Selasa, 20 September 2016

Usaha ala BUGIS

Makna Usaha ala Bugis (M.Agus Martawijaya).
Usaha
PENDIDIKAN MAHIR-Usaha atau kerja dalam bahasa Bugis dinyatakan dengan reso. Orang yang bekerja disebut tau makkareso sebagai manifestasi dari nilai kejujuran, nilai kecendekiaan, nilai kepantasan, dan nilai keteguhan yang dimilikinya. Terdapat beberapa ungkapan tau riolo yang memiliki makna assitinajang, yakni sebagai berikut.
E kalaki! De’ga gare pallaommu muonro risere laleng? Ianaritu riaseng kedo matuna, gau’ temmaketuju. De’ kua de’gaga pallaommu, laoko ri barugae mengkalinga ade’, iyare’ga laoko ri pasa’e mengkalinga ada pabbalu’. Mapatoko sia kalaki! Nasaba resopa natinulu’ temmangingngi malomo naletei pammase Dewata (Hai kalian anak-anakku! Apakah sudah tidak ada pekerjaanmu  sehingga kalian bermain-main saja? Itulah yang dinamakan hina dan tidak ada gunanya. Jika tidak ada pekerjaanmu, pergilah ke balairung mendengar pembicaraan adat, atau engkau pergi ke pasar mendengar kata-kata penjual. Rajinlah berusaha hai anak-anakku!, sebab hanya dengan jerih payah dan ketekunan serta ketakbosanan yang dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa). Ungkapan ini mengandung makna bahwa setiap pekerjaan senantiasa memiliki nilai guna dan segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar hendaknya kita melibatkan diri dan mengambil pelajaran yang bermanfaat.
Naiya tettongetta massappa’ ridecengnge (adapun tempat untuk mencari kebaikan) yaitu: (1) tapugau’i malempu’e (melakukan perbuatan yang jujur); (2) pakatunai aleta risillempu’nae (merendahkan diri sejujurnya); (3) saro mase risilasannae (saling membantu sewajarnya); (4) moloie roppo’-roppo narewe (apabila menghadapi rintangan, ia menghindar atau kembali); (5) molae laleng namatike (waspada dalam perjalanan); dan (6) reso patujue (bekerja yang bermanfaat). Sehubungan dengan reso patuju, satu butir pesan yang perlu diimplementasikan dalam berusaha, yaitu saro mase risilasannae yang akan menumbuhkan assiwolongpolongeng (pergaulan yang akrab). Dengan demikian, akan menciptakan persatuan berupa a’bulo sibatang dengan mengutamakan assipetangngareng (saling memintai pendapat yang bermanfaat), assamaturuseng (saling seia sekata), dan mangellek pasang (demokrasi). Narekko maeloko tikkeng seu’wa olokolo’ sappai’ bate-la’na; narekko sappa’ko dalle’, sappai rimaegan’na batela tau (kalau mau menangkap seekor binatang, carilah jejaknya; kalau mau mencari rejeki, carilah dimana banyak jejak manusia).
Eppa’i naompo adecengengna padangkangnge (empat hal yang memunculkan kebaikan pedagang atau pengusaha), yaitu: (1) alempureng (kejujuran); (2) assiwolong-polongeng (pergaulan yang akrab); (3) amaccangeng (kecendekiaan); dan (4) pongnge (modal). Ungkapan ini mengandung makna bahwa kejujuran akan menimbulkan kepercayaan bagi pedagang, pergaulan akan mengembangkan suatu usaha, kecendekiaan akan memperbaiki pengelolaan atau manajemen, dan modal akan menggerakkan usaha. Sehubungan dengan kerjasama dalam berusaha, selain assiwolong-polongeng juga dipesankan oleh tau riolo bahwa aja’to mumaelo maddua-dua tau temmuewae manguru’ nawa-nawa (jangan mau berduaan dengan orang yang tidak sepikiran dengan engkau).
Atutuiwi gau’e mupegau’i, apa’ iyaritu maseroe pawaju risininna pawajue iyana ritu tettongie tettongen maraja, calewoe teppaja ritu ripogau, tennapajatonasa pasolangi (waspadai perbuatan yang engkau lakukan, karena yang sangat berbahaya adalah berdiri di tempat yang tinggi atau menduduki jabatan yang selalu diliputi oleh kelengahan, akan merusak dirimu). Ungkapan ini mengandung makna bahwa setiap pekerjaan hendaknya dilakukan secara hati-hati agar tidak terperangkap dalam duka. Untuk menghindari hal tersebut dibutuhkan kejujuran, kecendekiaan, keteguhan, dan kepantasan dalam mengelola pekerjaan itu.
Agana sia upammanariakko, banna matu’ sia ada’e lima lappae rekko mualamui (apa gerangan yang kuwariskan kepadamu kecuali lima kata jika engkau menerimanya), yaitu: (1) rekkua engka mopagau, itai amunrinna (jika ada yang engkau lakukan lihatlah akibatnya); (2) aja mumagelli ripakainge (jangan marah apabila diperingati); (3) atau’i lempu’e (takuti kejujuran); (4) aja muengkalinga kareba, engkalingatoi (jangan dengarkan berita, tetapi dengar juga); dan (5) iyapa musisala magellipo (bertengkarlah apabila engkau marah). Ungkapan ini mengandung makna bahwa dalam mengelola suatu usaha hendaknya terhindar dari emosi dan menyadari manfaat usaha itu.
Appujio sio mumadeceng kalawing ati, apa’ sininna decengnge enrengnge upe’e polemanengnge rideceng kalawing atie (cintailah sesamamu agar engkau berbaik sangka dan tulus hati kepada mereka, sebab semua kebaikan dan kemujuran bersumber dari baik sangka dan ketulusan hati). Ungkapan ini mengandung makna bahwa dalam mengelola usaha hendak dipupuk kecintaan dan baik sangka kepada sesama, karena mereka itulah yang kelak memberikan keuntungan.
Resopa natinuluk, matemmangngingngik, malomo naletei pammase Dewata Seuwa (jerih payah dan kerajinan serta ketidakbosanan, mudah dititi oleh kemurahan Tuhan Yang Maha Esa). Ungkapan yang sejalan dengan pesan ini yaitu: (1) matuk pae’, baja pae’, pura pae’, temmappapura jama-jamang (sebentar, besok, nanti, tak akan menyelesaikan pekerjaan); (2) onroko mammatu-matu napole marakae’ naia makkaluk (tinggallah bermalas-malas, lalu datang yang bergegas maka ialah yang berhasil); (3) ajak mumae’lok ribetta makkalla ri cappana letengnge (jangan engkau mau didahului menginjakkan kaki di ujung titian). Ungkapan-ungkapan ini mengandung makna bahwa setiap yang sudah terencana hendak segera dikerjakan atau diwujudkan, karena beberapa ungkapan populer yang sejalan dengan itu, seperti: lebih cepat lebih baik, waktu adalah uang, dan cepat dan tepat.
Keberhasilan masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dalam berusaha sangat tergantung pada semangat juang yang tinggi (pacce) dan sifat ketabahan serta kemauan untuk bekerja keras yang tak mengenal menyerah. Hal ini didukung oleh salah satu ungkapan leluhur, yaitu dek nalabu mata essoe ri tengngana bitarae (Matahari tak akan tenggelam di tengah langit) dan iyami woroane maperrengnge (hanya orang yang mempunyai daya tahan dapat disebut laki-laki).
Pesan yang lain adalah  taroi sia massangka wawa tellepi salompanna nariattangngari (muatilah hingga sarat sampai tenggelam gantungan kemudi,  barulah dipikirkan). Pesan ini bermakna bahwa usaha harus dilakukan sampai titik terakhir dan semua upaya telah dikerahkan, serta pantang mundur. Jika semuanya telah dikerahkan tetapi gagal juga, maka pesan yang menguatkan adalah aga guna masarae, tenrilesangengna pura makkuae; rilesangeng manemmua pura ri putoto’e tenrilesangi (apa guna bersusah hati, tak terhindarkan suratan takdir; semua dapat dihindari kecuali takdir yang tidak dapat terelakkan).
Dalam berusaha, masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat senantiasa mengutamakan kecendekiaan. Hal ini dapat disimak pesan tau riolo yang menyatakan aja’ muappesona buruk, aja’ mulete riwennang silampae (jangan berpasrah tanpa perhitungan, jangan meniti di selembar benang). Namun demikian, mereka tetap berpegang pada were yang diyakini sebagai penentu nasib baik dan nasib buruk.
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dalam menjalani hidup dan kehidupannya secara pribadi atau pun secara bersama-sama (keluarga dan masyarakat) senantiasa mengacu kepada keempat nilai-nilai utama kebudayaannya dengan tidak mengabaikan nilai mappesona ri dewataE (bertawakkal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa). Dalam bekerjasama,  keempat nilai tersebut melahirkan nilai persatuan yang dinamakan a’bulo sibatang (bahasa Makassar) atau mabbulo sipeppa (bahasa Bugis). Karakter yang terdapat di dalam a’bulo sibatang lahir dari pacce (bahasa Makassar) atau pesse (bahasa Bugis), sebagaimana yang dikemukakan pada bagian sebelumnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar