Assalamu’alaikum wr. wb.
Minta tolong pencerahannya pak Ustadz.
1. Seorang teman saya sangat berhati-hati dalam beragama dan menganggap semua yang tidak sependapat dengan kelompoknya adalah sesat atau bidah bahkan dianggap bermaksiat terhadap Allah karena beribadah tidak dengan cara Rasulullah, dan hal demikian menurut mereka bukan sekedar khilafiyah. Yasinan, bermaafan menjelang Ramadhan, qunut dan sebagainya adalah bidah dan sesat masuk neraka. Bagaimana sebenarnya batasan bidah yang diharamkan?
2. “Sikap tidak bisa menerima pandangan orang lain yang tidak sama dengan diri sendiri sebenarnya justru ciri khas orang awam. Di mana akses mereka terhadap ilmu-ilmu syariah tersumbat. ” Pak Ustadz Ahmad Syarwat pernah menuliskan demikian dalam jawaban pertanyaan mengenai shalat witir. Menurut seorang teman saya berarti pak Ustadz secara tidak langsung dia menyebutkan Syaikh Nasiruddin Al-Albani adalah orang awam. Jadi sebenarnya siapa Syaikh Nasiruddin Al-Albani itu dan bagaimana kapasitasnya sebagai seorang Ulama Islam? Serta bagaimana pula pandangan Syaikh itu terhadap khilafiyah?
3. Kalau kita dianggap sesat orang lain, apa yang seharusnya kita lakukan? Apakah boleh kita jadi makmum/imam bagi orang yang demikian (dan sebaliknya)? Mengingat mereka menganggap kita sesat.
4. Jika kita bertemu dengan muslim lain yang tidak sependapat dengan kita, misalnya dalam hal qunut, bagaimana kita berjamaah? Misalnya dalam hal diundang Yasinan, dan sebagainya? Bagaimana sikap kita? Menerima ataukah menolak?
Terima kasih pak ustadz, JazakAllah khoir
Mohammad Agus Sulistyono
agusme
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,1. Bahwa seseorang berpendapat suatu tindakan itu bid’ah atau haram, tentu saja merupakan hak tiap orang. Akan tetapi yang tidak boleh adalah menunjuk hidung tiap orang dan menyapanya dengan sebutan, “Hai Ahli Bid’ah”, atau “Hai calon penghuni neraka.” Nauzu billahi min zalik
Ketika Imam Malik rahimahullah mengatakan bahwa qunut pada shalat shubuh itu bid’ah, beliau tidak pernah mengatakan bahwa Imam As-syafi’i muridnya yang paling cerdas dan berhasil membangun mazhab sendiri sebagai ahli bid’ah atau calon penghuni neraka, lantaran berpendapat bahwa qunut shubuh itu sunnah.
Demikian juga ketika Imam As-Syafi’i menjadi imam shalat shubuh di masjid Madinah, tempat di mana Imam Malik gurunya itu pernah mengajar fiqih, beliau meninggalkan qunut shubuh. Padahal pendapat beliau menyebutkan bahwa qunut itu sunnah, bila ditinggalkan dengan sengaja harus melakukan sujud sahwi. Namun beliau tetap sangat menghormati almarhum gurunya.
Kedua ulama guru dan murid itu alih-alih saling mencaci, justru mereka saling bertukar pujian. Dan bukan sekedar basa-basi, melainkan pujian setulus hati dan sejujurnya. Berbeda dengan ulama zaman sekarang, yang ketika memuji, boleh jadi hatinya masih panas.
Maka bagi seorang alim, berpendapat yang berbeda dengan saudaranya sangat wajar dan manusiawi. Tapi kalau kemana-mana selalu melontarkan cacian, makian, tuduhan, ejekan serta secara terus menerus menyakiti hati dan perasaan saudaranya dengan julukan-julukan kurang ajar, padahal yang dibicarakannya itu masih seputar masalah khilafiyah, sungguh bukan sikap seorang ahli ilmu.
2. Syeikh Nasiruddin Al-Albani tidak senaif yang dibilang teman anda. Beliau seorang ulama besar yang sudah pasti paham bahwa di dalam masalah syariah, pasti banyak perbedaan pendapat. Beliau sangat bisa menerima perbedaan pendapat dengan ulama lain.
Dan tentu saja tidak benar bila kami menuduh bahwa Syeikh termasuk yang kami katakan sebagai orang awam yang tidak punya akses kepada ilmu syariah.
Tentu saja yang kami maksud bukan Syeikh Al-Albani, melainkan segelintir orang yang ke mana-mana membawa nama beliau, tetapi melakukan tindakan tidak terpuji. Seandainya Syeikh masih hidup dan mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, pastilah mereka akan ditegur dengan keras.
Yang tidak bisa menerima perbedaan pendapat itu memang orang-orang awam, yang barangkali hanya kenal satu ulama saja. Misalnya mereka hanya kenal Syeikh Nasiruddin Al-Albani saja. Sayangnya kemudian pendapat beliau banyak dieksploitir sedemikian rupa, sehingga seolah-olah Al-Albani jadi tokoh kontroversial.
Padahal di dunia ini yang namanya ulama bukan hanya beliau seorang saja. Dan beliau yang mulia Syeikh Al-Albani sendiri pasti mengakui bahwa dirinya bukan satu-satunya ulama. Beliau tidak pernah mengatakan bahwa siapapun yang tidak sesuai dengan pendapat dirinya, pasti sesat dan pasti masuk neraka. Beliau juga tidak pernah mengatakan bahwa yang benar hanya dirinya sendiri, sementara semua pendapat lain pasti salah dan sesat. Sungguh Syeikh Al-Albani terlepas dari semua hal yang dituduhkan.
Bahwa seorang Al-Albani punya pendapat yang berbeda dengan banyak ulama lain, itu karena beliau yakin bahwa hujjah beliau kuat. Dan sebagai seorang ahli hadits, tidak seorang pun yang meragukan kemampuan beliau. Namun dengan semua kemampuannya itu, beliau sama sekali belum pernah merasa dirinya paling benar. Bahkan beliau terlepas dari sikap-sikap jumud dari kalangan awam yang menisbahkan diri mereka sebagai murid beliau, namun tidak mengikuti akhlaqnya.
Al-Albani tidak pernah mencaci maki seorang ulama. Beliau tidak pernah mengkafirkan atau menuduh siapa pun sebagai ahli bid’ah. Meski beliau sangat anti dan memerangi bid’ah, namun biar bagaimana pun beliau seorang ulama yang paham etika dan estetika. Beliau tidak pernah menyebut nama seseorang dari kalangan ulama lain yang tidak sepaham dengan beliau sebagai kafir, atau ahli bid’ah, atau calon penghuni neraka atau sebutan-sebutan lain yang tidak etis.
Tidak sebagaimana sekelompok kecil orang awam yang berani memakai nama beliau sebagai rujukan atau ulama ikutan, tetapi berakhlaq rendah serta bermasalah dengan jiwanya. Dalam logika kelompok kecil ini, yang penting semua orang harus salah dulu, lalu disikat dengan berbagai macam dalil. Dan kemudian mereka menggunakan nama Al-Albani sebagai tumbal.
Sementara Syaikh Al-Albani jauh dari sikap dan tindakan gegabah seperti itu. Sebenarnya nama baik beliau justru direndahkan dan dihinakan oleh sekelompok kecil orang yang tidak bertanggung-jawab. Mereka membawa-bawa nama Syeikh seolah tindakan salah mereka itu adalah perintah dan ajaran dari beliau.
Semoga Allah memaafkan kesalahan saudara-saudara kita itu dan menyadaran mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Semoga Allah SWT meluaskan dada mereka dan mau menerima realita dalam berjamaah bersama dengan sesama umat Muhammad SAW. Semua yang mereka tuduhan kepada Syaikh semoga dihilangkan.
3. Ketika ada seseorang menuduh diri kita sebagai sesat, hanya lantaran kita punya pemahaman fiqih yang tidak sama dengan dirinya, maka ketahuilah bahwa kita sedang berhadapan dengan orang jahil. Dalam hal ini, mungkin firman AllahSWT berikut bisa kita sima baik-baik.
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata keselamatan. (QS Al-Furqan: 63)
Kita tetap sah bermakmum di belakang mereka, selama kita yakin bahwa shalat mereka sah. Sedangkan kalau mereka tidak mau bermakmum kepada kita, tidak usah dipikirkan. Nothing to loose, kan?
4. Seandainya anda berkeyakinan bahwa qunut itu bid’ah, maka anda tetap sah shalat di belakang imam yang qunut. Dan demikian juga sebaliknya.
Sebab sekali lagi, kalau pun qunut itu dikatakan bid’ah, sebenarnya tidak ada satu ayat Quran yang menyebutkannya dan juga tidak ada hadits shahih yang secara eksplisit menyebutkannya. Kebid’ahan qunut hanya lahir dari hasil sebuah ijtihad manusia belaka, bukan kalamullah dan bukan sabda rasulullah SAW. Jadi bisa benar dan bisa salah.
Demikian juga dengan kebid’ahan Yasinan, kami yakin mereka yang berpendapat demikian, tidak pernah bisa menyebutkan satu ayat atau satu hadits pun yang secara eksplisit nabi SAW melarang untuk melakukannya. Kalau pun dikatakan bahwa Yasinan itu bid’ah, ketahuilah bahwa hal itu hasil dari sebuah ijtihad. Bisa benar dan bisa salah.
Dan tidak ada seorang pun yang berhak untuk mengklaim bahwa dirinya selalu dan senantiasa benar, lalu semua orang pasti semua salah, bid’ah dan neraka. Kecuali hanya satu orang yang berhak mengklaim demikian, yaitu Rasulullah SAW seorang.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar