Dîwân al-Imâm al-Syâfi‘i:
Gambar Diri Imam Syafi‘i dalam Syair
Saya kira hampir semua orang mengenal Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i atau yang kita sebut secara singkat dengan Imam Syafi‘i, paling tidak pada sebatas ia adalah seorang pendiri salah satu mazhab-fikih terbesar, Mazhab Syafi‘i. Atau, paling tidak, jika disebut Imam Syafi‘i maka yang tebersit pertama dalam pikiran adalah fikih. Dan, barangkali sedikit dari kita yang mengetahui jika Imam Syafi‘i adalah juga seorang penyair, meski ia tidak menulis buku khusus untuk syair-syairnya. Ia menyenandungkan syair secara spontan sebagai cerminan atas keadaan tertentu atau sebagai jawaban pertanyaan seseorang kepadanya. Seorang murid yang mendengar syair itu akan menghafalnya, lalu menyampaikannya dari mulut ke mulut, turun-temurun. Kemudian, para ulama-penulis akan menukil untuk buku-buku mereka syair-syair yang sesuai dengan tema yang mereka tulis. Akhirnya, tersebarlah syair-syair Imam Syafi‘i di berbagai karya tentang hadis, fikih, sejarah, bahasa, etika, dan sebagainya.
Dan, Dîwân al-Imâm al-Syâfi‘i adalah sebuah buku kecil yang merangkum syair-syair[1] Imam Syafi‘i—ada sekitar seratus lima puluhan syair—yang terserak di berbagai karya tersebut. Tertulis di sampul buku itu, perangkumnya bernama Yusuf Syekh Muhammad al-Biqa‘i, seorang profesor bahasa dan sastra Arab. Sebagian besar syair-syair dalam Dîwân memotret soal moral dan nasihat serta refleksi dari keadaan masyarakatnya saat itu, sekaligus mencerminkan gambar diri Sang Imam.
Ada satu syairnya yang jika dibaca, kita akan tahu betapa Imam Syafi‘i begitu menghormati wanita. Ia tidak menempatkan wanita di posisi yang pantas dipojokkan atau menjadi bahan olok-olok. Simaklah …
أَكْثَرَ النَّاسُ فِي النِّسَاءِ وَقَالُوا
إِنَّ حُبَّ النِّسَاءِ جَهْدُ الْبَلَاءِ
لَيْسَ حُبُّ النِّسًّاءِ جَهْدًا وَلَكِنْ
قُرْبُ مَنْ لَا تُحِبُّ جَهْدُ الْبَلَاءِ
Banyak orang memperbincangkan wanita,
dan mereka mengatakan: mencinta wanita itu puncak bencana.
Puncak bencana sesungguhnya bukanlah mencintai wanita,
melainkan berdekatan dengan orang yang tak kaucintai.
Mungkin saja, Imam Syafi‘i hidup dalam masyarakat di mana faktor lelaki begitu dominan, saat para lelaki menganggap kelelakian adalah alasan yang membuat seorang lelaki bisa di atas wanita dalam berbagai hal, sehingga seseorang mudah saja mengolok-olok wanita. Atau, mungkin saja, pada suatu ketika, Imam Syafi‘i pernah melewati sekelompok laki-laki yang sedang nongkrong, dan mendengar mereka membicarakan kesialan mereka sendiri tentang wanita. Namun, kesialan itu mereka nisbatkan kepada wanita.
Yang tak sedikit dibicarakan Imam Syafi‘i dalam Dîwân adalah soal “bicara” dan “diam”. Imam Syafi‘i menasihati kita,
إِذَا نَطَقَ السَّفِيْهُ فَلَا تُجِبْهُ
فَخَيْرٌ مِنْ إِجَابَتِهِ السُّكُوْتُ
Jika ada orang bodoh berbicara, jangan ditanggapi.
Jika harus ditanggapi maka tanggapan terbaik untuknya adalah diam.
Al-Safîh (orang bodoh) bisa kita pahami sebagai “orang bodoh tapi tak mau memikirkan kebodohannya” atau “orang bodoh tapi ngeyel” atau “orang bodoh tapi sok tahu”. Dalam Al-Quran, tepatnya ayat ke-142 dari surah al-Baqarah, al-sufahâ’ (bentuk plural dari al-safîh) dinisbahkan kepada orang-orang Yahudi dan kaum musyrik yang mempertanyakan dengan maksud mengingkari keputusan pengalihan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka‘bah.
“Alasan apa yang membuat orang-orang muslim tidak lagi berkiblat ke Baitul Maqdis?!” kata mereka. Pertanyaan yang bernada sinis. Allah kemudian menyuruh Rasulullah memberi jawaban “sekenanya”: “Timur dan barat itu milik Allah!” Dalam bahasa kita, seperti ini: “Mau menghadap ke mana aja kek, terserah Allah dong!” Jika saja orang-orang Yahudi itu bertanya dengan maksud benar-benar ingin tahu—bukan mengingkari—barangkali Allah akan menyuruh Rasulullah memberi jawaban yang “sebenarnya”.
Mengapa orang-orang seperti itu (al-safîh) tidak perlu didengar dan ditanggapi omongannya? Tentu saja, karena jika al-safîh bertanya, ia tidak bermaksud ingin mendapatkan jawaban, tetapi hanya ingin mengungkapkan ketidaksukaan. Ia bertanya bukan untuk mencari arti, melainkan untuk mengingkari. Menjawab pertanyaan orang seperti itu hanya membuang tenaga secara percuma. Menjawab pertanyaan orang seperti itu hanya memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan pengingkaran selanjutnya. Menanggapi orang-orang yang ngeyel, orang-orang yang sok tahu, orang-orang yang berdiskusi tanpa argumentasi, orang-orang yang berbicara hanya ingin didengarkan tapi tak mau mendengarkan, pada akhirnya itu sama saja dengan kita menunjukkan kebodohan diri kita sendiri, membuat kita tampak bodoh di hadapan mereka. Namun, “Jika harus ditanggapi,” kata Imam Syafi‘i, “tanggapan terbaik untuknya adalah diam.”
Itulah diam dalam makna yang disebut peribahasa “diam itu emas”. Diam yang menyimpan hikmah. Membangun harga diri dengan tak banyak bicara tanpa arti. Imam Syafi‘i membuat analogi sangat menarik tentang itu dalam syairnya,
أَمَّا تَرَى الأَسَدَ تُخْشَى وَهْيَ صَامِتَةٌ
وَالْكَلْبُ يُخْسَى لَعَمْرِي وَهْوَ نَبَّاحُ
Kautahu, macan tetap ditakuti meski sedang diam,
namun anjing akan dilempar jika terlalu banyak menggonggong.
Apalagi banyak bicara tanpa arti, bahkan, kata-kata yang pada dirinya benar dan penuh arti pun tak secara otomatis pantas dibicarakan dan disampaikan. Yang benar tak selalu berarti baik. Kebenaran berkaitan dengan “sesuatu yang harus disampaikan”, sementara kebaikan berkaitan dengan “bagaimana cara sesuatu harus disampaikan”. Kebenaran berkaitan dengan logika, kebaikan berkaitan dengan etika. Sesuatu yang logis harus disampaikan secara etis. Barangkali kita memiliki pendapat atau nasihat yang kebenarannya tak terbantahkan. Tapi, kita juga harus berpikir sebelum menyampaikan pendapat atau nasihat itu kepada orang lain: Apakah sesuai betul untuk kondisi orang itu? Apakah pendapat atau nasihat itu dibutuhkan? Apakah orang itu menghendaki? Jangan-jangan berdasar asumsi kita saja bahwa orang itu membutuhkan pendapat atau nasihat, atau jangan-jangan kita yang terlalu “bersemangat”. Jangan sampai kemudian niat baik kita menjadi buruk gara-gara cara kita menyampaikannya tidak bijak. Kurang-lebih, seperti itulah yang ingin disampaikan Imam Syafi‘i dalam syairnya ini:
وَلَا تُعْطِيَنَّ الرَّأْيَ مَنْ لَا يُرِيْدُهْ
فَلَا أَنْتَ مَحْمُوْدٌ وَلَا الرَّأْيُ نَافِعُهُ
Jangan kausampaikan pendapat kepada orang yang tak menghendaki;
kau tidak akan mendapat pujian, tidak pula pendapatmu akan berguna.
Sebab itulah tak jarang kita menyaksikan di media-media, satu kelompok bergerak menyerukan kebenaran, tapi yang tebersit dalam sebagian hati kita justru bukan simpati, melainkan caci maki. Dan, tentu saja, bukan caci maki terhadap diri kebenaran, melainkan terhadap ekspresi-kebenaran yang tak benar.
Gambar diri lain dari Imam Syafi‘i yang bisa kita lihat dalam Dîwân adalah sikap-rendah-hatinya yang tinggi. Untuk kita ingat … Imam Syafi‘i adalah: seorang bayi yang kelahirannya bertepatan dengan kematian seorang pendiri mazhab-fikih terbesar [yang lain], Mazhab Hanafi, yaitu Imam Abu Hanifah, dan kebesarannya telah diramalkan, sehingga, saat itu, orang-orang berujar, “Mâta imâm wa wulida imâm” (Seorang imam telah berpulang dan [calon] seorang imam telah datang); seorang anak yang telah hafal Al-Quran secara penuh saat berusia tujuh tahun, dan telah hafal seluruh isi al-Muwaththa’—kitab berisi kumpulan hadis—pada usia lima belas tahun, sebelum berguru kepada penulis kitab itu, Imam Malik ibn Anas, yang juga seorang pendiri salah satu mazhab-fikih terbesar, yaitu Mazhab Maliki; seseorang yang kemudian mendirikan salah satu mazhab-fikih terbesar, Mazhab Syafi‘i—mazhab yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia; seorang guru yang muridnya bernama Imam Ahmad ibn Hanbal juga mendirikan salah satu mazhab-fikih terbesar, Mazhab Hanbali; jika Anda pernah menjumpai nama ulama klasik yang dalam rangkaiannya tertulis “al-Syafi‘i”, itu artinya, dalam masalah fikih, ia mengikuti metode fikih yang dibangun Imam Syafi‘i; atau Anda barangkali ingin menambahkan nama besar Imam Syafi‘i dari sudut yang lain …. Namun demikian, coba kita perhatikan apa yang Imam Syafi‘i gambarkan tentang dirinya dalam syair ini,
كُلَّمَا أَدَّبَنِى الدَّهْرُ أَرَانِي نَقْصَ عَقْلِي
وَإِذَا مَا ازْدَدْتُ عِلْمًا زَادَنِي عِلْمًا بِجَهْلِى
Masa mendidikku dan memperlihatkan jika pengetahuanku semakin berkurang.
Pun jika pengetahuanku bertambah maka itu adalah pengetahuan tentang kebodohanku.
Atau yang ini,
أُحِبُّ الصَّالِحِيْنَ وَلَسْتُ مِنْهُمْ
لَعَلِّى أَنْ نَالَ بِهِمْ الشَّفَاعَهْ
وَأَكْرَهُ مَنْ تِجَارَتُهُ الْمَعَاصِى
وَلَوْ كُنَّا سَوَاءً فِيْ الِبِضَاعَهْ
Aku bukan termasuk orang-orang saleh, tapi aku mencintai mereka.
Dengan mencintai mereka aku hanya berharap mendapat syafaat.
Aku membenci orang yang perilakunya adalah maksiat,
meski aku dan mereka sama saja.
Bahkan, menjelang ajal, sambil menangis, Sang Imam sempat berkata kepada orang-orang yang menjenguknya, “Dari dunia ini aku akan pergi, dari handai tolan aku akan berpisah, hanya dengan segelas kematian aku meminum, dan kepada Tuhan aku akan kembali. Tapi, aku tidak tahu ke mana ruh jasad ini akan menuju: mungkin ke surga, mungkin ke neraka.”[]