Kamis, 23 Februari 2012

Kubus & Balok (SMP)

Pembahasan soal unsur-unsur kubus dan balok


….

Materi tentang jaring-jaring kubus dan balok





beberapa materi diambil dari situs www.e-dukasi.net

Materi luas permukaan kubus dan balok beserta contoh soal.







beberapa soal diambil dari www.e-dukasi.net & buku seribu pena

Download pembahasan tentang soal jaring-jaring kubus dan balok.

Selamat pagi, siang sore dan malam bagi para siswa kelas 8 ..

Naaahh.. nih saya sertakan soal yaitu tentang soal jaring-jaring kubus.

bagi kalian yang ingin men-download soal dan jawabannya silahkan kalian klik alamat dibawah ini

DOWNLOAD SOAL DAN PEMBAHASAN JARING-JARING KUBUS DAN BALOK

nah selamat mendowload Guys…

Materi tentang cara menentukan volume kubus dan balok





Selain kita belajar cara menemukan rumus volume kubus dan balok diatas kita juga akan mempelajari

beberapa contoh soal mengenai volume kubus dan balok. Contoh-contoh soal ini sangatlah bervariatif.

Contoh soal ini  mungkin membantu kalian dalam  mengerjakan soal yang serupa yang diberikan disekolah

maupun di tempat belajar lain. Naah berikut adalah contoh soalnya. Selamat Belajar

Berikut ini adalah link-link terkait materi volume balok dan kubus.



  • link terkait materi volume kubus dan balok



  • link terkait materi volume kubus



  • Link tentang luas permukaan dan volume balok



  • Zakat Mal

    (Oleh: Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA)

    Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
    Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim 'alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
    Qs. Ibrâhîm/14:37
    Ya Rabb kami,
    sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
    di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
    Ya Rabb kami,
    (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
    maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
    dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

    (Qs. Ibrâhîm/14:37)
    Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
    Qs. at-Taubah/9:34-35
    …Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
    dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
    maka beritahukanlah kepada mereka
    (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
    Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
    lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
    (lalu dikatakan) kepada mereka:
    “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
    maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

    (Qs. at-Taubah/9:34-35)

    Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
    “Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
    Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
    “Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci”.[2]
    Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allâh Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.

    NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
    Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.
    hadist

    Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
    Beliau bersabda:
    “Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
    (Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
    hadist
    Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, ia menuturkan:
    Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
    “Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
    (Muttafaqun ‘alaih)
    Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dinyatakan:
    hadist
    Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).
    (Riwayat al-Bukhâri)
    Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
    1.
    Nishab adalah batas minimal dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat Ali radhiyallâhu'anhu di atas, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
    2.
    Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas.[3]
    3.
    Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4]
    4.
    Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%.
    5.
    Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni (24 karat).[5]
    Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.

    Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut.
    Cara pertama, membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
    Cara kedua, ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
    Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.
    Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
    “Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”[6]

    Catatan Penting Pertama.
    Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
    Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]

    NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
    Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis - terlebih bila membutuhkan dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.
    Dalam perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
    Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat.[8]
    Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh berikut.
    Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.
    Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
    Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp 1.250.000,-
    (atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
    Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya. Akan tetapi, bila uang pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
    Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :
    Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp. 400.000,-
    (atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
    Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan:
    “Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]

    Catatan Penting Kedua.
    Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.[10]
    Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, (dengan asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab.
    Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
    (Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
    (atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)

    ZAKAT PROFESI
    Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya. Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi.
    Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
    1.
    Zakat hasil pertanian adalah (seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan (seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini merupakan Qiyas yang sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng.
    2.
    Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli dan standar nilai barang.
    3.
    Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. Keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang menunjukkan hal itu:
    Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Pada awalnya, Sahabat ‘Umar radhiyallâhu'anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya:
    “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”.
    (Riwayat Muslim)
    Seusai Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu, maka ‘Umar pun bertanya kepadanya:
    “Hendak kemanakah engkau?”
    Abu Bakar menjawab:
    “Ke pasar”.
    ‘Umar kembali bertanya:
    “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukanmu?”
    Abu Bakar menjawab:
    “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?”
    Umar pun menjawab:
    “Kita akan memberimu secukupmu”.
    (Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi)

    Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu tentang hal ini.
    hadist
    Sungguh, kaumku telah mengetahui
    bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku.
    Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin,
    maka sekarang keluarga Abu Bakar
    akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl),
    sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.

    (Riwayat Bukhâri)

    Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun).

    Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata:
    “Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.[11]
    Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya:
    “Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]
    Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berikut:
    hadist
    Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.
    (HR. Muslim)
    Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.
    [1]
    Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352). Hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya, Fathul-Bâri (3/305).
    [2]
    Lihat Fathul-Bâri, 3/305.
    [3]
    Penentuan nishab emas dengan 91 3/7 gram, berdasarkan keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat emas adalah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/130 dan 133).
    [4]
    Penentuan nishab perak dengan 595 gram, berdasarkan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pada berbagai kitab beliau, di antaranya Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/141.
    [5]
    Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani, 2/129.
    [6]
    Lihat Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il 18/155. Demikian juga difatwakan oleh Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no. 9564.
    [7]
    Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96.
    [8]
    Sebagaimana ditegaskan pada keputusan konferensi Komisi Fiqih Islam di bawah Rabithah ‘Alam al-Islami, no. 6, pada rapatnya ke 5, tanggal 8 s/d 16 Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan juga pada keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 1881, 1728, dan difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il, 18/173.
    [9]
    Lihat Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (9/254 fatwa no. 1881) dan Majmu’ Fatâwâ wa Maqalât al-Mutanawwi‘ah oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz (14/125).
    [10]
    Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/125.
    [11]
    Maqalât al-Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa ar-Rasâ`il, 18/178.
    [12]
    Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, 9/281 fatwa no. 1360.

    (Majalah As-sunnah Edisi 05/Tahun XII)

    Selasa, 21 Februari 2012

    BAHAGIA DENGAN HUSNUL KHATIMAH, SENGSARA DENGAN SU’UL KHATIMAH


    Oleh:
    Khalid bin 'Abdurrahman asy Syayi'
    http://www.almanhaj.or.id/content/2701/slash/0
    
    Keadaan seseorang saat tutup usia memiliki nilai tersendiri, karena
    balasan baik dan buruk yang akan diterimanya tergantung pada kondisinya
    saat tutup usia. Sebagaimana dalam hadits yang shahih :
    
    إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَـوَاتِيْمُ  رواه البخاري وغَيْرُهُ.
    
    "Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya". [HR Bukhari dan 
    selainnya]
    
    Oleh sebab itulah, seorang hamba Allah yang shalih sangat
    merisaukannya. Mereka melakukan amal shalih tanpa putus, merendahkan
    diri kepada Allah agar Allah memberikan kekuatan untuk tetap istiqamah
    sampai meninggal. Mereka berusaha merealisasikan wasiat Allah Azza wa
    Jalla :
    
    "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan
    sebenar-benar takwa, dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan
    muslim (berserah diri)". [Ali Imran : 102]
    
    Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya,
    dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Ash Radhiyallahu 'anhuma , dia mengatakan :
    
    سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: إِِنَّ قُلُوْبَ بَنِيْ آدَمَ كُلُّهَا
    بَيْنَ أَصْبَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ
    يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلَ اللهِ : اللَّهُمَّ
    مُصَرِّفَ القُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ. 
    
    "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
    “Sesungguhnya kalbu-kalbu keturunan Adam berada di antara dua jari dari
    jari-jari Allah laksana satu hati, Allah membolak-balikannya sesuai
    kehendakNya,” kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa: “Ya
    Allah, Dzat yang membolak-balikan hati, palingkanlah hati-hati kami
    kepada ketaatanMu".
    
    Itulah pentingnya kondisi tutup usia. Sementara itu, kondisi seseorang
    pada detik-detik terakhir kehidupannya ini, tergantung amal perbuatan
    pada masa lampau. Barangsiapa yang berbuat baik di saat waktu dan
    usianya memungkinan, maka insya Allah akhir hidupnya baik. Dan jika
    sebaliknya, maka sudah tentu kejelekan yang akan menimpanya. Allah
    tidak akan pernah menzhaliminya, meskipun sedikit. 
    
    Mengingat pentingnya masalah ini dan keharusan memperhatikannya, maka
    dengan memohon kepada Allah, tulisan ini kami angkat untuk menjadi
    pengingat kita semua. 
    
    HUSNUL KHATIMAH
    Husnul khatimah adalah akhirnya yang baik. Yaitu seorang hamba, sebelum
    meninggal, ia diberi taufiq untuk menjauhi semua yang dapat menyebakan
    kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia bertaubat dari dosa dan
    maksiat, serta semangat melakukan ketaatan dan perbuatan-perbuatan
    baik, hingga akhirnya ia meninggal dalam kondisi ini. 
    
    Dalil yang menunjukan makna ini, yaitu hadits shahih dari Anas bin
    Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
    sallam bersabda :
    
    إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ، قاَلُوُا: كَيْفَ
    يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ.
    رَواه الإمام أحمـد والترمذي وصحح الحاكم في المستدرك.
    
    "Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hambanya, maka Allah
    memanfaatkannya”. Para sahabat bertanya,”Bagaimana Allah akan
    memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab,”Allah akan memberinya taufiq
    untuk beramal shalih sebelum dia meninggal.” [HR Imam Ahmad, Tirmidzi,
    dan dishahihkan al Hakim dalam Mustadrak.
    
    Husnul khatimah memiliki beberapa tanda, di antaranya ada yang
    diketahui oleh hamba yang sedang sakaratul maut, dan ada pula yang
    diketahui orang lain. 
    
    Tanda husnul khatimah, yang hanya diketahui hamba yang mengalaminya,
    yaitu diterimanya kabar gembira saat sakaratul maut, berupa ridha Allah
    sebagai anugerahNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
    
    "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami ialah Allah,"
    kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun
    kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan
    janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh)
    surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". [Fushilat : 30]. 
    
    Kabar gembira ini diberikan saat sakaratul maut, dalam kubur dan ketika
    dibangkitkan dari kubur. Sebagai dalilnya, yaitu sabda Rasulullah
    Shallallahu 'alaihi wa sallam :
    
    مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ لِقَائَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ
    اللهِ كَرِهَ اللهُ لِقَائَهُ، فَقُلْتُ: يَانَبِيَ الله! أَكَرَهِيَةُ
    المَوْتِ، فَكُلُّنَا: نَكْرَهُ المَوْتَ؟ فَقَالَ: لَيْسَ كَذَلِكَ،
    وَلَكِنِ المُؤْمِنُ إِذَا بُشِّرَ بِرَحْمَةِ اللهِ وَرِضِوَانِهِ
    وَجَنَّتِهِ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، وَإِنَّ كَافِرَ إِذَا بُشِّرَ
    بِعَذَابِ اللهِ وَسُخْطِهِ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ وَكَرِهَ اللهُ
    لِقَائَهُ.
    
    "Barangsiapa yang suka bertemu Allah, maka Allahpun suka untuk bertemu
    dengannya. Dan barangsiapa tidak suka bertemu Allah, maka Allah pun
    benci untuk bertemu dengannya”. ‘Aisyah bertanya,”Wahai Nabi Allah!
    Apakah (yang dimaksud) adalah benci kematian? Kita semua benci
    kematian?” Rasulullah menjawab,”Bukan seperti itu. Akan tetapi, seorang
    mukmin, apabila diberi kabar gembira tentang rahmat dan ridha Allah
    serta SurgaNya, maka ia akan suka bertemu Allah. Dan sesungguhnya,
    orang kafir, apabila diberi kabar tentang azab Allah dan kemurkaanNya,
    maka ia akan benci untuk bertemu Allah, dan Allahpun membenci bertemu
    dengannya”.
    
    Mengenai makna hadits ini, al Imam al Khatthabi mengatakan : “Maksud
    dari kecintaan hamba untuk bertemu Allah, yaitu ia lebih mengutamakan
    akhirat daripada dunia. Karenanya, ia tidak senang tinggal
    terus-menerus di dunia, bahkan siap meninggalkannya. Sedangkan makna
    kebencian adalah sebaliknya”. 
    
    Imam Nawawi berkata,”Secara syari’at, kecintaan dan kebencian yang
    diperhitungkan adalah, saat sakaratul maut, saat taubat tidak diterima
    (lagi). Ketika itu, semuanya diperlihatkan bagi yang sedang naza’
    (proses pengambilan nyawa), dan akan nampak baginya tempat kembalinya.”
    
    TANDA-TANDA HUSNUL KHATIMAH 
    Tanda-tanda husnul khatimah banyak yang telah disimpulkan oleh para
    ulama dengan penelitian terhadap nash-nash yang terkait. Di sini kami
    bawakan sebagian tanda-tanda tersebut, di antaranya :
    
    1. Mengucapkan kalimat syahadat saat akan meninggal. 
    Dalilnya adalah hadits riwayat al Hakim dan selainnya, bahwasannya Rasullullah 
    Shallallahu 'alaihi wa sallambersabda :
    
    مَنْ كَانَ آخِرُ  كـلاَمـِهِ : لاَ إِ لَهَ  إِ لاَ اللهُ  دَخـَلَ  
    الجـَــنَّةَ.   
    
    "Barangsiapa yang akhir ucapannya لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ  , maka ia masuk 
    surga".
    
    2. Meninggal dengan kening berkeringat. 
    Berdasarkan hadits riwayat Buraidah bin al Hashib Radhiyallahu 'anhu, bahwa 
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
    
    مَوْتُ المُؤْمِنِ بِعِرْقِ الجَبِيْنِ. رَواه أحـمد والترمذي
    
    "Kematian seorang mukmin dengan keringat di kening".
    
    3. Meninggal pada malam Jum`at atau siangnya.
    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
    
    مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا 
    وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ 
    
    "Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum`at atau malam Jum`at,
    melainkan Allah akan menjaganya dari fitnah (siksa) kubur". [HR Ahmad
    dan Tirmidzi]
    
    4. Mati syahid di medan jihad di jalan Allah, atau mati saat menempuh
    perjalanan untuk peperangan di jalan Allah, mati karena tertimpa sakit
    tha’un (pes), atau mati karena tenggelam. Dalilnya adalah hadits
    riwayat Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Rasulullah Shallallahu
    'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
    bersabda:
    
    مَا تَعُدُّونَ الشَّهِيدَ فِيكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ
    قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ قَالَ إِنَّ شُهَدَاءَ
    أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ قَالُوا فَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ
    قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ
    اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ
    وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ 
    
    “Siapakah orang yang syahid menurut kalian?” Para sahabat
    menjawab,”Orang yang terbunuh di jalan Allah, maka ia syahid”.
    Rasulullah bersabda,”Kalau begitu, orang yang mati syahid dari umatku
    sedikit,” mereka bertanya,”Kalau begitu, siapa wahai Rasulullah?”
    Beliau n menjawab,”Orang yang terbunuh di jalan Allah, ia syahid. Orang
    yang mati di jalan Allah, maka ia syahid. Orang yang mati karena sakit
    tha’un, maka ia syahid. Barangsiapa yang mati karena sakit perut, maka
    ia syahid. Dan orang yang (mati) tenggelam adalah syahid”.
    
    5. Mati karena tertimpa reruntuhan.
    Berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
    sallam, beliau bersabda:
    
    الشُّـهَدَاءُ خَمْسَةٌ: المَـطْعُوْنُ، المَـبْطُوْنُ، والغَـرْقُ وَصَاحِبُ 
    الهَـدْمِ والشَّهِـيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ.
    
    "Orang yang mati syahid ada lima, (yaitu) : orang yang (mati) terkena
    penyakit tha’un, sakit perut, orang yang tenggelam, orang yang terkena
    reruntuhan dan orang yang syahid di jalan Allah".
    
    6. Tanda husnul khatimah, yang khusus bagi wanita, ialah meninggal saat nifas, 
    ataupun meninggal saat sedang hamil.
    Dalilnya, hadits riwayat Imam Ahmad dan selainnya, dengan sanad yang
    shahih dari ‘Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi
    Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan beberapa syuhada’,
    di antaranya : 
    
    وَالمَـرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَاءُ شَهَادَةٍ، يَجُرُّهَا وَلَدُهَا 
    بِسَرِرِهِ إِلَى الجَـنَّةِ.
    
    "Dan wanita yang dibunuh anaknya (karena melahirkan) masuk golongan
    syahid, dan anak itu akan menariknya dengan tali pusarnya ke Surga."
    
    7. Meninggal karena terbakar dan radang selaput dada.
    Sebagai dalilnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
    menyebutkan macam-macam orang yang mati syahid, termasuk orang yang
    mati terbakar. Demikian pula orang yang meninggal lantaran menderita
    radang selaput dada, yaitu bengkak yang meradang, nampak pada selaput
    yang ada di bagian dalam tulang-tulang rusuk.Adapun haditsnya
    diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya.
    
    8. Diantara dalil yang menjelaskan jenis kematian syahid yang lain
    adalah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan an Nasaa-i dan selain
    keduanya, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
    
    مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِـيْدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ
    أَهْلِِهِ فَهُوَ شَهِـيْدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ
    شَهِـيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِه فَهُوَ شَهِـيْدٌ.
    
    Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia syahid.
    Barangsiapa terbunuh karena membela keluarganya, maka ia syahid.
    Barangsiapa terbunuh karena membela agamanya, maka ia syahid. Dan
    barangsiapa yang terbunuh karena membela darahnya, maka ia syahid.
    
    9. Meninggal karena sedang ribath (menjaga wilayah perbatasan) di jalan Allah 
    Ta`ala. 
    Berdasar hadits riwayat muslim dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
    bahwa beliau bersabda:
    
    رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ
    مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ
    عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ 
    
    "Berjaga-jaga sehari-semalam (di daerah perbatasan) lebih baik daripada
    puasa beserta shalat malamnya selama satu bulan. Seandainya ia
    meninggal, maka pahala amalnya yang telah ia perbuat akan terus
    mengalir, dan akan diberikan rizki baginya, dan ia terjaga dari fitnah".
    
    10. Meninggal dalam keadaan melakukan amal shalih. 
    Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
    
     مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ
    خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ
    وَجْهِ اللَّهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ تَصَدَّقَ
    بِصَدَقَةٍ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
    رواه أحـمـد وغـيْره.
    
    "Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah karena mencari wajah
    (pahala) Allah kemudian amalnya ditutup dengannya, maka ia masuk surg.
    Barangsiapa berpuasa karena mencari wajah Allah kemudian amalnya
    diakhiri dengannya, maka ia masuk surga. Barangsiapa bershadaqah
    kemudian itu menjadi amalan terakhirnya, maka ia masuk surga. (HR Imam
    Ahmad dan selainnya)".
    
    Demikian beberapa tanda husnul khatimah yang telah disimpulkan dari
    berbagai nash. Syaikh Muhammad Nashirudin al Albani mengingatkan hal
    itu di dalam kitab beliau, Ahkamul Janaiz. 
    
    Akan tetapi, ketahuilah wahai saudara-saudaraku, bahwa terlihatnya
    salah satu di antara tanda-tanda itu pada satu mayit, bukan berarti dia
    pasti menjadi penduduk Surga. Namun diharapkan, itu sebagai pertanda
    baik baginya. Sebagaimana jika tanda-tanda itu tidak pada satu mayit,
    maka janganlah divonis bahwa seseorang ini tidak baik. Semua ini
    merupakan masalah ghaib yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla.
    
    PENYEBAB HUSNUL KHATIMAH 
    1. Faktor terpenting, yaitu kontinyu melakukan ketaatan dan bertakwa
    kepada Allah. Intinya ialah merealisasikan tauhid, menjauhi hal-hal
    yang diharamkan, dan segera bertaubat dari perbuatan haram yang
    melumurinya. Tindakan yang paling diharamkan adalah syirik, baik syirik
    besar maupun syirik kecil. Allah k berfirman:
    
    إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ
    لِمَن يَشَآءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا 
    
    "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
    dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang
    mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar".
    [an Nisaa`: 48].
    
    2. Hendaknya berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar diwafatkan dalam 
    keadaan beriman dan bertakwa. 
    
    3. Hendaknya mengerahkan segala kemampuan dalam memperbaiki diri,
    secara lahir dan batinnya, niat dan maksudnya diarahkan untuk
    memperbaiki diri. Ketentuan Allah di alam ini telah berlaku. Allah
    memberikan taufik kepada orang yang mencari kebenaran. Allah akan
    mengokohkannya di atas al haq serta menutup amalnya dengan al haq itu. 
    
    SU`UL  KHATIMAH
    Su’ul khatimah (akhir yang buruk) adalah, meninggal dalam keadaan
    berpaling dari Allah Azza wa Jalla, berada di atas murkaNya serta
    meninggalkan kewajiban dari Allah. 
    
    Tidak diragukan lagi, demikian ini akhir kehidupan yang menyedihkan,
    selalu dikhawatirkan oleh orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah
    menjauhkan kita darinya. 
    
    Terkadang nampak pada sebagian orang yang sedang sakaratul maut,
    tanda-tanda yang mengisyaratkan su’ul khatimah, seperti : menolak
    mengucapkan syahadat, justru mengucapkan kata-kata jelek dan haram,
    serta menampakkan kecendrungan padanya, dan lain sebagainya. 
    
    Kami perlu menyebutkan sebagian contoh nyata kejadian tersebut.  
    
    Kisah yang dibawakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, al
    Jawaabul Kaafi, bahwa ada seseorang saat sakaratul maut, dia
    diingatkan, “Ucapkanlah : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ “ Lalu orang itu
    menjawab: “Apa gunanya bagiku. Aku pun tidak pernah mengerjakan shalat
    karena Allah, meskipun sekali,” akhirnya ia pun tidak mengucapkannya.
    
    Al Hafizh Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
    menukil dari salah satu ulama, ‘Abdul ‘Aziz bin Abu Rawwad, beliau
    berkata: “Aku menyaksikan seseorang, yang ketika hendak meninggal
    ditalqin (diajari) لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ . Akan tetapi, ia
    mengingkarinya pada akhir ucapannya. 
    
    Kemudian Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bertanya kepadanya tentang orang ini.
    Ternyata ia seorang pecandu khamr (minuman keras). Selanjutnya Syaikh
    ‘Abdul ‘Aziz berkata: “Takutlah kalian terhadap perbuatan-perbuatan
    dosa, karena perbuatan dosa itu yang telah menjerumuskannya”. 
    
    Hal serupa juga diceritakan oleh al Hafizh adz Dzahabi rahimahullah,
    ada seorang yang bergaul dengan pecandu khamr, maka saat ajal akan
    tiba, dan ada seseorang yang datang untuk mengajarinya syahadat, ia
    malah mengatakan : “Minumlah dan beri aku minum,” kemudian ia meninggal.
    
    Al ‘Alamah Ibnul Qayyim rahimahullah bercerita mengenai seseorang yang
    diketahui gemar musik dan mendendangkannya. Tatkala wafat menjemputnya,
    dia diingatkan, katakanlah :لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ , (tetapi) dia
    justru mulai mengigau dengan lagu sampai kemudian mati tanpa
    mengucapkan kalimat tauhid.
    
    Beliau rahimahullah juga berkata: “Sebagian pedagang mengabarkan
    kepadaku tentang karib-kerabatnya yang hampir meninggal, sementara
    mereka di sisinya. Mereka mentalkinkan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ , namun
    ia mengigau “ini murah, ini barang bagus, ini begini dan begitu,”
    sampai ia meninggal dan tanpa bisa melafazhkan kalimat tauhid”.
    
    Berikut ini, kami bawakan keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.
    Komentar ini dibawakan setelah menyebutkan kisah-kisah di atas. Beliau
    rahimahullah berkata: 
    
    “Subhanallah, betapa banyak orang yang menyaksikan ini mendapatkan
    pelajaran? Apabila seorang hamba, pada saat sadar, kuat, serta memiliki
    kemampuan, dia bisa dikuasai setan, ditunggangi perbuatan maksiat yang
    diinginkannya, mampu membuat hatinya lalai dari mengingat Allah Azza wa
    Jalla, menahan lisannya dari dzikir, dan (begitu pula) anggota badannya
    dari mentaatiNya, lalu bagaimana kiranya ketika kekuatannya melemah,
    hati dan jiwanya kacau karena sakitnya naza’ (tercabutnya nyawa) yang
    sedang dia alami? Sementara saat itu, setan mengerahkan seluruh
    kekuatan dan konsentrasinya, dan menghimpun semua kemampuannya untuk
    mencuri kesempatan. Sesungguhnya ini adalah klimaks. Saat itu, hadir
    setan yang terkuat, sementara si hamba dalam kondisi paling lemah.
    Siapakah yang selamat? 
    
    Pada saat kondisi ini:
    "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
    teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah
    menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia
    kehendaki". [Ibrahim : 27].
    
    Maka, orang yang dilalaikan hatinya dari mengingat Allah, (selalu)
    memperturutkan nafsunya dan melampaui batas, bagaimana mungkin diberi
    petunjuk agar husnul khatimah? Orang yang hatinya jauh dari Allah Azza
    wa Jalla, lalai dariNya, mengagungkan nafsunya, menyerahkan kepada
    syahwatnya, lisannya kering dari dzikir, serta anggota badannya
    terhalang dari ketaatan dan sibuk dengan maksiat, maka mustahil diberi
    petunjuk agar akhir kehidupannya baik (husnul khatimah).
    
    SU`UL KHATIMAH MEMPUNYAI DUA TINGKATAN
    1. Tingkatan terbesar dan terjelek. 
    Yaitu orang yang hatinya penuh dengan keraguan dan penentangan saat
    sakaratul maut, kemudian ia mati dalam keadaan seperti ini, Maka, hal
    ini akan menjadi penghalang antara dia dan Allah.
    
    2. Tingkatan yang lebih rendah. 
    Yaitu orang yang hatinya cenderung kepada urusan dunia atau keinginan
    syahwatnya, lalu keinginan ini tergambar di dalam hatinya saat
    sakaratul maut. Biasanya, seseorang meninggal dalam kondisi yang biasa
    ia lakoni pada kehidupan nyatanya. Jika jelek, maka akhirnya juga
    jelek. Semoga Allah melindungi kita dari keduanya. 
    
    SEBAB-SEBAB SU`UL KHATIMAH 
    Dari uraian ini, maka nampak jelas, bahwa penyebab su’ul khatimah
    adalah, lawan dari penyebab husnul khatimah yang telah disebutkan. 
    
    Penyebab utamanya adalah kerusakan aqidah. Di antara penyebabnya juga
    adalah, rakus terhadap dunia, mencarinya dengan cara-cara haram,
    berpaling dari jalan kebaikan, serta terus-menerus melakukan perbuatan
    maksiat. 
    
    PENUTUP 
    Semoga Allah melindungi kita dari su’ul khatimah. Seseorang yang amalan
    lahirnya baik, serta batinnya juga senantiasa bersama Allah, jujur
    dalam perkataan dan perbuatan, maka dia tidak akan mengalami su’ul
    khatimah. Sebaliknya, su’ul khatimah akan dialami oleh orang yang
    aqidahnya rusak, amalan lahirnya pun rusak, berani melakukan dosa-dosa
    besar, bahkan mungkin dia malakukan itu sampai ajal menjemput tanpa
    sempat bertaubat.
    
    Karena itu, selayaknya bagi orang yang berakal agar mewaspadai
    ketergantungan hatinya terhadap perbuatan-perbuatan haram, dan
    mengharuskan hati, lisan serta anggota badannya untuk mengingat Allah
    Azza wa Jalla dan tetap taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di
    manapun berada.
    
    Ya Allah, jadikanlah amal terbaik kami sebagai penutup amal kami.
    Jadikanlah umur terbaik kami sebagai akhirnya. Dan jadikanlah hari
    terbaik kami sebagai hari kami menjumpaiMu.
    
    Ya Allah, berilah taufik kepada kami untuk melaksanakan berbagai kebaikan dan 
    menjauhi semua kemungkaran.
    
    Diterjemahkan dari kutaib, Husnul Khatimah wa Su-uha, al Ma’na, al
    ‘Alamat, al Asbab, Khalid bin ‘Abdurrahman asy Syayi’. Dar Balansiah
    Cet. I Th. 1422 H/2001 M. 
    
    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit
    Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
    Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]                                       
      
    
    
    ------------------------------------

    Senin, 20 Februari 2012

    Jenius Matematika



    Di usia sepuluh tahun, bocah lelaki ini mampu membuat banyak orang terkagum-kagum dengan bakatnya yang luar biasa dalam pelajaran matematika. Yi Fan dengan mudah lulus dalam ujian GCSE dan ujian matematika AS yang merupakan ujian tersulit dalam pelajaran matematika.

    [Image: article-1232107-07682968000005DC-640_468x328.jpg]

    Teman-teman sekolah Yi Fan bahkan tidak mampu menandingi kecerdasannya dalam pelajaran matematika. Untuk mengajar Yi Fan, pihak sekolah juga harus mendatangkan seorang profesor universitas untuk mendidiknya.

    Orangtua Yi Fan bangga dengan prestasi anaknya yang luar biasa, mereka bertanya -tanya apakah pendidikan sekolah menengah mampu menahan dirinya.

    “Yi mulai berbicara tentang pecahan, ketika berusia tiga tahun. Para guru menyadari kurikulum satu tahun tidak menantang bagi Yi. Sekarang saya kebingungan untuk membuat selalu tertantang dalam pelajaran matematika. Saya tidak tahu dimana ia akan melanjutkan sekolah karena sekolah menengah hanya akan membuang-buang waktu,” ujar ayah Yi, Mizi Fan, seorang dosen senior di teknik sipil di Brunel University di London Barat.

    [Image: ... <a href=

    Tips Belajar: 10 Trik Belajar Agar pintar



    Belajar mendadak menjelang ujian memang tidak efektif. Paling nggak sebulan sebelum ulangan adalah masa ideal buat mengulang pelajaran. Materi yang banyak bukan masalah. Ada sepuluh cara pintar supaya waktu belajar kita menjadi efektif.

    1. Belajar itu memahami bukan sekedar menghapal
    Ya, fungsi utama kenapa kita harus belajar adalah memahami hal-hal baru. Kita boleh hapal 100% semua detail pelajaran, tapi yang lebih penting adalah apakah kita sudah mengerti betul dengan semua materi yang dihapal itu. Jadi sebelum menghapal, selalu usahakan untuk memahami dulu garis besar materi pelajaran.

    2. Membaca adalah kunci belajar
    Supaya kita bisa paham, minimal bacalah materi baru dua kali dalam sehari, yakni sebelum dan sesudah materi itu diterangkan oleh guru. Karena otak sudah mengolah materi tersebut sebanyak tiga kali jadi bisa dijamin bakal tersimpan cukup lama di otak kita.

    3. Mencatat pokok-pokok pelajaran
    Tinggalkan catatan pelajaran yang panjang. Ambil intisari atau kesimpulan dari setiap pelajaran yang sudah dibaca ulang. Kata-kata kunci inilah yang nanti berguna waktu kita mengulang pelajaran selama ujian.

    4. Hapalkan kata-kata kunci
    Kadang, mau tidak mau kita harus menghapal materi pelajaran yang lumayan banyak. Sebenarnya ini bisa disiasati. Buatlah kata-kata kunci dari setiap hapalan, supaya

    mudah diingat pada saat otak kita memanggilnya. Misal, kata kunci untuk nama-nama warna pelangi adalah MEJIKUHIBINIU, artinya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu.

    5. Pilih waktu belajar yang tepat
    Waktu belajar yang paling enak adalah pada saaat badan kita masih segar. Memang tidak semua orang punya waktu belajar enak yang sama lo. Tapi biasanya, pagi hari adalah waktu yang tepat untuk berkonsentrasi penuh. Gunakan saat ini untuk mengolah materi-materi baru. Sisa-sisa energi bisa digunakan untuk mengulang pelajaran dan mengerjakan pekerjaan rumah.

    6. Bangun suasana belajar yang nyaman
    Banyak hal yang bisa buat suasana belajar menjadi nyaman. Kita bisa pilih lagu yang sesuai dengan mood kita. Tempat belajar juga bisa kita sesuaikan. Kalau sedang bosan di kamar bisa di teras atau di perpustakaan. Kuncinya jangan sampai aktivitas belajar kita mengganggu dan terganggu oleh pihak lain.

    7. Bentuk Kelompok Belajar
    Kalau lagi bosan belajar sendiri, bisa belajar bareng dengan teman. Tidak usah banyak-banyak karena tidak bakal efektif, maksimal lima orang. Buat pembagian materi untuk dipelajari masing-masing orang. Kemudian setiap orang secara bergilir menerangkan materi yang dikuasainya itu ke seluruh anggota lainnya. Suasana belajar seperti ini biasanya seru dan kita dijamin bakalan susah untuk mengantuk.

    8. Latih sendiri kemampuan kita
    Sebenarnya kita bisa melatih sendiri kemampuan otak kita. Pada setiap akhir bab pelajaran, biasanya selalu diberikan soal-soal latihan. Tanpa perlu menunggu instruksi dari guru, coba jawab semua pertanyaan tersebut dan periksa sejauh mana kemampuan kita. Kalau materi jawaban tidak ada di buku, cobalah tanya ke guru.

    9. Kembangkan materi yang sudah dipelajari
    Kalau kita sudah mengulang materi dan menjawab semua soal latihan, jangan langsung tutup buku. Cobalah kita berpikir kritis ala ilmuwan. Buatlah beberapa pertanyaan yang belum disertakan dalam soal latihan. Minta tolong guru untuk menjawabnya. Kalau belum puas, cari jawabannya pada buku referensi lain atau internet. Cara ini mengajak kita untuk selalu berpikir ke depan dan kritis.

    10. Sediakan waktu untuk istirahat
    Belajar boleh kencang, tapi jangan lupa untuk istirahat. Kalau di kelas, setiap jeda pelajaran gunakan untuk melemaskan badan dan pikiran. Setiap 30-45 menit waktu belajar kita di rumah selalu selingi dengan istirahat. Kalau pikiran sudah suntuk, percuma saja memaksakan diri. Setelah istirahat, badan menjadi segar dan otak pun siap menerima materi baru.

    Satu lagi, tujuan dari ulangan dan ujian adalah mengukur sejauh mana kemampuan kita untuk memahami materi pelajaran di sekolah. Selain menjawab soal-soal latihan, ada cara lain untuk mengetes apakah kita sudah paham suatu materi atau belum. Coba kita jelaskan dengan kata-kata sendiri setiap materi yang sudah dipelajari. Kalau kita bisa menerangkan dengan jelas dan teratur - tak perlu detail - berarti kita sudah paham.

    Minggu, 19 Februari 2012

    Soal Garis Singgung Lingkaran SMP

    Memelihara Lidah dan Adab Berbicara

    Dari Maimun bin Mihran diriwayatkan bahwa ia berkata: “ada seorang lelaki yang datang menemui Salman (Al-Farisi), lalu berkata kepadanya: “Berikan aku nasihat.” Beliau berkata: “Jangan banyak bicara.” Lelaki itu berkata: “Orang yang hidup di tengah manusia, mana bisa tidak berbicara?” Beliau menanggapi: “Kalaupun Anda hendak berbicara, berbicaralah yang benar, atau diam.” Lelaki itu berkata lagi: “Tolong tambahkan yang lain.” Beliau berkata: “Jangan suka marah.” Lelaki itu berkomentar: “Terkadang terjadi pada diriku, apa yang aku tidak bisa menahan diri.” Beliau berkata menanggapi: “Kalau begitu, bila engkau marah, jaga lidah dan tanganmu.” “Tambahkan lagi.’ Lelaki itu meminta. Beliau berkata: “Jangan campuri urusan orang lain. ” Lelaki itu menjawab: “Orang yang hidup bersama orang banyak, tidak mungkin tidak mencampuri urusan orang lain. “Beliau berkata: “Kalau engkau harus mencampuri urusan orang lain, katakan perkataan yang benar, dan tunaikanlah amanah kepada yang berhak. (Shifatush Shafwah I:549)
    Dari Mu’adz bin Said diriwayatkan bahwa ia berkata: “kami pernah bersama Atha’ bin Rabbah. Tiba-tiba seorang lelaki berbicara dan pembicaraannya dipotong oleh temannya. Maka Atha berkata: “Subhanallah, akhlak macam apa ini?” Sesungguhnya aku dengar orang lain berbicara, sedangkan aku lebih mengerti daripada dirinya, tetapi aku seolah-olah menunjukkan bahwa aku belum mengerti apa yang disampaikannya. (Shifatush Shafwah II:214)
    Dari Utsman bin Al-Aswad diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Atha’: “Ada seorang lelaki yang lewat di hadapan sekelompok orang, tiba-tiba ada di antara mereka yang mengejeknya (dan dia tidak mendengarnya), apakah sebaiknya ia diberitahu?” Beliau menjawab: “Tidak. Karena orang-orang yang duduk di satu majelis, harus mampu menjaga amanah.” (Shifatush Shafwah II:214)
    Dari khalaf bin Tamim diriwayatkan bahwa ia berkata: “Abdullah bin Muhammad telah menceritakan kepada kami, dari Al-Auza’i, bahwa ia berkata: “Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat kepada kami yang hanya dihafal isinya oleh aku dan Makhul. Yakni sebagai berikut: “Amma Ba’du: Sesungguhnya orang yang banyak mengingat-ingat kematian, ia akan senang dengan bagian di dunia yang sedikit; orang yang menganggap bicaranya itu termasuk amal perbuatannya, ia akan sedikit berbicara, kecuali dalam hal yang membawa manfaat buat dirinya. Wassalam (Siyaru A’laamin Nubalaa’)
    Sumber : Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi  Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani

    Akhlak Dalam Tertawa dan Bercanda

    Dari Anas diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang datang menjumpai Nabi Shallallahu’alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku berjalan-jalan.” Beliau berkata: “Kami akan membawamu berjalan-jalan menaiki anak unta.” Lelaki itu menukas: “Apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta?” “Bukankah setiap unta adalah anak ibunya?” Ujar beliau (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam”Sunan”-nya dalam kitab “Al-Adab”-92 bab Riwayat Tentang Bersenda Gurau Hadits No.3998 (V:270) dan dishahihkan ole Al-Albani)

    Dari Shuhaib diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku pernah menemui Nabi Shallallahu’alaihiwasallam. Ketika itu di hadapan beliau ada roti dan kurma. “Sini mendekatlah dan makanlah.” Beliau menawarkan. Akupun mulai memakan kurma tersebut. Tiba-tiba Nabi Shallallahu’alaihiwasallam menjawab: “Lho, kamu kok makan kurma, bukankah kamu sakit mata?” Aku menjawab: “Iya . Tetapi aku memakannya lewat mata yang sebelahnya.” Beliaupun tersenyum.(Dihasankan oleh Al-Albani dalam “Shahih Sunan Ibnu Majah”II:253 No.2776)
    Dari Usaid bin Hudhair diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ketika Shuhaib sedang berbincang dengan sekelompok orang (ia dikenal suka bercanda), ia menuturkan cerita yang lucu, maka Nabi menohok pinggangnya (dengan tongkat). Ia kontan berkata: “Coba aku balas engkau ya Rasulullah!” Beliau menanggapi: “Balaslah.” Lelaki itu menukas: “Tetapi Anda memakai gamis, sedangkan saya tidak memakai gamis.” Maka Nabi menyingkapkan gamisnya. Tetapi tak dinyana, ternyata Shuhaib justru memeluk beliau dan menciumi kulit perutnya, sambil berkata: “Sesungguhnya yang kumaui tidak lain adalah ini wahai Rasulullah.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam “Sunan”-nya dalam kitab “Al-Adab”-160, bab Mencium Tubuh (Nabi) hadits No.5223 dan dishahihkan oleh Al-Albani ["Shahih Abi Dawud" III:980 No.4352])
    Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa ia berkata: “Orang-orang bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah Anda juga mengajak kami bercanda?” Beliau menjawab: “Iya, cuma aku hanya mengatakan sesuatu apa adanya (tanpa berdusta).” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam bab-bab kitab “Al-Birr wash Shillah”-57 bab Riwayat Tentang Senda Gurau 1991, dan beliau berkomentar: “Hadits ini hasan shahih.”)
    Jarir menuturkan: “Setiap kali Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melihatku, beliau pasti tersenyum.” (Al-Bukhari dan Muslim)
    Sumber : Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani

    Akhlak Dalam Memelihara Waktu

    Dari Hasan Al-Bashri -Radhiallahu ‘anhu- diriwayatkan bahwa ia berkata: “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu tidak lain hanyalah perjalanan waktu; setiap kali waktu berlalu, berarti hilang sebagian dirimu.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ IV:585)
    Diantara ungkapan Hasan lainnya: “Aku pernah bertemu dengan orang-orang di mana masing-masing mereka lebih pelit dalam memelihara umurnya daripada menjaga hartanya.” (“Syarhus Sunnah”, karya Al-Baghawi XIV:225)
    Termasuk juga ucapan Al-Hasan dalam menasihati para sahabatnya agar mereka bersikap zuhud terhadap dunia dan menggairahkan mereka untuk mengejar akherat, beliau berkata: “Janganlah benda dunia fana yang sedikit ini melenakan dirimu, demikian juga janganlah mengukur-ukur dirimu. Semua itu akan berlalu dengan cepat mengikis umurmu. Kejarlah ajalmu, jangan lagi katakan: “Besok dan besok.” karena kamu tidak pernah tahu, kapan kamu akan kembali menemui Rabb-mu.” (“Hilyatul Awliyaa” II:140)
    Ar-Razi berkata: “aku pernah mendengar Ali bin Ahmad Al-Khawarizmi menyatakan: “aku pernah mendengar Abdurrahman bin Abu Hatim berkata: “Kami pernah berada di Mesir tujuh bulan dan tidak pernah makan sayur (makanan berkuah). Pada setiap siang, kami berkumpul di majelis-majelis para Syaikh. Dan pada malam harinya kami menyalin pelajaran dan mendiktekannya kembali. Pada suatu hari, aku bersama teman dekatku datang menemui seorang Syaikh. Namun orang-orang bilang: “Beliau sedang sakit.’ Di tengah perjalanan, kami melihat ikan yang menarik. Kamipun membelinya. Ketika kami tiba di rumah, tepat datang waktu belajar, sehingga kami belum sempat membereskannya. Kamipun langsung berangkat ke majelis. Demikian terus waktu berlalu hingga tiga hari. Ikan itu tentu saja sudah hampir busuk. Maka kamipun memakannya dalam keadaan mentah. Kami tidak sempat memberikannya kepada seseorang untuk dibakar.” Kemudian beliau menyatakan: “Sesungguhnya ilmu itu tidak bisa diperoleh dengan bersenang-senang.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa’” XIII:266)
    Abul Wafa Ali bin Abu Aqil menceritakan tentang dirinya sendiri: “sesungguhnya aku tidak membiarkan diriku membuang-buang waktu meski hanya satu jam dalam hidupku. Sampai-sampai apabila lidahku berhenti berdzikir atau berdiskusi, pandangan mataku juga berhenti membaca, segera aku mengaktifkan fikiranku kala beristirahat sambil berbaring. Ketika aku bangkit, pasti sudah terlintas sesuatu yang akan kutulis. Dan ternyata aku mendapati hasratku untuk belajar pada umur delapan puluhan, lebih besar dari hasrat belajarku pada umur dua puluh tahun.” (“Al-Muntazhim” karya Ibnul Jauzi IX:214 menukil dari buku “Sawanih Wa Tawilat Fii Qimatinz Zaman” karya Khaldun Al-Ahdab hal.24)
    Beliau juga berkata: “Dengan segala kesungguhan, aku juga memendekkan waktu makanku, sampai-sampai aku lebih memilih memakan biskuit yang dilarutkan dengan air dari pada memakan roti. Alasannya karena kedua makanan tersebut berbeda ketika dikunyah. Yakni demi lebih memberi waktu untuk membaca dan menyalin berbagai hal bermanfaat yang belum sempat kuketahui.” (“Dzail Thabaqatil Hanabilah” I:177, menukil dari buku “Sawanih Wa Ta-wilat Fii Qimatinz Zaman “34)
    Semoga Allah merahmati seorang perdana mentri yang faqih semacam Yahya bin Muhammad bin Hubairah – guru dari Ibnul Jauzi, ketika menuturkan:
    “Waktu akan semakin berharga bila dijaga dengan baik, tapi aku melihat waktu itu sesuatu yang paling mudah dilalaikan.” (“Dzail Thabaqatil Hanabilah” I:281, menukil dari buku “Sawanih Wa Ta-wilat Fii Qimatinz Zaman “39)
    Tentang dirinya sendiri Ibnul Jauzi -Rahimahullah- pernah menuturkan: “Saya telah melihat banyak orang yang berjalan-jalan bersama saya untuk acara kunjung mengunjungi sebagaimana yang menjadi kebiasaan masyarakat. Mereka menyebutkan kebiasaan itu sebagai “pelayanan”. Mereka biasanya mencari tempat duduk (di kediaman seseorang) dan memperbincangkan omongan orang yang tidak berguna. Kadang-kadang semuanya itu diselingi dengan menggunjing orang lain.”
    Kebiasaan semacam itu banyak dilakukan oleh anggota masyarakat di jaman kita sekarang ini. Terkadang acara kunjung-mengunjungi itu menjadi tuntutan yang digandrungi, seorang diripun pergi dipaksa-paksakan; khususnya pada hari-hari raya dan ‘Ied. Kita bisa melihat mereka saling tandang ke rumah temannya, tidak hanya mencukupkan diri dengan mengucapkan selamat dan sejenisnya, tapi mereka menyelinginya dengan membuang-buang waktu seperti yang telah saya paparkan.
    Ketika kulihat bahwa waktu itu adalah sesuatu yang paling berharga, sementara kewajiban kita adalah melakukan kebajikan, akupun tidak menyukai kebiasaan itu. Sikapku terhadap mereka antara dua hal saja; Kalau aku menyangkal mereka, akan terjadi kerusuhan yang bisa memecah persahabatan. Tapi kalau aku menerima ajakan mereka, aku akan membuang-buang waktu. Akhirnya aku memilih berusaha menolak secara halus, kalau gagal, aku ikuti mereka, namun aku tidak mau ngobrol panjang agar cepat selesai pertemuannya.”
    Kemudian aku menyiapkan berbagai aktifitas yang tidak menghalangi aku untuk berbincang-bincang dengan mereka ketika bertemu muka, artinya agar waktuku tidak terbuang sia-sia. Sehingga yang aku persiapkan sebelum bertemu dengan mereka adalah memotong kaghid (kertas yang disiapkan untuk menulis) dan meruncingkan pena serta menyiapkan buku-buku tulis. Semuanya itu perangkat yang tidak boleh tertinggal. Dan untuk mempersiapkannya tidak terlalu membutuhkan fikiran dan konsentrasi. Aku pun mempersiapkannya pada saat-saat terjadi pertemuan dengan mereka agar waktuku tidak terbuang sia-sia.” (“Shaidul Khatir” hal 184,185)
    Sumber : Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani