Minggu, 10 Juli 2016

PASOMPE BUGIS

PASOMPE – Jiwa Pelaut Pedagang Bugis

Oleh: NASRULLAH NARA

”Resopa temmangingi, matinulu, namalomo naletei pammase Dewata sewwa-E.” Begitulah pesan tetua Bugis-Makassar kepada anak cucunya. Bahwa ”Rahmat berupa kesejahteraan dari Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa diraih melalui kerja keras, gigih, dan ulet”.

Bagi warga Bugis-Makassar, semangat kerja keras yang biasa dilafalkan sebagai makkareso tak hanya diwujudkan dalam bentuk bekerja ulet di tanah kelahiran atau di kampung asal. Guna bertahan hidup, di mana saja, semangat itu dikobarkan. Namun, lazimnya, kutipan pesan itu diucapkan para tetua kepada anak-anak muda yang meminta restu untuk sompe’ atau merantau.

Secara etimologi, istilah sompe’ berasal dari bahasa Bugis yang artinya berlayar. Zaman dulu, kendaraan yang paling lazim digunakan untuk bepergian jauh adalah (perahu) kapal layar. Maka, orang yang berlayar untuk bepergian jauh meninggalkan kampung halaman demi mencari penghidupan yang lebih baik biasa disebut sompe’.

Antropolog dari Universitas Hasanuddin, Prof Dr Abu Hamid, dalam buku Pasompe: Pengembaraan Orang Bugis (Pustaka Refleksi, 2004), memaknakan pasompe’ sebagai pelaut-pedagang yang berlayar dari pulau ke pulau atau dari satu negeri ke negeri lain. Orang Bugis lekat dengan budaya migrasi karena ketangkasannya berlayar. Ini erat dengan hukum pelayaran dan perdagangan, seperti kontrak kerja, perkongsian, upah muatan/penumpang, dan utang piutang.

Abu Hamid mengklaim nenek moyang Bugis-Makassar mampu menjelajahi lautan hingga Malaysia, Filipina, China, dan Australia. Dalam kepustakaan Melayu terkisahkan beberapa sultan dan pembesar Malaysia adalah keturunan Bugis-Makassar, seperti Sultan Johor, Selangor, Trengganu, dan Pahang.

Abu mengaitkan itu semua dengan epos La Galigo, yaitu episode pengembaraan dan pelayaran Sawerigading di Kepulauan Nusantara dan China.

Sosiolog dari Unhas, Dr Muhammad Darwis, mengatakan, semangat perantauan itu merupakan wujud dari naluri gandrung akan tantangan. ”Adrenalin orang Bugis-Makassar untuk hidup lebih baik terlecut ketika dirinya dihadapkan pada tantangan. Kondisi hidup berpahit- pahit dan bersusah-susah sedapat mungkin dikondisikan untuk memacu diri meraih kehidupan lebih baik,” ujar Darwis.

Semangat survival orang Bugis-Makassar di tanah rantau, menurut Darwis, juga tak lepas dari sistem sosial-budaya yang lekat dengan hierarki (kasta), yakni arung (bangsawan/juragan) dan ata (hamba/orang kebanyakan). Bagi orang kebanyakan yang ingin bebas dari sistem itu atau setidaknya ingin naik kelas sosial, merantau adalah salah satu pilihan.

Tali-temali dengan mobilitas vertikal, ekonom senior dari Unhas, Prof Halide, menekankannya pada aspek ekonomi. ”Peningkatan taraf hidup seseorang berbanding lurus dengan strata sosial yang disandangnya,” kata Halide.
Kisah suksesHaji Syamsudin Tumpa (65) adalah contoh putra Bugis-Makassar yang sukses sebagai perantau. Tekadnya untuk memperbaiki nasib dengan meninggalkan kampung halaman di Pangkep dan Maros, Sulawesi Selatan, ia buktikan. Impiannya untuk mendongkrak strata sosial dari kuli angkut menjadi bos usaha angkutan kapal laut sudah terwujud lebih dari 20 tahun terakhir.

Di Jayapura, Papua, usaha ekspedisi muatan kapal laut yang dirintisnya sejak beberapa tahun setelah menginjakkan kaki di sana tahun 1969 kini telah mempekerjakan sekitar 200 warga setempat.

Jika suatu saat Anda berjalan- jalan di kompleks Pelabuhan Jayapura, cobalah sebut nama Syamduddin, maka orang-orang yang hilir mudik di area itu—mulai dari kuli angkut, calo tiket, hingga pegawai pelabuhan—segera menunjuk sebuah bangunan permanen di kawasan pelabuhan. Di situlah Syamsuddin sehari-hari bertindak selaku juragan yang memitrai hampir semua kapal barang yang berlabuh di pelabuhan Jayapura.

”Kalau saja saya tidak merantau ke Papua tahun 1969, mungkin hidup saya tidak berubah, masih tetap bolak-balik naik-turun kapal memikul barang,” kenang pria yang suka berpeci ini.

Kediamannya di Jalan Gajah Putih, Jayapura, secara periodik menjadi tempat berkumpul tokoh masyarakat asal Sulsel. Maklum, sudah lebih lima tahun Syamsuddin menjabat sebagai Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan Provinsi Papua. Organisasi primordial ini menghimpun sekitar 70.000 warga asal Sulsel yang bermukim di Papua, mencakup warga suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.

Keberhasilannya menjadi orang terpandang tentu bukanlah karena ”simsalabim”. Jalan panjang dan prihatin ia sempat lalui, terutama ketika berusia 20-30 tahun. Kerasnya kehidupan sebagai buruh pelabuhan yang (maaf) akrab dengan premanisme telah menempanya menjadi sosok perantau yang tangguh.

Tekad untuk mengubah nasib sudah terpatok dalam batinnya ketika ia masih bekerja sebagai kuli pelabuhan di Makassar pada pertengahan tahun 1960. Kala itu, sebagai orang dari kelas sosial kebanyakan, ia menyadari betapa sulit menjadi juragan jika terus- menerus cuma bergaul dengan sesama kuli di daerah sendiri, terlebih bekal pendidikannya tak sampai tamat SMA. ”Kalau saya di Makassar terus, selamanya saya tak terdorong untuk mengubah nasib,” katanya.

Jadilah ia—di usia 25 tahun— meninggalkan Makassar menuju Jayapura. Di sana, selama beberapa tahun, ia sempat malang melintang sebagai buruh pelabuhan sebelum kemudian merintis usaha sendiri yang tak jauh-jauh dari urusan bongkar muat.
Pasar tradisionalDi pasar-pasar tradisional Papua, seperti pasar Entrop, Hamadi, Abepura, Ampera, dan Sentani, percakapan antarpemilik kios/los sangat lekat dengan logat Bugis-Makassar dialek Bone, Soppeng, Wajo, Maros, Barru, Pinrang, dan Sidrap.

Umumnya, pemilik kios juga mempekerjakan sanak famili yang ikut serta dari Sulsel selepas masa mudik lebaran.

Sebutlah, misalnya, Daeng Said (52), satu dari sekitar 200 pedagang Pasar Sentral Hamadi. Ia mempekerjakan keponakannya, Aco (20), yang tergiur ikut serta mengadu nasib di perantauan.

”Daripada nganggur di Pangkep, lebih baik ikut paman,” ujar Aco, yang mengaku tamatan SMA.

Di wilayah timur Indonesia, Papua hanyalah satu di antara daerah tujuan rantau orang Bugis-Makassar. Di Ambon, Kupang, dan Palu, mereka juga merajai kegiatan ekonomi tradisional, terutama untuk perdagangan bahan kebutuhan pokok.

Di wilayah tengah dan barat, tak sedikit perantau Bugis-Makassar juga ditemukan di kota-kota pesisir Kalimatan dan Sumatera.

Tentang survival dan diterimanya perantau asal Bugis-Makassar oleh warga lokal di mana pun berada, Darwis dan Halide melihatnya sebagai cerminan simbiosis mutualisme. Orang Bugis- Makassar berdagang untuk memutar roda ekonomi setempat, terutama untuk kebutuhan sehari-hari.

Keuntungannya sebagian besar diputar kembali untuk mengembangkan usaha di tempat itu juga sehingga pekerja lokal bisa terserap.

Guna menguatkan ikatan sosial-budaya, tak jarang mereka kawin-mawin dengan warga lokal. Alhasil, motif sosial, ekonomi, dan budaya pun itu bertaut.

Sumber: Kompas.Com