Minggu, 02 Februari 2014

Aku Ingin Anak Lelakiku Menirumu

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya:
“Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab:“Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilkuberulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran dirumah Lalu kubilang pada suamiku:
“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata:“Oh ya. Ide bagus itu.”Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya.
Tidak berapalama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjukpada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagiadengan kehadirannya.Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematikasederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaankeluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kamisemua.
Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik kepunggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkinmenganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, ataulantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnyamerah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia taklagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, danmenyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu olehurusan seremeh itu, katanya.Tahun demi tahun berlalu.
Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandaidan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucukuitu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
“Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!”Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yangmencemaskan aku.Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergahsambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!”Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalampedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini.Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya.
Aku rebut koran di tangansuamiku dan kukatakan padanya:
“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuksekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengananaknya sendiri!”
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi.Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejarandengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu,
“Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yangputus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku yang terpaku.Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam.Kupandangi keduanya, berlinangan air mata.Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawatangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tanganseorang ayah yang didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampumewariskan apa-apa: kecuali Cinta.Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan.
Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dansayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadijantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad kepelukan suamiku.
Aku bilang:
“Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantianmenggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawaberdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukanbetapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkanyang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan.
Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-MuYa Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu.Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, Alhamdulillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar