Kamis, 30 Mei 2013

KEUTAMAAN TAWAKKAL KEPADA ALLAH MENURUT AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH

20130312-125421.jpg

(*) KEUTAMAAN TAWAKKAL KEPADA ALLAH MENURUT AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH (*)
Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ إِنَّهُ سَمِعَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Dari Umar bin Khoththob radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-sebenarnya tawakkal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada seekor burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.”
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam Sunannya, kitab az-Zuhd, bab Fi At-Tawwakkuli ‘Alallah no. 2344, dan ia berkata, “(derajat hadits ini) hasan shohih,” Ibnu Majah dalam sunnannya, Kitab Al-Zuhud, Bab Attawakkal Wal Yaqin, hadits no 4164, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam musnadnya, hadits no.205, 372 dan 375, dan al-Hakim di dalam al-Mustadrok kitab ar-Riqooq IV/310, dan ia nyatakan Shohih, dan imam adz-Dzahabi menyepakatinya).
(*) BEBERAPA PELAJARAN PENTING DAN FAEDAH ILMIYAH YANG DAPAT DIAMBIL DARI HADITS INI: 
PELAJARAN PERTAMA:
MAKNA HADITS SECARA GLOBAL
Hadits ini secara garis besar menjelaskan kepada kita tentang hakekat tawakkal yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dengan perumpamaan seekor burung. Dimana burung pergi meninggalkan sangkarnya pada pagi hari untuk mencari makanan (jatah rezekinya) dalam keadaan perut kosong karena lapar, namun di sore hari ia pulang dalam keadaan perut kenyang dan terisi penuh. Karena pada hakekatnya Allah lah yang memberikan rezeki kepadanya sesuai dengan apa yang telah Allah taqdirkan baginya di dalam al-Lauhul Mahfuzh (kitab induk catatan taqdir seluruh makhluk).
Demikian juga manusia, sekiranya manusia benar-benar bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan kepadanya memberikan rezeki sebagaimana seekor burung yang berangkat pada pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang pada sore hari dalam keadaan perut kenyang, bi idznillah.
Abu Hatim ar-Rozi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan dalil mengenai tawakkal, dan ini merupakan faktor terbesar yang bisa mendatangkan rezeki.”
(*) PELAJARAN KEDUA:
HAKEKAT TAWAKKAL KEPADA ALLAH TA’ALA
Ditinju dari segi bahasa Arab, tawakkal berasal dari kata ‘tawakkala / توكل ’ yang artinya; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. Jadi, Seseorang yang bertawakkal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan, mewakilkan, mengharapkan dan memasrahkan segala urusannya hanya kepada Allah Ta’ala.
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya”. (QS. Ghoofir / Al-Mu’min: 44).
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tawakkal merupakan aktivias hati, artinya tawakkal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakkal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan.”. (Lihat Tahdzib Madarijis Salikin, hal. 337)
Ibnul Qoyim al-Jauzi berkata: “Tawakkal merupakan amalan dan bentuk ubudiyah hati (penghambaan kepada Allah) dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, percaya terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala kecukupan bagi dirinya, dengan tetap melaksanakan sebab-sebab serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Lihat Arruh fi Kalaam ‘ala Arwaahil Amwaati wal Ahyaa’ bidalaa-il minal Kitaab was Sunnah).
(*) PELAJARAN KETIGA:
TAWAKKAL YANG BENAR HARUS DIDAHULUI DENGAN ADANYA IKHTIYAR (USAHA) YANG MAKSIMAL
Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata: ada seseorang berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam; “Wahai Rasulullah, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakkal, atau aku lepas ia dan aku bertawakkal?’ Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab: ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah (kepada Allah).” (HR. At-Tirmidzi)
(*) PELAJARAN KEEMPAT:
KEUTAMAAN TAWAKKAL KEPADA ALLAH MENURUT AL-QURAN DAN AS-SUNNAH
Tawakkal kepada Allah ta’ala saja dalam segala urusan merupakan salah satu ibadah hati yang sangat agung. Oleh karenanya, ia memiliki banyak keutamaan bagi pelakunya. Di antaranya adalah sbagai berikut:
1. Barangsiapa bertawakkal kepada Allah ta’ala saja dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan kepadanya kecukupan dalam kebutuhan-kebutuhannya.
Hal ini sbagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah nescaya Dia akan mengadakan baginya jalan penyelesaian. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah nescaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”. (QS. Ath-Thalaaq: 2-3).
2. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka ia akan Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat dengan masuk Surga.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلأَجْرُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ* الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.” (QS.An-Nahl: 41-42).
Dan baca juga surat Al-’Ankabuut, ayat 58-59).
3. Barangsiapa bertawakkal kepada Allah dengan benar, maka Allah akan memberikan kepadanya pertolongan, keselamatan dan kemenangan dalam menghadapi musuh.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Tawakal adalah sebab yang paling utama yang bisa mempertahankan seorang hamba ketika ia tak memiliki kekuatan dari serangan makhluk Allah lainnya yang menindas serta memusuhinya, tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah pelindungnya atau yang memberinya kecukupan, maka barang siapa yang menjadikan Allah pelindungnya serta yang memberinya kecukupan maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” (Lihat Bada-i’u Al-Fawa’id II/268).
Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Hasbunallah wani’mal Wakil” suatu kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim alaihissalam ketika dilempar ke dalam api yg membara, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam ketika dikatakan (diprovokasi) oleh orang-orang kafir, supaya takut kepada mereka ; “sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakiil (cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shohihnya, bab Tafsir no.4563 (Fathul Bari VIII/77)).
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata: “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika ia dilemparkan ke tengah bara api adalah: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baik pelindung”. (Hadits Riwayat Al-Bukhari di dlm Shohihnya, bab Tafsir no.4564 (Fathul Bari VIII/77)).
Imam al-Bukhari dan selainnya meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam terpisah dari para sahabatnya lalu bernaung di bawah pohon*, beliau menggantungkan pedangnya di atas pohon itu, kemudian datang seorang Arab Badui** kepada Rasulullah dan mengambil pedang milik beliau, lalu orang itu berdiri di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sambil bertanya: Siapakah yang dapat melindungimu dari aku .?. Beliau menjawab: Allah !, orang Arab Badui itu bertanya dua atau tiga kali: Siapa yang dapat melindungimu dari aku?, dan Nabi menjawab: “(Yang akan melindungiku) Allah.” Jabir berkata: Kemudian orang Arab itu menyarungi pedangnya, lalu Nabi memanggil para sahabatnya, dan mengabarkan kepada mereka tentang kejadian Arab Badui itu, sementara Arab Badui itu duduk di sisi Rasulullah dengan tidak memberi hukuman kepada orang itu.”. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya III/311, imam al-Bukhari dalam Shohihnya bab jihad VI/113 no.2910 , dan Ath-Thabari dalam Tafsirnya VI/146).
* (Disebutkan bahwa pohon itu adalah pohon yang berduri, An-Nihayah III/255).
** (Diriwayatkan bahwa nama orang itu adalah Ghurata bin Al-Harits, lihat Shahihul Bukhari dalam kitab Al-Maghazy V/491 no.4136, dan lihat pula Tafsir Ibnu Katsir III/59).
Dan telah dikisahkan di dalam sebuah hadits yg lain, bahwa pada saat perang Dzatur Riqo’, ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika itu, tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat melindungimu dariku?. Namun dengan sangat tenang (sebagai bentuk tawakkal yang sempurna kepada Allah), Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab: “(yang akan melindungiku) Allah.” Setelah tiga kali orang itu bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengambil pedang tersebut seraya bertanya; “Sekarang siapakah yang dapat melindungimu dari ku?”.
Ibnu Jarir Ath-Thobari dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma -tentang ayat ini (ia menyebut ayat 11 dari surat Al-Ma’idah)- , dan ia berkata: “Sesungguhnya orang-orang dari kaum Yahudi membuat makanan (yg telah diracuni) untuk membunuh Rasulullah dan para sahabatnya, kemudian Allah mewahyukan kepada utusan-Nya itu tentang rencana mereka, maka Rasulullah dan para sahabatnya tidak makan makanan itu.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsirnya VI/46 dan Ibnu Abu Hatim sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir III/59).
Dan dikisahkan bahwa orang-orang dari Kaum Yahudi bersepakat untuk membunuh Nabi dengan cara mengundang Nabi dalam suatu urusan, ketika Nabi datang kepada mereka, mereka membuat siasat untuk melempar beliau dengan sebuah batu besar pada saat Rasulullah bernegosiasi dengan orang-orang Yahudi, lalu Allah memberitahukan rencana mereka ini kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, kemudian Rasulullah kembali ke Madinah dengan para sahabatnya (yakni tidak jadi menghadiri undangan mereka, pent).” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsirnya VI/144).
Maka pada saat itulah Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.”. (QS. Al-Maidah : 11).
Dari berita-berita yang menyebabkan turunnya ayat di atas, serta kejadian-kejadian lain yang nyata membuktikan bahwa Allah Ta’ala akan selalu menjaga, melindungi, menolong dan menyelamatkan Nabi utusan-Nya. Hal ini tidak lain adalah karena kesempurnaan beliau dalam BERTAWAKKAL kepada Allah Ta’ala saja. Berita dan kejadian seperti ini banyak sekali dan cukup bagi kami dengan apa yang telah kami sebutkan di atas.
4. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka ia akan masuk ke dalam Surga tanpa dihisab (dihitung n ditimbang amal perbuatannya baik n buruknya oleh Allah pd hari Kiamat) dan tanpa disiksa.
Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini (yg artinya):
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Telah diperlihatkan kepadaku keadaan umat-umat terdahulu, hingga aku melihat ada seorang nabi dengan rombongan yang kecil, dan ada nabi yang mempunyai pengikut satu dan dua orang, bahkan ada nabi yang tidak mempunyai seorang pengikut pun. Tiba-tiba diperlihatkan padaku rombongan yang besar (yang banyak sekali), saya kira itu adalah umatku, namun diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah nabi Musa alaihissalam beserta kaumnya (pengikutnya). Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu, tiba-tiba di sana aku melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku, Itulah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 (tujuh puluh ribu) orang yang masuk surga tanpa dihisab dan diazab. Setelah itu nabi berdiri dan masuk ke dalam rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang membicarakan mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab dan diazab itu. Ada yang berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Ada pula yang berpendapat, mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga pendapat-pendapat lain yang mereka sebut. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam keluar menemui mereka dan bertanya, ‘apakah yang sedang kalian bicarakan?’. Mereka memberiktahukan segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah/dijampi2 (untuk dirinya maupun orang lain), dan tidak suka meramal nasib sial/untung dengan tanda-tanda burung (atau selainnya spti tempat, waktu dan angka, pent), dan hanya kepada Allah (Robb mereka) saja mereka bertawakkal.” Lalu berdirilah Ukkasyah bin Muhshon dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka.” Rasulullah menjawab; “Engkau termasuk golongan mereka.”
Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata; “doakan saya juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka.” Maka Rasulullah menjawab; “Engkau telah didahului oleh Ukasyah.”. (HR. Imam al-Bukhari & Muslim).
Di dalam riwayat lain disebutkan sifat-sifat 70.000 orang dari umat Islm yang masuk Surga secara langsung tanpa dihisab dan disiksa oleh Allah, yaitu:
“Mereka adalah yang tidak bertathoyyur, tidak meminta diruqyah, tidak pula meminta diobati dengan Kay, dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dalam ar-Riqaaq XI/305 dari hadits Ibnu ‘Abbas, dan Muslim dalam al-Iman III/89 dari hadits ‘Imran bin Hushain).
* Tathoyyur ialah beranggapan sial pada semua yang dilihat,
didengar, serta beranggapan sial pada tempat dan waktu tertentu.
* KAY ialah metode pengobatan dengan menggunakan besi yang
digarang di atas api.
Demikianlah beberapa pelajaran penting dan faedah ilmiyah yang dapat kita ambil dari hadits ini. Semoga Allah menjadikan kita smua sebagai hamba-hmba-Nya yg selalu bertakwa dan bertawakkal kepadanya dalam segala urusan kita. Dan semoga kita meraih keutamaan tawakkal yang agung sebagaimana yg telah diterangkan Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Semoga tulisan ini menjadi ilmu yg bermanfaat bagi kita semua. امين يارب العالمين

(Klaten, 8 Maret 2013).
(SUMBER: BBG Majlis Hadits, chat room FADHILAH AMAL. Blog Dakwah Kami: http://abufawaz.wordpress.com)

Senin, 27 Mei 2013

INILAH MAKNA BAHAGIA

Semalam saya di UIA Kuantan – menjelaskan apa, kenapa dan bagaimana membentuk golongan Mukmin Profesional. Dalam sesi soal jawab kemudiannya, seorang pelajar telah bertanya apakah itu bahagia? Oleh kerana soalan terlalu banyak, dan penjelasan memerlukan masa yang agak panjang, maka saya berjanji untuk menjelaskannya dalam blog genta-rasa ini.
Untuk anak-anak yang bertanya, dan untuk saudara/i yang pengunjung blog yang setia, saya hulurkan tulisan ringkas ini sebagai jawapan kepada pertanyaan, apa itu bahagia?
INILAH MAKNA BAHAGIA…
Bahagia itu fitrah tabie manusia. Semua orang ingin bahagia. Jika ada manusia yang berkata, alangkah bahagianya kalau aku tidak bahagia, dia layak dihantar ke Hospital Bahagia. Kenapa? Sudah tentu orang itu tidak siuman lagi. Manusia yang siuman sentiasa ingin dan mencari bahagia. Bahkan, apa sahaja yang diusahakan dan dilakukan oleh manusia adalah untuk mencapai bahagia.

• Bahagia itu relatif?

Malangnya, keinginan manusia untuk bahagia sering tidak kesampaian. Ini disebabkan ramai manusia tidak tahu apa makna bahagia sebenarnya dan mereka juga tidak tahu bagaimanakah caranya untuk mendapatkannya. Jika kita mencari sesuatu yang tidak diketahui dan dikenali, sudah pasti kita tidak akan menemuinya. Oleh itu, usaha mencari kebahagiaan itu mestilah bermula dengan mencari apa erti kebahagiaan itu terlebih dahulu.
Apakah erti bahagia? Ada yang beranggapan erti bahagia itu relatif. Ia berubah-ubah dan berbeza antara seorang individu dengan yang lain. Bagi yang sakit, sihat itu dirasakan bahagia. Tetapi apabila sudah sihat, kebahagiaan itu bukan pada kesihatan lagi. Sudah beralih kepada perkara yang lain lagi. Bagi golongan ini kebahagiaan itu adalah satu “moving target” yang tidak spesifik ertinya.  
Ada pula golongan pesimis. Mereka beranggapan bahawa tidak ada bahagia di dunia ini. Hidup adalah untuk menderita. Manusia dilahirkan bersama tangisan, hidup bersama tangisan dan akan dihantar ke kubur dengan tangisan. Bahagia adalah satu utopia, ilusi atau angan-angan. Ia tidak ujud dalam realiti dan kenyataan.
Sumber dalaman atau luaran?
Sebelum mendapat jawapan tentang erti kebahagiaan yang sebenar, mesti dipastikan sumber kebahagiaan itu. Ia datang dari mana? Apakah bahagia itu datang dari luar ke dalam (outside-in) atau dari dalam ke luar (inside-out)?
Ramai yang merasakan bahawa bahagia itu bersumber dari faktor luaran. Ia bersumber daripada harta, kuasa, rupa, nama dan kelulusan yang dimiliki oleh seseorang. Golongan ini merasakan jika berjaya menjadi hartawan, negarawan, bangsawan, rupawan, kenamaan dan cendekiawan maka secara automatik bahagialah mereka.
Atas keyakinan itu ramai yang berhempas pulas dan sanggup melakukan apa sahaja untuk memiliki harta, kuasa dan lain-lain lagi. Kita tidak bahaskan mereka yang miskin, hodoh, tidak popular dan bodoh, lalu gagal merasakan bahagia tetapi mari kita tinjau apakah hidup para hartawan, rupawan, bangsawan, kenamaan dan cendekiawan itu bahagia?
Realiti hidup jutawan, rupawan dan selebriti.
Realitinya, sudah menjadi “rules of life” (sunatullah), manusia tidak mendapat semua yang diingininya. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat mengelakkan diri daripada sesuatu yang tidak disenanginya. Hidup adalah satu ujian yang menimpa semua manusia, tidak kira kedudukan, harta dan pangkatnya. Firman Allah:
“Dijadikan mati dan hidup adalah untuk menguji manusia siapakah yang terbaik amalannya.” Al Mulk.
Si kaya mungkin memiliki harta yang berjuta, tetapi mana mungkin dia mengelakkan diri daripada sakit, tua dan mati? Inilah yang berlaku kepada Cristina Onasis pewaris kekayaan ayahnya Aristotle Onasis, yang mati pada usia yang masih muda walaupun memiliki harta yang berbilion dollar. Mereka yang rupawan, tidak boleh mengelakkan diri daripada cercaan. Madonna, Paris Hilton (sekadar menyebut berapa nama) pernah dikutuk akibat kelakuan buruk masing-masing. Lady Diana yang memiliki semua pakej kelebihan wanita idaman akhirnya mati dalam keadaan yang tragis dan menyedihkan sekali.
John Lenon tidak dapat mengelakkan diri daripada dibunuh walaupun dirinya dipuja oleh jutaan peminat. Elizabeth Taylor pula sedang membilang usia yang kian meragut kecantikan dan potongan badannya. Itu belum dikira lagi nasib malang yang menimpa negarawan dan bangsawan tersohor seperti Al Malik Farouk (Masir), Shah Iran (Iran), Ferdinand Marcos (Filipina), Louis XVI (Perancis), Tsar (Rusia) dan lain-lain lagi. Tegasnya, kesakitan, cercaan, dijatuhkan dan lain-lain ujian hidup telah menumpaskan ramai hartawan, rupawan, negarawan dan cendekiawan dalam perlumbaan mencari kebahagiaan.
• Bukti hilangnya bahagia.
Apa buktinya, mereka hilang bahagia? Tidak payah kita berhujah menggunakan Al Quran dan Al Hadis, melalui paparan media massa sahaja sudah cukup menjadi bukti betapa tidak bahagianya mereka yang memiliki segala-galanya itu. Aneh, apabila selebriti dari Hollywood, yakni mereka yang memiliki rupa yang cantik, harta yang berbilion dolar, nama yang tersohor tetapi dilanda pelbagai masalah kronik. Senarai nama yang berkenaan cukup panjang …
Mereka yang terlibat dengan arak, rumah tangga cerai berai, dadah, jenayah, sakit jiwa dan bunuh diri ini sudah tentu tidak bahagia. Jika mereka bahagia dengan nama, harta dan rupa yang dimiliki tentulah mereka tidak akan terlibat dengan semua kekacauan jiwa dan kecelaruan peribadi itu. Tentu ada sesuatu yang “hilang” di tengah lambakan harta, rupa yang cantik dan nama yang popular itu.
• Ujian hidup punca hilang bahagia?
Mari kita lihat persoalan ini lebih dekat. Apakah benar ujian hidup menghilangkan rasa bahagia dalam kehidupan ini? Apakah sakit, usia tua, cercaan manusia, kemiskinan, kegagalan, kekalahan dan lain-lain ujian hidup menjadi sebab hilangnya bahagia? Jawabnya, tidak!
Jika kita beranggapan bahawa ujian hidup itu penyebab hilangnya bahagia maka kita sudah termasuk dalam golongan pesimis yang beranggapan tidak ada kebahagiaan di dunia. Mengapa begitu? Kerana hakikatnya hidup adalah untuk diuji. Itu adalah peraturan hidup yang tidak boleh dielakkan. Sekiranya benar itu penyebab hilangnya bahagia, maka tidak ada seorang pun manusia yang akan bahagia kerana semua manusia pasti diuji.
Atas dasar itu, ujian hidup bukan penyebab hilangnya bahagia. Sebagai perumpamaannya, jika air limau nipis diletakkan di atas tangan yang biasa, maka kita tidak akan berasa apa-apa. Sebaliknya, jika air limau itu dititiskan di atas tangan yang luka maka pedihnya akan terasa. Jadi apakah yang menyebabkan rasa pedih itu? Air limau itu kah atau tangan yang luka itu? Tentu jawapannya, luka di tangan itu.
• Metafora air limau dan luka di tangan
Air limau itu adalah umpama ujian hidup, manakala tangan yang luka itu ialah hati yang sakit. Hati yang sakit ialah hati yang dipenuhi oleh sifat-sifat mazmumah seperti takbur, hasad dengki, marah, kecewa, putus asa, dendam, takut, cinta dunia, gila puji, tamak dan lain-lain lagi. Ujian hidup yang menimpa diri hakikatnya menimbulkan sahaja sifat mazmumah yang sedia bersarang di dalam hati. Bila diuji dengan cercaan manusia, timbullah rasa kecewa, marah atau dendam. Bila diuji dengan harta, muncullah sifat tamak, gila puji dan takbur.
Justeru, miskin, cercaan manusia dan lain-lain itu bukanlah penyebab hilang bahagia tetapi rasa kecewa, marah dan tidak sabar itulah yang menyebabkannya. Pendek kata, ujian hidup hakikatnya hanya menyerlahkan sahaja realiti hati yang sudah tidak bahagia lama sebelum ia menimpa seseorang.
Dengan segala hujah di atas terbuktilah bahawa pendapat yang mengatakan bahagia itu datang dari luar ke dalam adalah tertolak sama sekali. Ini kerana faktor “kesihatan” hati jelas lebih dominan dalam menentukan bahagia atau tidaknya seseorang berbanding segala faktor luaran. Ini secara tidak langsung menunjukkan bahawa kebahagiaan itu datang dari dalam ke luar – soal hati.
• Inilah arti bahagia
Secara mudah kebahagiaan itu ialah memiliki hati yang tenang dalam menghadapi apa jua ujian dalam kehidupan. Inilah erti bahagia yang sebenar selaras petunjuk Allah di dalam Al Quran. Firman Allah:
“Ketahuilah dengan mengingati Allah, hati akan menjadi tenang.” Al Ra’du 28.
Rasulullah S.A.W. juga telah bersabda:
” Bahawasanya di dalam tubuh badan manusia ada seketul daging. Apabila ia baik, baik pulalah seluruh badan, tetapi apabila ia rosak maka rosak pulalah seluruh badan. Ingatlah ia adalah hati. ” (riwayat Bukhari Muslim)
Rasulullah S.A.W bersabda lagi:
” Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda tetapi kekayaan itu sebenarnya ialah kaya hati “
Kaya hati bermaksud hati yang tenang, lapang dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki – bersyukur dengan apa yang ada, sabar dengan apa yang tiada.
Oleh itu hati perlu dibersihkan serta dipulihara dan dipelihara “kesihatannya” agar lahir sifat-sifat mazmumah seperti amanah, sabar, syukur, qanaah, reda, pemaaf dan sebagainya. Kemuncak kebahagiaan ialah apabila hati seseorang mampu mendorong pemiliknya melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan dan larangan yang ditentukan oleh Islam dengan mudah dan secara “auto pilot”.
KAEDAH MENCARI BAHAGIA MENURUT AL QURAN DAN AS SUNAH:
1. Beriman dan beramal salih.
“Siapa yang beramal salih baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)
Ibnu ‘Abbas RA meriwayatkan bahawa sekelompok ulama mentafsirkan bahawa kehidupan yang baik (dalam ayat ini) ialah rezeki yang halal dan baik (halalan tayyiban). Sayidina Ali pula mentafsirkannya dengan sifat qana’ah (merasa cukup). Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas, meriwayatkan bahawa kehidupan yang baik itu adalah kebahagiaan.
2. Banyak mengingat Allah .
Dengan berzikir kita akan mendapat kelapangan dan ketenangan sekali gus bebas daripada rasa gelisah dan gundah gulana. Firman Allah:
“Ketahuilah dengan mengingat (berzikir) kepada Allah akan tenang hati itu.” (Ar-Ra’d: 28)
3. Bersandar kepada Allah.
Dengan cara ini seorang hamba akan memiliki kekuatan jiwa dan tidak mudah putus asa dan kecewa. Allah berfirman:
“Siapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3)
4. Sentiasa mencari peluang berbuat baik.
Berbuat baik kepada makhluk dalam bentuk ucapan mahupun perbuatan dengan ikhlas dan mengharapkan pahala daripada Allah akan memberi ketenangan hati.
Firman-Nya:
“Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh ( manusia) untuk bersedekah atau berbuat kebaikan dan ketaatan atau memperbaiki hubungan di antara manusia. Barang siapa melakukan hal itu karena mengharapkan keredaan Allah, nescaya kelak Kami akan berikan padanya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)
5. Tidak panjang angan-angan tentang masa depan dan tidak meratapi masa silam.
Fikir tetapi jangan khuatir. Jangan banyak berangan-angan terhadap masa depan yang belum pasti. Ini akan menimbulkan rasa gelisah oleh kesukaran yang belum tentu datang. Juga tidak terus meratapi kegagalan dan kepahitan masa lalu karena apa yang telah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan semula. Rasulullah SAW bersabda: “Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah. Bila menimpa mu sesuatu (dari perkara yang tidak disukai) janganlah engkau berkata: “Seandainya aku melakukan ini nescaya akan begini dan begitu,” akan tetapi katakanlah: “Allah telah menetapkan dan apa yang Dia inginkan Dia akan lakukan,” karena sesungguhnya kalimat ‘seandainya’ itu membuka amalan syaitan.” (HR. Muslim)
6. Melihat “kelebihan” bukan kekurangan diri.
Lihatlah orang yang di bawah dari segi kehidupan dunia, misalnya dalam kurniaan rezeki karena dengan begitu kita tidak akan meremehkan nikmat Allah yang diberikan Allah kepada kita. Rasulullah SAW bersabda:
“Lihatlah orang yang di bawah kamu dan jangan melihat orang yang di atas kamu karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

7. Jangan mengharapkan ucapan terima kasih manusia.

Ketika melakukan sesuatu kebaikan, jangan mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan manusia. Berharaplah hanya kepada Allah. Kata bijak pandai, jangan mengharapkan ucapan terima kasih kerana umumnya manusia tidak pandai berterima kasih. Malah ada di antara hukama berkata, “sekiranya kita mengharapkan ucapan terima kasih daripada manusia nescaya kita akan menjadi orang yang sakit jiwa!”. Firman Allah:
“Kami memberi makan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah, kami tidak menginginkan dari kalian balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al Insan: 9)
ZIKRULLAH YANG MEMBAWA BAHAGIA
Ketenangan itu dicapai melalui zikrullah. Zikrullah akan memberi ketenangan buat hati. Ketenangan hati itulah kebahagiaan sebenar. Tetapi kenapa ada orang yang berzikir tetapi hati tidak ataupun belum tenang? (Untuk mendapat jawapannya, tolong rujuk kembali entri dalam blog ini dalam tajuk: Mencari Ketenangan Hati)
Hati adalah sumber dari segala-galanya dalam hidup kita, agar kehidupan kita baik dan benar, maka kita perlu menjaga kebersihan hati kita. Jangan sampai hati kita kotori dengan hal-hal yang dapat merosak kehidupan kita apalagi sampai merosak kebahagiaan hidup kita di dunia ini dan di akhirat nanti.
Ingatlah, untuk menjaga kebersihan hati, (selalin berzikir) kita perlu menjaga penglihatan, pendengaran, fikiran, ucapan kita dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Dengan menjaga hal-hal tersebut kita dapat menjaga kebersihan hati kita. Dengan hati yang bersih kita gapai kebahagiaan dunia dan akhirat.  Jadi berhati-hatilah menjaga hati kerana ia adalah punca ketenangan dan kebahagiaan diri!
Kita harus melatih hati kita supaya sentiasa berniat baik dan inginkan sesuatu yang baik. Sentiasa riang, gembira dan tenang dengan setiap pekerjaan yang dilakukan. Sentiasa melakukan kerja amal, tolong menolong, bergotong royong, sentiasa bercakap benar, sopan dan hidup dengan berkasih sayang antara satu dengan lain.
Marilah kita bersihkan hati kita dari segala kotorannya dengan memperbanyak mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperbanyak doa agar Allah SWT mengurniakan kita hati yang bersih dan selalu dekat dengan-Nya. Itulah beberapa hal yang mungkin dapat kita jadikan landasan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia ini dan juga sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan akhirat nanti.
Sebenarnya kebahagiaan hidup yang hakiki dan ketenangan hanya didapatkan dalam agama Islam yang mulia ini. Sehingga yang dapat hidup bahagia dalam erti yang sebenarnya hanyalah orang-orang yang berpegang teguh dengan agama.