Jumat, 24 Oktober 2014

Dagang Abd. Rahman bin Auf

Slow Motion Kesuksesan Bisnis Abdurrahman bin Auf
August 25, 2012 by Ika Koentjoro 13 Comments

Lagi-lagi investasi bodong. Kenapa masyarakat begitu mudah tergiur dengan investasi yang menawarkan keuntungan tidak wajar? Keuntungan fantastis yang semu. Berfikir dengan menitipkan uang kepada lembaga ataupun perseorangan dan berharap uang akan bertambah dalam waktu singkat.

Kenapa tidak mencoba untuk membuka usaha sendiri? Sulit? Pasti, untuk sukses memang perlu sebuah pengorbanan. Seperti pepatah “no pain no gain”, jika tidak mau bersusah payah jangan mengharap hasil. Sulit tetapi hasilnya fantastis, Insya Allah. Mari kita belajar dari kesuksesan bisnis Abdurrahman bin Auf.

Abdurrahman bin Auf termasuk assabiqunal awaalun, orang-orang yang mula-mula memeluk Islam. Ketika perintah hijrah turun, beliau bersegera untuk berhijrah ke Madinah. Meninggalkan hartanya di Makkah dan datang ke Madinah tanpa harta.

Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’d bin Rabi’. Berkatalah Sa’d bin Rabi’ kepada Abdurrahman bin Auf,

“Saudaraku yang terkasih dijalan Allah, sesungguhnya aku termasuk orang yang berharta di Madinah ini. Aku memiliki dua kebun yang luas. Diantara keduanya pilihlah yang kau suka, dan ambillah untukmu. Aku juga memilki dua rumah yang nyaman, pilihlah mana yang kau suka,  tinggallah disana. Dan aku memilki dua orang istri yang cantik-cantik. Lihatlah dan pilihlah salah satu diantaranya, pasti akan kuceraikan lalu kunikahkan denganmu.”

“Terimaksih atas segala kebaikkanmu, saudaraku. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikkan. Sebaiknya, tunjukkan saja padaku jalan ke pasar.”

Dengan sedikit mendesak, kemudian Sa’d berkata.

“Setidaknya menikahlah”.

“Insya Allah, sebulan lagi saya akan menikah”, ujar Abdurrahman bin Auf.

Abdurrahman bin Auf datang ke Madinah dengan modal 0 (nol) dan 32 tahun kemudian ketika beliau wafat, meninggalkan warisan 1.000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3.000 ekor kambing dan setiap istrinya mendapatkan warisan 80.000 dinar.

Berapa kekayaan Abdurrahman bin Auf  yang ditinggalkan untuk keluarganya jika di kurskan dengan nilai saat ini?

Abdurrahman bin Auf memilki 4 istri. Menurut hukum Islam, warisan seorang istri 1/8 dari harta yang ditinggalkan suami. Untuk masing-masing istri mendapatkan 1/8 x 1/4 = 1/32 bagian. Jadi kekayaan yang ditinggalkan Abdurrahman bin Auf 80.000 x 32 = 2.560.000 dinar. Jika di kurs dengan nilai Rupiah saat ini, kira-kira seperti ini perhitungannya.

1 dinar setara dengan 4,25 gram emas. Jika harga emas Rp. 365. 722, maka akan ditemukan angka Rp 3.979.055.360.000 atau hampir Rp 4 trilyun. Jika ditambah dengan 1.000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3.000 ekor kambing, maka total keseluruhan lebih dari Rp 4 trilyun.

Bayangkan, itu semua hanya dalam jangka waktu 32 tahun.

Dan beginilah cara Abdurrahman bin Auf mengelola usahanya.

Reinvestasi keuntungan

Perusahaan besar yang go public biasanya tidak membagi semua laba yang dihasilkan dari usahanya (laba ditahan). Biasanya laba yang tidak dibagikan dipergunakan untuk cadangan dana investasi. Entah nantinya akan dipergunakan untuk alih teknologi, memperluas pabrik dll. Ternyata Abdurrahman bin Auf telah menerapkan dalam kegiatan bisnisnya. Ia senantiasa menginvestasikan kembali keuntungan yang didapat. Sebuah contoh kasus mudah-mudahan bisa memberi gambar, jika kita memiliki modal Rp 10.000.000, dari modal tersebut keuntungan bersih yang dapat kita sisihkan Rp100.000/bulan. Pada bulan ke dua modal kita menjadi Rp. 10.200.000 dan jika kita terus reinvestasikan keuntungan kita dengan pola yang sama, maka modal kita pada akhir tahun menjadi Rp.11. 270.000.*

Menginvestasikan modal di sektor riil

Dalam sistim ekonomi Islam, sektor riil lebih diutamakan dibandingkan dengan sektor moneter, dalam sektor riil memungkinkan terjadinya pemerataan dan pengurangan jumlah kemiskinan. Kekayaan tidak akan terkonsentrasi atau dikuasa oleh sekelompok tertentu. Dalam berinvestasipun, sektor riil (berbisnis) sesungguhnya lebih menguntungkan.

Perumpamaan kita memilki uang Rp.150.000.000 dengan dua alternative investasi.

Alternative pertama, uang tersebut dibelikan sebidang tanah dan digunakan untuk usaha pembesaran kambing. Dari 150 juta uang yang kita miliki 100 juta kita alokasikan untuk membeli 1.000m2 tanah dan sisanya dipergunakan untuk membeli 40 ekor kambing, pembuatan kandang dan perawatan. Jika dalam satu tahun keuntungan yang didapat 1.200.000/ekor kambing, maka total keuntungan kotor dalam satu tahun Rp. 48.000.000 Bandingkan jika uang tersebut kita depositokan berjangka 12 bulan di bank, bunga yang dihasilkan sebesar Rp. 6.660.000 **

Jika alternative pertama yang kita pilih, kita harus mengelola secara cermat agar factor resiko yang ditimbulkannya bisa kita tekan. Bila dilihat dari hasilnya, lebih menguntungkan alternative yang pertama tentunya.

Berdagang dengan cara dan modal yang sesuai dengan syariat

Abdurrahman bin Auf berbisnis dengan cara yang disyariatkan, ia tidak pernah mengurangi timbangan, tidak pernah menyembunyikan cacat dagangannya ataupun tidak pernah melebih-lebihkan barang dagangannya, seperti iklan-iklan yang kita saksikan di televisi. Iapun tidak pernah melakukan transaksi najasy. Harta yang dikelola Abdurahman bin Auf adalah harta yang halal, sehingga hartanya mendatangkan keberkahan.

Tak kurang dari 40.000 dinar Abdurrahman bin Auf membagikan hartanya pada penduduk Madinah dalam satu tahun. Jika harga emas Rp 365.772, maka harta yang dibagikannya senilai Rp 62.181.240.000, angka yang fantastis. 62 milyar lebih.

Ada hal yang menarik lagi, setiap Abdurrahman bin Auf membagikan hartanya pada penduduk Madinah, terlihat ‘Utsman ibn ‘Affan, jutawan besar itu ikut mengantri. Ketika orang-orang bertanya, ”Hai ‘Utsman, bukankah engkau orang yang sangat kaya? Mengapa masih saja menggambil bagianmu?”

Utsman bin Affan menjawab sambil tersenyum. “Harta Abdurrahman bin Auf  adalah harta yang barakah. Bagaimana mungkin aku melewatkan kesempatan untuk mengisi perut keluargaku dan mengaliri darah kami dengan harta yang diberkahi Allah dan di doakan oleh Rasulullah?”

Subhanallah…harta yang berkah dan memberkahi.

Bersedekah

Dan inilah hal yang kerap dilupakan ketika belajar kesuksesan Abdurrahman bin Auf.

Ada sebuah cerita menarik, suatu ketika datanglah sekitar 700 unta yang dipenuhi barang-barang dagangan memenuhi jalan-jalan kota Madinah. Orang-orangpun ramai menyaksikan. Aisyah yang mendengar suara riuh itupun bertanya, “Apa yang telah terjadi di kota Madinah?” Dan iapun mendapat jawaban bahwasanya kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam. Kemudian Aisyah berkata,“Nabi SAW bersabda,“Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak (merayap).”

Demi mendengar apa yang dikatakan Aisyah kepadanya, ia langsung mendermakan satu kafilah niaga tersebut seraya berkata, “Kalau aku bisa masuk surga dengan berdiri, niscaya akan kulakukan. Wahai Aisyah, engkau yang akan menjadi saksi kelak diakhirat”.

Sekelumit kisah Abdurrahman bin Auf, mudah-mudahan menginspirasi kita untuk berjuang keluar dari hegemoni ekonomi barat, meninggalkan sistem kapitalis yang begitu kuat mencengkeram kehidupan kita.

Referensi;

Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW, Dr Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec
Ayo Berdagang, Muhaimin Iqbal
Jalan cinta para pejuang, Salim A. fillah
Catatan: * perhitungan menggunakan bunga majemuk

Kamis, 02 Oktober 2014

ZUHUD

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti.

Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».

Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)

Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.[1]

Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan Hadits

Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan,

وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)

Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)

Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan.”[2]Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat!

Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia

Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.

Abu Dzar mengatakan,

الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ

Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[4]

Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”[5]

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan hati.“[6]

Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.

Pertama: Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.”

Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”

Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”

Al Fudhail  bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”

Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.

Kedua: Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.

Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah,

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا

Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma’aashiika, wa min thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi ‘alainaa mushiibaatid dunyaa” (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah.

‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin akan janji Allah di balik musibah.

Ketiga: Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman.

Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia. Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan manusia.”

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam pengertian zuhud yang ketiga.

Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.” Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua. [7]

Pengertian Zuhud yang Amat Baik

Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,

أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ

“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.[8]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”[9]

Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.

Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak

Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. …”[10]

Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”

Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.

Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta

Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.

Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,

أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟

“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”

Ibnul Mubarok mengatakan,

يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.

“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.[11]

Semoga pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan di sore hari, 17 Jumadits Tsani 1431 H (30/05/2010), di Panggang-GK

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 346, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.

[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/232, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.

[3] Idem.

[4] HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah no. 4100. Abu Isa berkata: Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur sanad ini, adapun Abu Idris Al Khaulani namanya adalah A’idzullah bin ‘Abdullah, sedangkan ‘Amru bin Waqid dia adalah seorang yang munkar haditsnya. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Yang tepat riwayat ini mauquf (hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd.” (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346)

[5] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dari riwayat Muhammad bin Muhajir, dari Yunus bin Maysaroh. (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 347)

[6] Jaami’ul Ulum, hal. 347.

[7] Kami sarikan point ini dengan sedikit perubahan redaksi dari Jaami’ul Ulum, hal. 347-348.

[8] Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut, cetakan keempat, 1405 H.

[9] Jaami’ul Ulum, hal. 350.

[10] Jaami’ul Ulum, hal. 350

[11] Siyar A’lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387, Mawqi’ Ya’sub (penomoran halaman sesuai cetakan).

Rabu, 01 Oktober 2014

ZUHUD, WARA', TAWADHU, QANA'AH

ZUHUD

Makna & hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, Al Hadits, & ucapan para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini.
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan & suatu yang melalaikan, perhiasan & bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta & anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering & kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras & ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu & surga yang luasnya seluas langit & bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah & Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi & (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, & supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."
Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang makna & hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara & hakikat akhirat yang kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah & surga-Nya di akhirat.

Imam Ahmad menafsirkan tentang sifat zuhud yaitu tidak panjang angan-angan (impian/target) dalam kehidupan dunia. Beliau melanjutkan, orang yang zuhud ialah orang yang bila dia berada di pagi hari dia berkata "Aku khawatir tidak bisa menjumpai waktu sore hari". Maka dia segera memanfaatkan waktunya untuk beramal & beribadah sebaik-baiknya.
 
Ibnu Taimiyah mengatakan -sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim- bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.

Selanjutnya tentang keutamaan, tanda & tingkatan Zuhud, silahkan klik di sini..!


WARA’

Wara’ mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yang syubhat & meninggalkan yang haram. Lawan dari wara' adalah syubhat yang berarti tidak jelas apakah hal tsb halal atau haram.
"Sesungguhnya yang halal itu jelas & yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama & kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram" (HR Bukhari & Muslim) 
Contoh: Seseorang meninggalkan kebiasaan mendengarkan & memainkan musik karena dia tahu bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yang mengatakan halal & ada yang mengatakan haram.

Selanjutnya tentang artikel terkait, silahkan klik di sini… 


TAWADHU

Tawadhu’ adalah lawan kata dari takabbur (sombong). Ia berasal dari lafadz Adl-Dla’ah yang berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, atau rendah hati terhadap sesama/orang yang beriman, atau mau menerima kebenaran apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.

Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya. Ahmad Al Anthaki berkata: “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”. Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena ke-pentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu & membanggakan diri (Kitab Ihya ‘Ulumuddin, Al Ghazali).

Memandang orang lain dengan mata tawadhu...

Imam Al Ghazali rahimahullah memberi nasihat agar kita jangan sampai melihat diri kita lebih baik. Karena kebaikan yang hakiki adalah dari penilaian Allah di akhirat kelak dan itu masalah ghaib. Hal itu juga tergantung dengan keadaan bagaimana keadaan kita waktu meninggal.
Sebab itu, Imam Al Ghazali pun menyampaikan agar kita memandang pihak lain dengan kacamata tawadhu’,”Jika engkau melihat anak kecil, katakanlah dalam hatimu, 'Ia belum pernah bermaksiat kepada Allah. Sedangkan aku telah bermaksiat. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku.' Jika engkau melihat orang yang lebih tua katakanlah,’Orang ini telah beribadah sebelum aku melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku.’ Jika melihat orang alim (pandai), katakan,’Orang ini telah memperoleh apa yang belum aku peroleh. Maka, bagaimana aku setara dengannya.’Jika dia bodoh, katakan dalam hatimu,’Orang ini bermaksiat dalam kebodohan, sedangkan aku bermaksiat dalam keadaan tahu. Maka, hujjah Allah terhadap diriku lebih kuat, dan aku tidak tahu bagaimana akhir hidupnya dan akhir hidupku.’ Jika orang itu kafir, katakan,’Aku tidak tahu, bisa saja dia menjadi Muslim dan akhir hidupnya ditututup dengan amalan yang baik dan dengan keislamannya dosanya diampuni. Sedangkan aku, dan aku berlindung kepada Allah dari hal ini, bisa saja Allah menyesatkanku, hingga aku kufur dan menutup usia dengan amalan keburukan. Sehingga ia kelak termasuk mereka yang dekat dengan rahmat sedangkan aku jauh darinya.’” 
(Maraqi Al Ubudiyah, hal.79)/Hidayatullah.com

Contoh lain tawadhu (terhadap sesama):
  • Rela tidak duduk di kursi kehormatan
  • Memulai mengucapkan /menyebarkan salam kepada orang yang dijumpainya
  • Tidak suka pujian dan tidak riya dengan kebaikannya
  • Anda keluar rumah & bertemu dengan saudaranya sesama muslim... menganggap saudaranya itu "lebih baik" dari Anda
  • Berpakaian sederhana
  • Memenuhi undangan tanpa melihat siapa yang mengundangnya. dll.
Selanjutnya tentang cara mengukur & cara memperoleh ke-tawadu-an, silahkan klik di sini…


QANA’AH

Qanaah mengandung pengertian merasa cukup/puas dengan yang ada dan cukup atas pemberian rizki atau nikmat dari Allah swt. Lawan dari qanaah adalah tamak.

Hendaknya para penuntut ilmu selalu menghiasi diri dengan sikap qana’ah (menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah Ta’ala) dan zuhud. Para Ulama mengatakan zuhud itu derajatnya lebih tinggi di bandingkan wara’ karena pengertian wara’ adalah meninggalkan apa saja yang bisa membahayakan bagi kehidupan seseorang, sedangkan zuhud adalah meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhiratnya. Jika ada sesuatu yang tidak membahayakan sekaligus tidak ada manfaatnya maka orang yang sekedar wara’ tidak akan menghindarinya, namun orang yang zuhud akan menjauhinya karena dia tidak akan berbuat kecuali yang membawa manfaat bagi kehidupan akhiratnya.

Dalam memenuhi urusan dunia baik berupa kebutuhan primer atau sekunder, gunakan skala prioritas, azas manfaat, lihat ke bawah & qana'ah.

Contoh sederhana:
  • Ada ungkapan "Makanlah untuk hidup, bukan hidup untuk makan", maksudnya adalah makanlah sesuatu yang baik & halal karena kita membutuhkannya & bukan sekedar kita menyukainya. Juga, makan bisa bernilai ibadah jika kita memakan makanan yang baik & tidak berlebihan dengan niat supaya kita tetap sehat dan kuat sehingga bisa beraktivitas, berfikir dan beribadah kepada-Nya.
  • Janganlah membeli kursi yang mewah kalau kursi kayu biasa sudah mencukupi.
  • Dalam hal rumah/tempat tinggal gunakan azas manfaat daripada seni, sehingga kita tidak menghambur-hamburkan uang dengan membeli kursi berukiran nan mewah, memasang dinding marmer, lukisan kuda ataupun guci. Sedangkan disamping kita masih banyak orang yang hidup di gubuk & beratap seng.
  • Buat apa membeli kendaraan bersilinder (cylinder) 3000cc kalau dengan kendaraan 1500cc sudah mencukupi.
  • ...
  • Manfa'atkan, nikmati & syukuri yang ada..!


Wasiat Rasulullah s.a.w. kepada Mu'az bin Jabal.... 

Mu’az bin Jabal r.a. menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah s.a.w. memegang tangannya seraya mengucapkan, “Hai Mu’az, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu. Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu.” Lalu Beliau s.a.w. bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu hai Mu’az, jangan kamu tinggalkan bacaan setiap kali di akhir shalat hendaknya kamu berdo'a, ‘Allahumma a’innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik’ (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingatMu, bersyukur kepadaMu, dan beribadah dengan baik kepadaMu).” (HR Abu Daud)

Wallahu ‘alamu.

Selasa, 23 September 2014

SHOLAT DALAM BUDAYA SIRI’ NA PACCE

Sholat adalah tiang agama, jika sholat seseorang baik, maka bisa dianggap sifat orang itu akan baik, dan bila sholat orang itu buruk maka bisa di bilang orang itu buruk, demikian juga dengan amalan, amalan yang pertama kali dihisab atau dihitung oleh Allah adalah sholat, jika sholatnya baik maka baiklah seluruh amalannya jika buruk maka buruk lah seluruh amalannya.
Budaya adalah sesuatu yang tercipta dari proses interaksi orang dalam suatu masyarakat yang dijaga dan dilestarikan. Dalam masyakarat Bugis makassar, budaya Siri na Pacce adalah nilai budaya yang paling tinggi karna menyangkut harga diri manusia. Bahkan orang bugis makassar sejak dari lahir sampai ke liang lahat terus menjunjug tinggi yang namanya siri na pacce. Hal ini bisa disandingkan dengan kata sholat sebagai pilar utama bagi umat islam.
Jika ditinjau dari segi kata, Siri’ dalam bahasa makassar atau bugis, bermakna malu, dan Pacce (Bugis:Pesse) dapat berarti tidak tega atau kasihan atau iba. Malu disini bukan berati malu dalam berbuat baik, misalkan membantu orang lain, melakukan perintah agama, dan menaati aturan. Siri’ justru memberikan makna kebalikan dari segala tindakan buruk. Kita akan malu jika kita tidak melakukan kebaikan, kita malu melakukan tindakan dosa dan kita justru malu melakukan korupsi yang notabenenya melanggar hukum dan merampas hak orang lain. Sedangkan Pacce’ (Pesse) yang berarti Tidak Tega atau iba, bermakna tidak tega melihat orang lain menderita, tidak tega mengambil hak orang lain, dan merasa iba menumpuk kekayaan dari harta hasil korupsi.
Sama halnya dengan sholat, kita mengenal ada sholat dari tingkatan sunnah kurang penting, sunah sangat penting, dan wajib. Dalam struktur kata siri dalam bahasa makassar atau bugis terbagi dalam empat kategori, yaitu Siri Ripakasiri, Siri Mappakasiri-siri’, Siri Tappela Siri (Teddeng Siri), dan Siri mate siri’.
Siri’ Ripakasiri’ adalah rasa malu yang ada hubungannya dengan harga diri, harkat dan martabat keluarga. Sebagai contoh penganiaayaan, Silariang, dan pembunuhan. Jika Siri Ripakasiri’ telah hilang dalam diri seseorang maka orang itu akan melakukan tindakan pengrusakan seperti membusur, pergaulan bebas, dan tawuran. Dalam falsafah bugis makassar, hal yang melanggar ini tidak bisa dilakukan karena nyawa adalah taruhannya. Dalam keyakinan orang Bugis/Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan Siri’, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. itulah kesatria sejati.
Jadi sebagai Manusia bugis makassar, kita perlu meneggakkan yang namanya siri’, karena sejalan dengan sabda nabi Muhammad SAW “Minna Suderoka, Mimma Inna.., artinya Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu., punna tena kimmalaki siri’, sambarang mho panggaukang.
Dalam kaitannya dengan sholat, terdapat dalam Surah Al-‘Ankabuut ayat 45. Innash Sholaata Tanhaa Anil Fahsyaa’I Wal Mungkar.., artinya Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.
Siri’ Mappakasiri’siri’ adalah Siri’ jenis yang berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah (kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan ki membuat malu atau …malu-maluin.
Hal yang terkait dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan. Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan. Inilah juga yang menjadi Falsafah atau lambang kota Makassar.
Dalam hubungannya dengan sholat terdapat dalam surah Al- Jumu’ah ayat 10 yang artinya Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis) Artinya Rasa malu telah hilang dalam diri seseorang dengan sebab seperti berbohong, tidak tepat janji, dan tidak amanah. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
Hubungannya dengan sholat, terdapat dalam surah Al- Baqaroh ayat 83 yang artinya ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Jangan menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak mu, kaum kerabat mu, anak-anak yatim, dan orang miskin. serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada sesama manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (yang selalu berpaling ini , adalah orang yang hilang rasa malunya).
Siri’ Mate Siri’ adalah Siri’ yang satu berhubungan dengan kepercayaan kepada Allah Ta’ Ala. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai yang hidup.
Pacce (Bugis: Pesse)
Pacce atau Pesse adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh masyarakat Bugis/Makassar. Pacce lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Siri’ (malu). Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya (membuat malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (siri’) tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun, jika suatu saat, manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya menderita dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan tidak tega melihat anaknya menderita.
Punna tena siri’nu pa’niaki paccenu. Artinya meski anda marah karena si anak telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika melihat anakmu menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu (Paccenu). Anak adalah amanah Allah, jangan engkau sia-siakan.
Terima kasih.

Kamis, 21 Agustus 2014

Puasa Qadha & Puasa Syawal

APAKAH BOLEH PUASA ENAM HARI BULAN SYAWAL SEBELUM MENGQADHA PUASA YANG TERTINGGAL, KALAU SISA HARINYA TIDAK MENCUKUPI
Apakah dibolehkan berpuasa enam hari bulan Syawwal sebelum mengqhadha puasa yang ditinggalkan di bulan Ramadan. Jika sisa hari yang ada di bulan tersebut tidak mencukupi untuk melakukan kedua puasa tersebut?


Alhamdulillah.
Puasa enam hari bulan Syawwal terkait dengan kesempurnaan puasa Ramadan, menurut pendapat yang kuat. Yang menunjukkan hal itu adalah Sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ (رواه مسلم، رقم 1164)
"Barangsiapa yang berpuasa bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan enam hari dari bulan Syawal, maka seperti puasa setahun." (HR. Muslim, 1164)
Kata ‘tsumma’ adalah huruf athaf (sambung) yang menunjukkan berurutan dan ada senggang waktu. Hal itu menunjukkan harus menyempurnakan puasa Ramadan dahulu, baik yang bersifat langsung maupun qhada. Kemudian setelah itu puasa enam syawal. Agar teralisasikan pahala yang ada dalam hadits. Karena orang yang masih mempunyai tanggungan Ramadan masih dikatakan ‘Puasa sebagian Ramadan' Bukan ‘Puasa seluruh Ramadan’.
Akan tetapi kalau seseorang mendapatkan uzur yang menghalangi dia puasa enam Syawal pada bulan Syawal disebabkan mengqhada, seperti wanita nifas. Maka dia mengqadha bulan Syawal penuh untuk Ramadan, maka dia dibolehkan puasa enak Syawal di bulan Dzulqaidah, karena dia memiliki uzur. Semuanya ini bagi yang punya uzur, maka dia dianjurkan mengqadha enam Syawal di bulan Dzulqaidah setelah mengqadha Ramadan. Namun kalau bulan Syawal telah keluar dan dia tidak berpuasa tanpa uzur, maka dia tidak mendapatkan pahala ini.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ta’ala ditanya tentang wanita yang mempunyai hutang puasa Ramadan, apakah dia dibolehkan mendahulukan puasa Syawal atas hutangnya, atau harus puasa qadha dahulu kemudian puasa syawal?
Belau menjawab,
"Kalau wanita mempunyai qadha di bulan Ramadan, maka dia tidak diperkenankan puasa enam hari bulan Syawal kecuali setelah puasa qadha. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadan, kemudian diikuti dengan enam hari Syawal" dan orang yang mempunyai qadha Ramadan, dia tidak puasa Ramadan (penuh), maka dia tidak mendapatkan pahala enam hari bulan syawal kecuali kalau diselesaikan dahulu qadhanya.
Jika qadhanya memenuhi semua bulan Syawal seperti wanita nifas, karena dia tidak puasa seharipun di bulan Ramadan. Kemudian dia memulai puasa qadha di bulan Syawal, dan tidak selesai kecuali setelah habis bulan Syawal, maka dia dibolehkan puasa enam hari Syawal. Dan dia akan mendapatkan pahala puasa orang di bulan Syawal. Karena pengakhirannya disini darurat, yaitu puasa enam hari di bulan Syawal terbentur uzur. Maka dia mendapatkan pahalanya." "Majmu Fatawa, 20/19. Silakan merujuk soal. 7863. 4082)
Ditambah lagi, bahwa qodo’ adalah kewajiban yang dibebankan kepada orang yang berbuka puasa karena ada uzur, bahkan ia termasuk bagian dari rukun Islam. Maka dari situ, bersegera untuk melaksanakannya dan menyelesaikan tanggungan itu lebih dikedepankan dibandingkan melakukan amalan sunnah secara umum. Silahkan merujuk soal no. 23429.
Fatawa Al-Lajanh Ad-Daimah, 10/392.

Rabu, 16 Juli 2014

Belajar Islam dengan pemahaman asshalafussholih

IMAM EMPAT MAZHAB ;
TINGGALKAN PENDAPAT KAMI BILA BERTENTANGAN
DENGAN ALQUR'AN DAN AS-SUNNAH

Bismillah,
Di dalam kitab beliau Shifat Shalatin Nabi, Asy-Syaikh Al-Albani pernah menukilkan kisah sekumpulan pemuda Jepang yang ingin masuk Islam. Mendengar keinginan para pemuda ini, berbagai perkumpulan Islam pun menyodorkan mazhab-ma
zhab yang mereka anut. Sekelompok muslim dari India mengatakan kepadanya, “Bermazhablah dengan mazhab Imam Abu Hanifah, karena dia adalah pelita umat ini.” Sebaliknya sekelompok muslimin dari Jawa-Indonesia mengatakan, “Wajib baginya untuk menjadi seorang Syafi’i.”
Ketika orang-orang Jepang itu mendengar perselisihan ini, mereka pun menjadi bingung dan tidak paham apa yang mereka maksud. Maka lihatlah betapa permasalahan mazhab ini bisa menjadi penghalang seseorang untuk masuk ke dalam Islam.
Berseberangan dengan dua kelompok fanatik dalam kisah di atas, para imam mazhab tidaklah menganjurkan murid-muridnya dan segenap kaum muslimin untuk taqlid buta kepada mereka. Bahkan mereka berpesan agar umat ini kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang shahih.
Masih di dalam muqaddimah Kitab Shifat Shalat Nabi, Asy-Syaikh Al-Albani pun menukilkan ucapan-ucapan para Imam Mazhab yang empat yang seolah-olah berkata dengan satu suara, “Jangan fanatik kepada kami, ikutilah sunnah, tinggalkan ucapan kami bila bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam …”

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah Anda taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
(Sumber: Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah)
Sumber : http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/17/imam-empat-mazhab-tinggalkan-pendapat-kami-bila-bertentangan-dengan-al-quran-dan-sunnah/

Selasa, 15 Juli 2014

Sikap Teladan Para Ulama Ahlus Sunnah dalam Perbedaan

Oleh : Abu Abdil Muhsin Firanda Ibnu Abidin


Berikut ini adalah beberapa contoh khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama Ahlus Sunnah akan tetapi mereka tidak saling mengingkari. Namun mereka berusaha menjelaskan pendapat yang paling benar menurut mereka, tanpa adanya sikap saling menjatuhkan, terlebih lagi saling tahdzir, hajr, apalagi tabdi.

[1]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baaz rahimahumallah mengenai boleh tidaknya tentara Amerika berpangkalan di Arab Saudi untuk menghancurkan Irak. Syaikh Ali bin Hasan menjelaskan bahwa khilaf ini bukanlah khilaf yang biasa-biasa saja, namun merupakan khilaf yang nyata. Meskipun demikian mereka tetap tidak saling hajr [1]. Padahal jika kita perhatikan, khilaf ini berkaitan dengan keselamatan orang banyak dan berkaitan dengan masa depan negeri Saudi. Keduanya saling mempertahankan pendapat, tetapi mereka tetap saling mencintai dan saling menghormati.

[2]. Khilaf antara Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah mengenai masalah sedekap setelah ruku’ (ketika i’tidal). Syaikh Al-Albani memandang hal ini merupakan bid’ah. Sebaliknya Syaikh Ibnu Baaz memandang bahwa hal ini disyari’atkan. Namun apakah Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa orang yang berpendapat seperti pendapat Syaikh Ibnu Baaz adalah ahli bid’ah? Tentu saja tidak. Padahal Syaikh Al-Albani benar-benar meyakini bahwa hal itu merupakan bid’ah. Sedangkan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan tiap kesesatan adalah di Neraka.

Mungkin saja nanti ada orang yang membesar-besarkan masalah ini, lalu menjadikannya sebagai ajang perpecahan, dengan alasan bahwa bid’ah itu berbahaya dan kita tidak boleh meremehkan bid’ah sekecil apapun. Pernyataan tersebut benar jika yang dimaksud adalah bid’ah yang disepakati oleh para ulama. Adapun bid’ah yang masih diperselisihkan maka pernyataan ini tidak berlaku.

[3]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dengan para ulama Arab Saudi tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa shalat Tarawih lebih dari 11 raka’at merupakan bid’ah. Namun apakah beliau menyatakan bahwa orang yang menyelisihi beliau adalah mubtadi? Tentu saja tidak. Bahkan beliau berkata, “Kami tidak membid’ahkan dan tidak juga menyesatkan siapa saja yang shalat Tarawih lebih dari sebelas raka’at, jika tidak jelas baginya Sunnah dan dia tidak mengikuti hawa nafsunya’ [2]

Beliau juga berkata, ‘Janganlah seorang menyangka bahwa jika kami memilih pendapat (wajibnya) mencukupkan bilangan raka’at Tarawih sesuai Sunnah (yaitu sebelas raka’at) dan tidak boleh manambah bilangan tersebut, berarti kami telah menyesatkan atau membid’ahkan mereka yang tidak berpendapat demikian dari para ulama, baik ulama yang dahulu maupun yang akan datang sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang, sehingga menjadikan hal ini sebagai kesempatan untuk mencela kami. Mereka menyangka bahwa pendapat kami tentang tidak dibolehkan atau bid’ahnya suatu perkara melazimkan bahwa siapa saja yang berpendapat bolehnya atau disunnahkannya perkara tersebut sebagai ahli bid’ah yang sesat. Sama sekali tidak melazimkan demikian. Ini adalah persangkaan yang bathil dan kebodohan yang sangat. Sesungguhnya yang dicela adalah para ahli bid’ah yang menghalangi tersebarnya sunnah dan menganggap baik seluruh bid’ah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab yang memberi penjelasan, bahkan tanpa taqlid terhadap para ulama, namun hanya sekedar mengikuti hawa nafsu dan mencari pujian orang awam.[3]

Beliau juga berkata : “Karena itu, kita lihat meskipun para ulama berselisih pendapat secara sengit pada sejumlah masalah namun mereka tidak saling menyesatkan dan tidak juga saling membid’ahkan satu sama lain. Satu contoh dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat (bahkan) sejak zaman para sahabat tentang masalah menyempurnakan shalat wajib (empat raka’at) ketika safar. Di antara mereka ada yang membolehkan, sedangkan sebagian yang lain melarangnya dan memandang bahwa hal itu adalah bid’ah yang menyelisihi Sunnah. Meskipun demikian ternyata mereka tidak membid’ahkan orang yang menyelisihi pendapat mereka. Lihatlah Ibnu Umar, beliau berkata, ‘Shalat musafir dua raka’at, barangsiapa yang menyelisihi Sunnah maka telah kafir’. (Sebagaimana diriwayatkan oleh As-Sarraj dalam Musnad-nya XXI/122-123, dengan dua isnad yang shahih dari Ibnu Umar). Meskipun demikian Ibnu Umar tidak mengkafirkan juga tidak menyesatkan orang-orang yang menyelisihi Sunnah disebabkan ijtihadnya. Bahkan, tatkala beliau shalat di belakang imam yang memandang menyempurnakan shalat (empat rakaat), maka beliau pun ikut menyempurnakan shalat bersama imam tersebut. As-Sarraj juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Mina dua raka’at, begitu juga Abu Bakar, Umar dan Utsman di awal masa pemerintahan beliau. Setelah itu Utsman shalat empat raka’at, dan jika beliau shalat sendirian maka beliau shalat dua raka’at.

Perhatikanlah, bagaimana keyakinan Ibnu Umar terhadap kesalahan orang yang menyelisihi Sunnah yang shahih –dengan menyempurnakan shalat empat raka’at- tidak menjadikan beliau menyesatkannya atau membid’ahkannya. Bahkan beliau shalat di belakang Utsman. Sebab, berliau tahu bahwa Utsman tidaklah menyempurnakan shalat empat raka’at karena mengikuti hawa nafsu namun beliau melakukan demikian karena ijitihad beliau.

Inilah jalan tengah yang menurut kami harus ditempuh oleh kaum muslimin untuk memperoleh solusi dari perbedaan pedapat yang timbul diantara mereka yaitu masing-masing menampakkan pendapatnya yang menurutnya benar dan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan syarat tidak menyesatkan atau membid’ahkan orang yang tidak sesuai dengan pendapatnya tersebut..”[4]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata :”Diriwayatkan dari Salafus Shalih jumlah bilangan raka’at Tarawih yang beraneka ragam –dalam masalah ini-, sebagaimana perkataan Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah, maka lapang bagi kita apa yang lapang bagi mereka. Kita telah didahulukan oleh mereka, maka tidak semestinya kita bersikap keras” [5]

Beliau juga berkata, “Ketahuilah, bahwasanya khilaf tentang jumlah bilangan raka’at shalat Tarawih -dan yang semisalnya, yang termasuk perkara-perkara yang dibolehkan ijitihad di dalamnya- hendaknya tidak dijadikan ajang perselisihan dan perpecahan umat. Terlebih lagi jika Salaf berbeda pendapat pada masalah ini. Tidak ada satu dalil pun yang melarang berlakunya ijtihad dalam perkara ini” [6]

[4]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dengan para Ulama Arab Saudi –di antaranya Syaikh Ibnu Baaz- tentang hukum jual beli kredit dengan harga yang berbeda dari harga kontan. [7]. Menurut Syaikh Al-Albani hal itu adalah riba, namun apakah Syaikh Al-Albani men-tahdzir dan meng-hajr para ulama Arab Saudi dengan alasan bahwa mereka membolehkan riba, dan orang yang membolehkan riba terlaknat sebagaimana dalam hadits? Tentu tidak, karena ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah.

[5]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil mengenai Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Syaikh Muqbil menyatakan bahwa Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berada di atas kesesatan. [8] Hal ini tidak disetujui oleh Syaikh Al-Albani, dan beliau berkomentar, “Aku rasa ini adalah pensifatan yang terlalu luas dan tidak pada tempatnya, yaitu dalam memutlakkan sifat dhalal (kesesatan) kepada seperti orang ini (Muhammad Rasyid Ridha). Menurut keyakinan saya, beliau memiliki jasa terhadap banyak Ahlus Sunnah di zaman ini. Karena beliau menyebarkan dan menyeru kepada As-Sunnah dalam majalah beliau yang terkenal, Al-Manar. Bahkan pengaruhnya sampai di banyak negeri kaum muslimin non-Arab. Oleh karena itu, pendapat saya, perkataan ini adalah perkataan yang ghuluw (berlebihan) yang semestinya tidak terlontarkan dari orang seperti saudara kita, Muqbil.

Bagaimanapun juga (sebagaimana perkataan penyair):

Engkau menghendaki seorang teman yang tidak ada aibnya,
Maka dapatkan kayu gaharu mengeluarkan wangi tanpa asap..?

Meski demikian, Syaikh Al-Albani sendiri menyatakan bahwa masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah. [9]

[6]. Khilaf antara Syaikh Muqbil dan hampir seluruh Syaikh kibar –bahkan mungkin dapat dikatakan seluruh Syaikh Salafiyyun- [10] dalam masalah menghukumi Abu Hanifah. Hampir seluruh Syaikh tersebut menyatakan bahwa Abu Hanifah merupakan salah satu Imam dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena itulah madzhab beliau termasuk madzhab yang diakui sejak dahulu, berbeda dengan pendapat Syaikh Muqbil. [11]

[7]. Khilaf antara Syaikh DR Muhammad bin Hadi dan Prof. DR Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad. Syaikh Muhammad bin Hadi menganggap bahwa Yayasan At-Turats Kuwait adalah yayasan hizbiyyah dan beliau mentahdzir yayasan ini. Sedangkan Syaikh Abdurrazzaq sendiri bermu’amalah dengan yayasan tersebut. Lantas bagaimanakah sikap Syaikh Muhammad bin Hadi terhadap Syaikh Abdurrazzaq ? Apakah mereka saling hajr dan meninggalkan salam? Justru sebaliknya. Jika bertemu mereka saling berpelukan. Hal ini menunjukkan rasa cinta dan saling memahami di antara keduanya. Bahkan, meskipun Syaikh Muhammad berpendapat bahwa Syaikh Abdurrazzaq telah melakukan kesalahan, namun apa kata beliau? Beliau berkata, “Aku dan Syaikh Abdurrazzaq seperti tangan yang satu, bahkan jari yang satu” [12]

Masih banyak contoh-contoh yang lain. Namun cukuplah apa yang kami sebutkan kali ini menjadi pelajaran. Tatkala dua orang yang berselisih saling memahami bahwa keduanya sama-sama menginginkan Sunnah, sama-sama menginginkan kebenaran, maka perkaranya akan jadi lebih ringan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sungguh indah perkataan seorang ulama kepada orang yang menyelisihinya dalam perkara yang dibolehkan ijtihad, “Engkau dengan penyelisihanmu kepadaku sesungguhnya telah sepakat denganku, yaitu kita berdua sama-sama memandang wajibnya mengikuti ijtihad yang benar dalam masalah yang masih dibolehkan ijtihad" [13]

Dan sungguh indah ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah :

“Khilaf yang terjadi di antara kita adalah khilaf yang menggabungkan dan tidak mencerai-beraikan, berbeda dengan khilafnya orang lain”

Setiap orang boleh mengucapkan pendapatnya, tidak ada halangan, selama masih dalam batasan penuh adab, tanpa celaan, cercaan dan seterusnya.

“Dan bagi masing-masing ada kiblatnya yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam) kebaikan” [Al-Baqarah : 148] [14]

[Dinukil dari buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan Menyikapi Fenomena Hajr Di Indonesia, Fasal Kesimpulan Kesepuluh Tidak Ada Hajr Dalam Perkara Debatable, Penulis Abu Abdil Muhsin Firanda Ibnu Abidin, Penerbii Pustaka Cahaya Islam, Cetakan Ke-2 Rajab 1427H/Agustus 2006]
__________
Foote Note
[1]. Sebagaimana yang kami dengar dari ceramah beliau di salah satu hotel di Makkah pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan tahun 2003.
[2]. Shalaatut Taarawih, hal. 106
[3]. Ibid, hal. 35-36
[4]. Ibid, hal. 37-38
[5]. Lihat Majmu Fataawa (XIV/208)
[6]. Majmu’ Fataawa (XIV/189)
[7]. Perhatikanlah, sungguh ajaib akhlak kedua ulama besar Ahlus Sunnah tersebut. Keduanya berselisih dalam banyak permasalahan yang sebagiannya bukanlah masalah ringan. Masalah-masalah tersebut bahkan terkadang terjadi berulang-ulang. Namun keduanya sama sekali tidak saling menjatuhkan, bahkan keduanya saling mencintai dan saling menghormati. Itulah akhlak para ulama kita. Bahkan Syaikh Ibnu Baaz memuji Syaikh Al-Albani bahwa beliau adalah mujaddid (reformis) abad ini. (Silahkan merujuk kepada Silsilah Al-Huda wa Nuur, kaset no. 725)
Demikian pula dengan Syaikh Ibnu Utsaimin yang sering menyelisihi Syaikh Al-Albani dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Meskipun demikian beliau pernah berkata “Syaikh Al-Albani adalah ahli hadits abad ini” (Perhatikan Silsilah Al-Huda wa Nuur, kaset no. 880)
Adapun “sebagian orang”, terkadang disebabkan satu masalah saja yang diperselisihkan –padahal masalah tersebut bukanlah masalah yang berat dan terkadang merupakan masalah dunia, bukan permasalahan agama- maka mereka jadikan alasan untuk saling menjauhi, saling menjatuhan, saling mencerca saling men-tahdzir dan saling hajir, dan seterusnya. Wallahul Musta’aan.
[8]. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muqbil dalam muqaddimah Ash-Shahiih Al-Musnad min Dalaa-ilin Nubuwwah (hal.10), juga penjelasan beliau secara panjang lebar dalam kitab beliau Ruduud Ahlil Ilmu Alath Thaa’iniin fii Hadits As-Sihr waa Bayaan bu’d Muhammad Rasyid Ridha ‘an As-Salafiyah.
[9]. Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 32
Namun penyelisihan Syaikh Al-Albani terhadap sikap Syaikh Muqbil tidaklah mengubah kecintaan beliau terhadap Syaikh Muqbil. Dalam ceramahnya, Syaikh Al-Albani memuji dan bahkan membela Syaikh Muqbil dari orang-orang yang mengkritik dan mencela Syaikh Muqbil (Perhatikan Silsilah Al-Huda wa Nuur, kaset no. 851). Adapun pujian Syaikh Muqbil terhadap Syaikh Al-Albani maka sangatlah banyak. Semoga Allah merahmati keduanya dengan rahmat yang luas. Sebagai contoh sikap saling puji antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil maka silakan mendengar Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 850).
[10]. Seperti Syaikh Al-Albani –perhatikanlah munaqasyah Syaikh Al-Albani terhadap dalil yang disebutkan oleh Syaikh Muqbil dalam Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 56) –Syaikh Ibnu Utsaimin- lihat nukilan fatwa beliau dibawah ini- Syaikh Ibnu Baaz, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Alusy Syaikh, Shalih Alusy Syaikh dan lain-lain. Bahkan saat ini penulis belum menemukan seorangpun dari kalangan ulama Ahlus Sunnah zaman ini yang mendukung pendapat Syaikh Muqbil dalam hal ini. Wallahu a’lam
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Syaikh yang mulia, kami adalah saudara-saudara Anda di Indonesia. Kami mencintai anda karena Allah. Kami mengikuti kabar tentang anda dan juga fatwa-fatwa anda. Kami mendapatkan banyak faedah dari ilmu anda, melalui buku dan kaset anda. Pada kesempatan ini, kami meminta fatwa kepada anda tentang sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang da’i pada sebuah majalan di Indonesia yang bernama Majalah Salafy (edisi 20 tahun 1418H/1997M, dan edisi 29 tahun 1999M –pen). Da’i tersebut berkata, “Ahlur ra’yi adalah pemikir yang lebih banyak berdalil dengan qiyas dibandingkan berdalil dengan Al-Qur’an dan hadits. Imam mereka adalah Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit ... dst” [Silahkan merujuk kepada Kitaabul Ilm, hal 304-305].

Maka Syaikh menjawab, “Sikap yang benar terhadap para imam yang memiliki para pengikut yang mempersaksikan adalah (keshalihah) dan istiqomah mereka adalah kita tidak menyerang mereka dan kita meyakini bahwa kesalahan yang timbul dari mereka merupakan hasil dari ijtihad mereka. Seorang mujtahid dari umat ini pasti mendapatkan pahala. Jika ijtihad-nya benar maka ia akan mendapatkan dua pahala, dan jika keliru, maka akan mendapatkan satu pahala serta kesahalahnnya diampuni.

Dan Abu Hanifah rahimahullaah adalah seperti para imam lainnya yang memiliki kesalahan-kesalahan dan juga memiliki kebenaran-kebenaran. Tidak seorangpun yang ma’shum melainkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana perkataan Imam Malik, “Setiap orang dapat diambil pendapatnya dan ditolak kecuali penghuni kubur ini”, sambil memberi isyarat kepada kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Yang wajib dilakukan adalah menahan diri dari (mencela) para imam kaum muslimin. Namun jika sebuah pendapat merupakan kesalahan, maka hendaknya disebutkan (kesalahan) pendapat tersebut tanpa mecela pengucapannya. Hendaknya seseorang menyebutkan pendapat yang keliru tersebut kemudian menyanggahnya. Inilah jalan yang selamat” [Lihat Kitaabul Ilm hal. 304-306]
[11]. Lihat buku beliau yang berjudul Nasyr Ash-Shahifah fi Dzikris Shahih min Aqwaal A-immatil Jarh wat Ta’diil fii Abi Hanifah.
[12]. Pernyataan beliau ini didengar oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah –di antara mereka adalah penulis sendiri-, di kediaman beliau pada tahun 2004. Hal ini sungguh berbeda dengan tindakan sebagian saudara-saudara kita yang menyelisihi sikap para Syaikh dalam men-tahdzir Yayasan Ihya At-Turats. Karena itu, kita dapati bahwa Syaikh Rabi sendiri tidak pernah men-tahdzir ulama Ahlus Sunnah lain yang membolehkan mu’amalah dengan Yayasan Ihya At-Turats.

Peringatan:
Sebagaimana halnya orang-orang yang berpegang dengan fatwa para ulama besar dalam bermu’amalah dengan Yayasan tersebut mengharapkan para saudaranya memahami bahwa ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak boleh disikapi berlebih-lebihan sampai pada tingkataan hajr, maka mereka pun harus berlapang dada jika saudara-saudara mereka megkritik dengan cara yang baik dan tidak berlebih-lebihan –tanpa tahdzir dan hajr-. Sebab saudara-saudara mereka pun melakukan hal tersebut karena mengikuti pendapat para ulama yang telah diakui secara integritas dan kompetensi –seperti Syaikh Rabi dan Syaikh Muqbil-. Lihatlah bagaimana Syaikh Abdurrazzaq Al-Abbad berlapang dada menerima kritik Syaikh Muhammad bin Hadi. Apalagi telah jelas ada kesalahan-kesalahan yang terdapat di yayasan tersebut yang berkaitan dengan manhaj maka sikap kehati-hatian tetap perlu diperhatikan. Wallahu a’lam
[13]. Majmuu Fatawa karya Syaikh Ibnu Utsaimin (XIV/189)
[14]. Silsilah Al-Huda wan Nuur (kaset no. 880) tatkala Syaikh Al-Albani menceritakan khilaf antara beliau dan Syaikh Sindi Al-Pakistani

Sumber:

Buku Rujukan:

Siapakah Syeikh Albani?

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syaikh Nashiruddin Al-Albani adalah salah satu tokoh yang pernah hidup di abad 20 sebagai ulama yang mendalami masalah kritik sanad hadits. Menjadi tenar -salah satunya- karena pendapat-pendapat beliau yang cenderung berbeda dari kebanyakan pendapat yang sudah dianut oleh umat Islam, baik di bidang ilmu hadits atau pun di bidang fiqih.
Salah satunya adalah pandangan beliau yang mengajak orang untuk tidak terpaku kepada pandangan dari mazhab-mazhab fiqih peninggalan para ulama. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, karena sudah banyak dikampanyekan oleh para tokoh sebelumnya seperti Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha. Namun beliau menyampaikan dengan format yang berbeda dan lebih spesifik serta didukung oleh keahlian beliau di bidang kritik sanad hadits.
Kelahiran di Albania dan Hijrah ke Damaskus
Syeikh Nashiruddin Al-Albani lahir tahun 1914 masehi atau bertepatan dengan tahun 1333 hijriyah, di ibukota Albania saat itu, Asyqodar.
Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari’ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul) dan menjadi rujukan orang-orang dalam masalah agama.
Keluarga beliau kemudian berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana setelah Ahmad Zaghu raja Albania saat itu menyimpangkan negaranya menjadi kebarat-baratan.
Pendidikan Agama
Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah dengan baik. Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah yang sangat fenomenal di dunia Islam. Namun setelah itu ayahnya punya pendapat tersendiri tentang madrasah An-Nizamiyah sehingga beliau keluar dan belajar dengan sistem tersendiri pelajarannya, seperti Quran, tajwid, nahwu, sharf serta fiqih mazhab Hanafi.
Beliau mengkhatamkan Al-Quran di tangan ayahnya sendiri dengan bacaan riwayat Hafsh dari Ashim. Beliau belajar kitab fiqih mazhab Al-Hanafi yaitu Maraqi al-Falah kepada Syeikh Said Al-Burhani, selain juga belajar lughah dan balaghah.
Secara pendapatan finansial, beliau bekerja sebagai tukang jam, sebuah keahlian yang diwariskannya dari ayahnya sendiri. Bahkan beliau sampai menjadi termasyhur di bidang service jam di Damaskus.
Sesungguhnya ayah beliau telah mengarahkan beliau untuk mendalami agama khususnya pada mazhab Al-Hanafi serta memperingatkan beliau untuk tidak terlalu menekuni ilmu hadits. Namun beliau tetap belajar ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainnya yang menunjang. Sehingga paling tidak beliau menghabiskan 20 tahun dari hidupnya dalam mempelajari ilmu hadits, karena pengaruh dari bacaan beliau pada majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Syaikh Rasyid Ridha rahimahullah.
Mendalami Ilmu Hadits di Perpustakaan
Beliau menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau.
Bahkan kemudian beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.
Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.

Kontroversi Tentang Sosok Beliau
Syeikh Nashiruddin Al-Albani oleh beberapa kalangan sangat dihormati sebagai ulama yang setuju dengan pandangan-pandangannya, namun memang ada juga sebagian lainnya yang kurang suka kepada pendapatnya serta cara penyampaiannya yang khas.
Mereka yang gemar dengan pendapat beliau umumnya adalah kalangan muda yang getol mempelajari ilmu hadits. Namun kurang dalam mempelajari ilmu fiqih serta perangkat-perangkatnya. Paling tidak, sistematika fiqih yang beliau kembangkan beliau tidak sebagaimana umumnya sistematika ilmu fiqih yang digunakan oleh para ahli fiqih umumnya.
Misalnya buat beliau, kesimpulan hukum suatu masalah lebih sering ditetapkan semata-mata berdasarkan kekuatan riwayat suatu hadits. Sedangkan pertimbangan lainnya sebagaimana yang ada di dalam ilmu fiqih, termasuk pendapat para imam mazhab, seringkali ditepis oleh beliau.
Ketidak-sukaan sebagian orang kepada beliau biasanya dilatar-belakangi oleh kekurang-mengertian mereka kepada sosok beliau. Sehingga melahirkan pandangan yang kurang baik pada citra diri beliau. Bahkan beliau pernah mengalami dua kali dipenjara, yang konon disebabkan oleh masalah seperti ini.
Memang terkadang bahasa yang beliau gunakan boleh dibilang agak terbuka dan terlalu apa adanya. Sehingga membuat telinga sebagian orang yang membacanya dan kebetulan kena sindir beliau menjadi merah telinganya.
Selain itu beliau memang dikenal sebagai tokoh di bidang ilmu hadits yang cenderung tidak mau berpegang kepada pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab fiqih yang ada. Kesan itu akan sangat terasa menyengat bila kita banyak mengkaji ceramah dan tulisan beliau, terutama yang menyangkut kajian fiqih para ulama mazhab.
Bagi beliau, pendapat para ulama mazhab harus ditinggalkan bila bertentangan dengan apa yang beliau yakini sebagai hasil ijtihad beliau dari hadits-hadits shahih. Apalagi bila menurut beliau, pendapat para ulama mazhab itu tidak didasari oleh riwayat hadits yang kuat sanadnya.
Bahkan beliau mudah menjatuhkan vonis ahli bid’ah kepada siapa saja yang menurut beliau telah berdalil dengan hadits yang lemah. Maksudnya lemah di sini adalah lemahmenurut hasil penelitian beliau sendiri. Termasuk juga pada masalah-masalah yang umumnya dianggap sudah final di kalangan para ahli fiqih. Buat beliau, semua itu harus diabaikan, bila berbeda dengan pandangan beliau dengan landasan ijtihad beliau di bidang ilmu hadits.
Barangkali hal-hal inilah yang sering menimbulkan pandangan tertentu di kalangan sebagian orang tentang sosok beliau.
Namun apa yang beliau sampaikan itu sebenarnya bukan sekedar omongan belaka, namun berangkat dari hasil ijtihad beliau pribadi. Dengan kapasitas ilmu hadits yang beliau miliki serta banyaknya beliau membaca di perpustakaan, maka apa yang menjadi pendapat beliau punya landasan ilmiyah, bukan asal bunyi.
Namun sebagaimana tradisi keilmuwan di dalam peradaban Islam, boleh saja para ulama saling berbeda pandangan satu dengan yang lainnya, namun kita diharamkan untuk saling ejek, saling cemooh, saling cela dan saling boikot, hanya lantaran perbedaan pandangan.
Apa yang menjadi pandangan Albani harus dihormati sebagai sebuah hasil ijtihad seorang yang telah menguasai satu cabang ilmu. Tentunya beliau berhak atas pendapatnya. Namun ijtihad yang dihasilkan oleh seorang ulama tidaklah harus menggugurkan ijtihad ulama lain yang juga telah mengerahkan semua kemampuannya. Biarlah hasil-hasil ijtihad saling berbeda, sehingga memberikan ruang gerak yang luas kepada umat Islam ini.
Beberapa Tugas yang Pernah Diemban
Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar hadits dan ilmu-ilmu hadits di Universitas Islam Madinah meski tidak lama, hanya sekitar tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H.
Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.
Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam’iyah Islamiyah di sana. Mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.
Wafat Beliau dan Warisannya
Beliau wafat pada hari Jum’at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Karya-karya beliau amat banyak yang menjadi warisan kepada dunia Islam, sebagian sudah dicetak, namun ada yang masih berupa manuskrip, bahkan ada yang hilang, semua berjumlah 218 judul. Antara lain:
  1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
  2. Al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah
  3. Silisilah al-Ahadits ash-Shahihah
  4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah
  5. At-Tawasul wa anwa’uhu
  6. Ahkam Al-Jana’iz wabida’uha
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.