatakan:
“Wahai anak muda, aku akan mengajar-kan kepadamu beberapa kalimat: `Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu dan jagalah Allah niscaya Allah akan menolong-mu. Jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah dan jika kamu meminta tolong maka minta tolonglah kepada Allah. Ketahui-lah, jika umat ini bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan sanggup untuk memberikan manfaat melainkan apa yang telah dituliskan bagimu. Dan bila mereka bersatu ingin memberikan kemudharatan, niscaya mereka tidak akan sanggup untuk memberikannya melainkan apa yang telah ditulis bagimu, telah terangkat pena dan telah kering lembaran’.”11
Ketika ‘Umar bin Abu Salamah z makan berjamaah dan tangan beliau berseliweran ke sana kemari, Rasulullah n mengatakan:
“Wahai anak muda, bacalah bismillah, makan dengan tangan kananmu dan makan apa yang ada di dekatmu.”12
Dalam satu majelis ada tiga bimbing-an yang diberikan Rasulullah n kepada ‘Umar bin Abu Salamah, dan beliau di saat itu masih kecil.
5.    Lingkungan dan Teman yang Baik
Lingkungan dan teman mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk kepribadian seseorang dan sebuah generasi. Bila salah memilih lingkungan dan salah dalam memilihkan teman, niscaya akan menjadi bumerang bagi diri kita. Rasulullah n menjelaskan:
“Seseorang sesuai dengan agama/perilaku temannya.”13
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci maka kedua orang tuanya yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
“Perumpamaan teman yang baik dan yang jelek seperti berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai besi.
bersambung ke hal. 77
Hiasi Rumahmu…
Sambungan dari hal. 67
… Bisa jadi, penjual minyak wangi akan memberimu, atau kamu akan membeli darinya, atau kamu akan mendapatkan bau yang wangi. Adapun (berteman) dengan pandai besi ada kemungkinan dia akan membakar pakaianmu atau kamu akan mencium bau yang busuk.”14
6.    Suri Teladan yang Mulia
Setiap orang membutuhkan teladan yang baik di dalam hidupnya agar dia bisa bercermin dalam hidupnya dan menyesuai-kan amalan, ucapan dan keyakinannya. Generasi yang baik akan mengambil contoh dari generasi sebelumnya yang baik, yang pada akhirnya adalah menjadikan Rasulullah n sebagai suri teladan dalam hidup. Demikianlah bimbingan Allah I:
“ Sungguh telah ada pada diri Rasulmu suri teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 HR. Al-Imam Al-Bukhari secara mu’allaq dari hadits ‘Aisyah dan Muslim no. 4773 dari shahabat Abu Hurairah
2 HR. Al-Imam Al-Bukhari di dalam banyak tempat dan Al-Imam Muslim no. 4803 dari Abu Hurairah
3 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 4700 dan Muslim no. 2661 dari shahabat Abu Hurairah
4 HR. Al-Imam Muslim no. 2668 dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c
5 HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam banyak tempat dalam Shahih keduanya dari shahabat Abu Hurairah.
6 HR. Al-Imam Al-Bukhari, kurang lebih pada delapan tempat di dalam Shahih beliau dan Muslim no. 3408 dari shahabat Abdullah bin Umar c.
7 HR. Al-Imam Muslim no. 2813 dari shahabat Jabir bin Abdullah.
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1719 dari shahabat Mu’awiyah
9 HR. Al-Imam Muslim no. 4867 dari shahabat Abu Hurairah
10 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 2457, 2458 dan Muslim no. 4603, 4600 dari shahabat Abdullah bin Mas’ud dan ‘Imran bin Hushain.
11 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2440 dari shahabat Abdullah bin Abbas
12 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 4957, 4958, 4959 dan Muslim no. 3767, 3768 dari shahabat ‘Umar bin Abu Salamah
13 HR. Al-Imam Ahmad no. 7685, Abu Dawud no. 4193 dan At-Tirmidzi no. 2300 dari shahabat Abu Hurairah

Random Posts

http://hidatte.files.wordpress.com/2011/03/jump_away_4___by_ldinami7e.jpg

10 Tips Menjadi Pribadi Yang Menarik Hati. Kata kunci yang harus diperhatikan dalam berhubungan dengan orang lain adalah harga diri. Begitu pentingnya harga diri, sehingga tidak sedikit orang yang mempertaruhkan nyawanya demi mempertahankan harga dirinya. Untuk menjadi pribadi yang disukai, harus terus belajar memuaskan harga diri orang lain. Karena dengan harga diri yang terpuaskan, orang bisa menjadi lebih baik, lebih menyenangkan, dan lebih bersahabat.

1.ROYALAH DALAM MEMBERI PUJIAN
Pujian itu seperti air segar yang bisa menawarkan rasa haus manusia akan penghargaan. Dan kalau Anda selalu siap membagikan air segar itu kepada orang lain, Anda berada pada posisi yang strategis untuk disukai oleh orang lain. Caranya? Bukalah mata lebar-lebar untuk selalu melihat sisi baik pada sikap dan perbuatan orang lain. Lalu pujilah dengan tulus.

2.BUATLAH ORANG LAIN MERASA DIRINYA SEBAGAI ORANG PENTING
Tunjukkanlah dengan sikap dan ucapan bahwa anda menganggap orang lain itu penting. Misalnya, jangan biarkan orang lain menunggu terlalu lama, katakanlah maaf bila salah, tepatilah janji, dsb.

3.JADILAH PENDENGAR YANG BAIK
Kalau bicara itu perak dan diam itu emas, maka pendengar yang baik lebih mulia dari keduanya. Pendengar yang baik adalah pribadi yang dibutuhkan dan disukai oleh semua orang. Berilah kesempatan kepada orang lain untuk bicara, ajukan pertanyaan dan buat dia bergairah untuk terus bicara. Dengarkanlah dengan antusias, dan jangan menilai atau menasehatinya bila tidak diminta.

4.USAHAKANLAH UNTUK SELALU MENYEBUTKAN NAMA ORANG DENGAN BENAR
Nama adalah milik berharga yang bersifat sangat pribadi. Umumnya orang tidak suka bila namanya disebut secara salah atau sembarangan. Kalau ragu, tanyakanlah bagaimana melafalkan dan menulis namanya dengan benar. Misalnya, orang yang dipanggil Wilyem itu ditulisnya William, atau Wilhem? Sementara bicara, sebutlah namanya sesering mungkin. Menyebut Andre lebih baik dibandingkan Anda. Pak Peter lebih enak kedengarannya daripada sekedar Bapak.

5.BERSIKAPLAH RAMAH
Semua orang senang bila diperlakukan dengan ramah. Keramahan membuat orang lain merasa diterima dan dihargai. Keramahan membuat orang merasa betah berada di dekat Anda.

6.BERMURAH HATILAH
Anda tidak akan menjadi miskin karena memberi dan tidak akan kekurangan karena berbagi. Seorang yang sangat bijak pernah menulis, Orang yang murah hati berbuat baik kepada dirinya sendiri. Dengan demikian kemurahan hati disatu sisi baik buat Anda, dan disisi lain berguna bagi orang lain.

7.HINDARI KEBIASAAN MENGKRITIK, MENCELA ATAU MENGANGGAP REMEH
Umumnya orang tidak suka bila kelemahannya diketahui oleh orang lain, apalagi dipermalukan. Semua itu menyerang langsung ke pusat harga diri dan bisa membuat orang mempertahankan diri dengan sikap yang tidak bersahabat.

8.BERSIKAPLAH ASERTIF
Orang yang disukai bukanlah orang yang selalu berkata Ya, tetapi orang yang bisa berkata Tidak bila diperlukan. Sewaktu-waktu bisa saja prinsip atau pendapat Anda berseberangan dengan orang lain. Anda tidak harus menyesuaikan diri atau memaksakan mereka menyesuaikan diri dengan Anda. Jangan takut untuk berbeda dengan orang lain. Yang penting perbedaan itu tidak menimbulkan konflik, tapi menimbulkan sikap saling pengertian. Sikap asertif selalu lebih dihargai dibanndingkan sikap Yesman.

9.PERBUATLAH APA YANG ANDA INGIN ORANG LAIN PERBUAT KEPADA ANDA
Perlakuan apapun yang anda inginkan dari orang lain yang dapat menyukakan hati, itulah yang harus anda lakukuan terlebih dahulu. Anda harus mengambil inisiatif untuk memulainya. Misalnya, bila ingin diperhatikan, mulailah memberi perhatian. Bila ingin dihargai, mulailah menghargai orang lain.

10.CINTAILAH DIRI SENDIRI
Mencintai diri sendiri berarti menerima diri apa adanya, menyukai dan melakukan apapun yang terbaik untuk diri sendiri. Ini berbeda dengan egois yang berarti mementingkan diri sendiri atau egosentris yang berarti berpusat kepada diri sendiri. Semakin Anda menyukai diri sendiri, semakin mudah Anda menyukai orang lain, maka semakin besar peluang Anda untuk disukai orang lain. Dengan menerima dan menyukai diri sendiri, Anda akan mudah menyesuaikan diri dengan orang lain, menerima mereka dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, bekerjasama dengan mereka dan menyukai mereka. Pada saat yang sama tanpa disadari Anda memancarkan pesona pribadi yang bisa membuat orang lain menyukai Anda.

Rabu, 11 Juli 2012


Pengertian Ikhlas

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.

Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.

Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.

Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.

Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.

Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.

Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.

SULITNYA MEWUJUDKAN IKHLAS
Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ulama yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah.

Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.” [2]

Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a:

يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

Ya, Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.

Lalu seorang sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Ya, karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari tangan Allah, dan Allah membolak-balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525; Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At Tirmidzi, III/171 no. 2792; Shahih Jami’ush Shagir, no.7987 dan Zhilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat Anas].

Yahya bin Abi Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal.” [3]

Muththarif bin Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan amal, dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4]

Pernah ada orang bertanya kepada Suhail: “Apakah yang paling berat bagi nafsu manusia?” Ia menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki bagian dari ikhlas.” [5]

Dikisahkan ada seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling depan. Suatu hari ia datang terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit rasa malu kepada para jama’ah lain yang melihatnya. Maka pada saat itulah, ia menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang lain. [6]

Yusuf bin Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling sulit di dunia adalah ikhlas. Aku sudah bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dari hatiku, seolah-olah timbul riya, dengan warna lain.” [7]

Ada pendapat lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang masa, karena ikhlas sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata, barangsiapa melakukan ibadah sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat saja ikhlas karena Allah, maka ia akan selamat.

Masalah ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali perbuatan yang dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang memperhatikannya, kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan kemudahan) dari Allah. Adapun orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak, perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah yang dimaksudkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللهِ مَالَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَاكَسَبُوا وَحَاقَ بِهِم مَّاكَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ

Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.Dan jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat … [Az Zumar : 47-48]

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah:"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-104].[8]

Bila Anda melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah melakukan amalan Islam secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga beranggapan seperti itu. Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda mendapatkannya sebagai orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara berkedok pakaian agama. Dia berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat mengecoh orang lain, bahwa seakan-akan dia berbuat untuk Allah.

Ada lagi yang lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin dikatakan sebagai orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik dalam hatinya bahwa dia sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah, sedangkan yang lainnya tidak.

Ada lagi yang belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat penghormatan dan harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama, mengalahkan orang yang bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahannam. Nasalullaha As Salamah wal ‘Afiyah. [9]

Membersihkan diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan niat dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam jiwa, membersihkan hati dari unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat, harta untuk pamer dan lainnya.

Sulitnya mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu berbolak-balik. Setan selalu menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan was-was ke dalam hati manusia, serta adanya dorongan hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu kita diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman, yang artinya : Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al A’raf : 200].

Jadi, solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, memotong kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan nafsu dan lainnya.

Dan bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong seseorang melakukan ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin selamat di dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah.

Upaya mewujudkan ikhlas bisa tercapai, bila kita mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal dan taqarrub kepada Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta berupaya semaksimal mungkin dan bersungguh-sungguh mengekang dorongan nafsu, dan selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala.

HUKUM BERAMAL YANG BERCAMPUR ANTARA IKHLAS DAN TUJUAN-TUJUAN LAIN
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang yang beribadah kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga golongan.

Pertama : Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadahnya, dan untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti membatalkan amalnya dan termasuk syirik, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah berfirman:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ

Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal mempersekutukanKu dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya. [HSR Muslim, no. 2985; Ibnu Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah].

Kedua : Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti ingin menjadi pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud untuk taqarrub kepada Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. [Hud : 15-16].

Perbedaan antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama bermaksud agar mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah; sedangkan golongan kedua tidak bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah dan dia tidak ada kepentingan dengan sanjungan manusia karena perbuatannya.

Ketiga : Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah sekaligus untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :

•- Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga berniat untuk membersihkan badan.
•- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
•- Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.

Semua ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak adalah niat ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Tetapi hal itu tidak menyeret pada dosa, seperti firman Allah tentang jama’ah haji disebutkan dalam KitabNya:[10]

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al Baqarah : 198].

Namun, apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia; bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah sebagai tujuan yang paling tinggi, ia jadikan sebagai sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Keadaan seperti itu difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِن لَّمْ يُعْطَوْا مِنْهَآ إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika mereka diberi sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta mereka menjadi marah. [At Taubah : 58].

Dalam Sunan Abu Dawud [11], dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ada seseorang bertanya: “Ya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Seseorang ingin berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ingin mendapatkan harta (imbalan) dunia?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Tidak ada pahala baginya,” orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm menjawab,”Tidak ada pahala baginya.”

Di dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907), dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَىمَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan tujuan niat dia berhijrah.

Apabila ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah karena Allah dan tujuan lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama. Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran ialah, bahwa orang tersebut tidak mendapatkan apa-apa.

Perbedaan golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya merupakan kehendak yang berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari pekerjaannya hanyalah urusan dunia belaka.

Apabila ditanyakan “bagaimana neraca untuk mengetahui tujuan orang yang termasuk dalam golongan ini, lebih banyak tujuan untuk ibadah atau selain ibadah?”

Jawaban kami: “Neracanya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju untuk ibadah. Dan bila sebaliknya, ia tidak mendapat pahala”.

Bagaimanapun juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya amat besar dan penting. Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan dengan niatnya.

Ada seorang ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu perjuangan yang paling berat atas diriku, melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada Allah agar diberi keikhlasan dalam niat dan dibereskan seluruh amal” [12].

IKHLAS ADALAH SYARAT DITERIMANYA AMAL
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.

Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya:

وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya. [Al Kahfi : 110].

Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya.[13]

Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya [14]: “Inilah dua landasan amalan yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ”.

Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata,”Bagaimanakah pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah dan sanjungan, apa yang diperolehnya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah. [HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam An Nawawi (I/16-17), Cet. Darul Fikr; Madarijus Salikin (II/95-96), Cet. Darul Hadits Kairo; Al Ikhlas, oleh Dr. Sulaiman Al Asyqar, hlm. 16-17, Cet. III, Darul Nafa-is, Tahun 1415 H; Al Ikhlas Wasy Syirkul Asghar, oleh Abdul Lathif, Cet. I, Darul Wathan, Th. 1412 H.
[2]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (I/17); Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (I/70).
[3]. Jami’ul Ulum Wal Hikam (I/70).
[4]. Ibid. (I/71).
[5]. Madarijus Salikin (II/95).
[6]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[7]. Madarijus Salikin (II/96).
[8]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[9]. Lihat hadits yang semakna dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib (I/153-155); At Tarhib Min Ta’allumil Ilmi Lighairi Wajhillah Ta’ala, hadits no. 105-110; dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah.
[10]. Ada beberapa amal lain yang mirip dengan contoh di atas, seperti:
• Menunaikan ibadah haji dan umrah, disamping bertujuan ibadah, juga untuk bertamasya (tour).
• Mendirikan shalat malam, tujuannya supaya lulus ujian, usahanya berhasil dan lainnya.
• Berpuasa, agar tidak boros dan tidak disibukkan dengan urusan makan.
• Menjenguk orang sakit, agar ia dijenguk pula bila ia sakit.
• Mendatangi walimah nikah, agar yang mengundang datang bila diundang.
• I’tikaf di masjid, supaya ringan biaya kontrak (sewa) tempat, atau untuk melepas kepenatan mengurus keluarga.
Apapun yang mendorongnya, semua pekerjaan yang tujuannya taqarrub, akan menjadi berkurang nilainya dan bisa jadi terhapus. Wallahu a’lam. (Pen).
[11]. Sunan Abu Dawud, Kitabul Jihad, Bab Fi Man Yaghzu Yaltamisud Dunya, no. 2516. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 2196.
[12]. Majmu’ Fatawaa wa Rasa-il, I/98-100, Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Tartib Fahd bin Nashir bin Ibrahim As Sulaiman, Cet. II Darul Wathan Lin Nasyr, Th. 1413 H.
[13]. Lihat At Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. III, Darus Salafiyyah, Th. 1405 H.
[14]. Tafsir Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Darus Salam
Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin