Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah :
إسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضه من الأقوال والأفعال ظاهزا وباطنا
artinya : “Suatu
nama yang mencakup apa-apa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
diridhai-Nya dari ucapan dan perbuatan, baik yang dhohir maupun bathin”.
Syaikh 'Utsaimin di dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar'i menjelaskan syarat yang harus dipenuhi dalam ibadah, bahwa sebagaimana ketika Fudhail bin Iyadh menerangkan ayat
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”1. Beliau menerangkan bahwa أَحْسَنُ عَمَلًا (yang lebih baik amalnya) adalah أخلصه وأصوابه “yang paling ikhlash dan paling benar (ittiba’ Rasul)”.
Jadi syarat mutlak dalam ibadah adalah :
1. Ikhlash lillahi Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhkan diri dari syirik baik syirik asghar2 maupun syirik akbar3. 2. Mutaba’ah li Rasulillah dan menjauhkan diri dari bid’ah dan muhdats.
Syaikh
'Utsaimin melanjutkan, “Perlu diketahui bahwa mutaba’ah tidak akan
dapat tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan
syari'at dalam enam perkara:
1. Sebab,
yakni jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab yang
tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud (tertolak).
Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan bahwa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam,
adalah bid’ah, dikarenakan sholat tahajjudnya dikaitkan dengan sebab
yang tidak ditetapkan dengan syari'at, walaupun sholat tahajjud itu
sendiri adalah sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab yang tidak
syar'i, sholatnya menjadi bid’ah.
2. Jenis, yakni ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya, jika tidak maka termasuk bid’ah.
Contoh
: seseorang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena
menyelisihi syari'at dalam ketentuan jenis hewan kurban, yang
disyari'atkan hanyalah unta, sapi dan kambing
3. Kadar (bilangan), yakni ibadah harus sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika menyelisihinya maka termasuk bid’ah.
Contoh
: seseorang sholat dhuhur 5 rakaat, dengan menambah bilangan sholat
tersebut, hal ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata.
4. Kaifiyat (cara),
seandainya seseorang berwudhu dengan cara membasuh kaki terlebih
dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya, karena menyelisihi
kaifiyat wudhu’.
5. Waktu,
yaitu seandainya ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari
pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena waktunya tidak
sebagaimana yang diperintahkan.
6. Tempat,
seandainya seseorang beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah
I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah disyari'atkan di masjid, tidak pada
selainnya.
Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat, dalam Risalah Bid’ahnya menukil pembagian ibadah menjadi dua macam, yakni :
1. Ibadah Mutlak,
yaitu suatu ibadah yang tidak ditentukan secara khusus oleh Rasulullah
kaifiyatnya, jumlahnya, waktu, tempat maupun sifatnya secara khusus dan
terperinci.
Biasanya ibadah mutlak berbentuk suatu perintah dan berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid (pembatas) jumlah, waktu, tempat maupun sifatnya.
Contohnya adalah, mengucapkan salam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, افشوا السلام بينكم “Tebarkan salam di antara kalian”, lafadh hadits ini adalah umum, tidak diterangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam akan batasan waktunya, bilangannya, dan tempatnya.
2. Ibadah Muqoyyad, yaitu ibadah yang terikat dengan jumlah, bilangan, waktu, tempat maupun sifatnya, yang diterangkan secara tafshil (terperinci) oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Contohnya adalah sholat, di mana banyak hadits yang datang menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya, dan tempatnya.
5. Ta’rif Sunnah dan sunnah adalah lawan bid’ah.
Sunnah menurut bahasa adalah طريق(jalan/ cara), سبيل(jalan), dan منهج(manhaj/metode).
Adapun menurut istilah adalah
ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه و سلم من فعل أو قول أو تقرير أو صفة خلقية و خلوقية
“Apa-apa
yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari
perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat akhlak dan
penampilan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam”.
Sunnah ditinjau dari pemahamannya ada dua, yakni :
1. Sunnah menurut fuqoha’ (ahli fiqh), adalah bermakna mandub/hukum. Maksudnya adalah jika diamalkan mendapatkan pahala namun jika ditinggalkan tidaklah mengapa dan tidak disiksa.
2. Sunnah menurut muhadditsin (ahli hadits),
adalah bermakna hadits, sebagaimana definisi sunnah menurut istilah di
atas, sehingga ada sunnah yang berhukum wajib dan ada yang sunnah.
Adapun ditinjau dari pelaksanaannya, sunnah dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Sunnah Fi’liyah, yakni Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat akhlak dan penampilan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Hukumnya ada yang wajib dan ada yang sunnah, melaksanakannya adalah suatu kewajiban.
2. Sunnah Tarkiyah, yakni apa-apa yang disangka sebagai suatu sunnah dan dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, padahal beliau tidak pernah menuntunkannya, meninggalkannya adalah wajib dan melaksanakannya adalah bid’ah.
Jadi
jelas bahwa meninggalkan sunnah adalah suatu bid’ah dan meninggalkan
bid’ah adalah sunnah, kedua-duanya tak dapat dipersatukan untuk
selama-lamanya, sebab ia bagaikan air dan minyak, ia bagaikan langit
dan bumi. Sebagaimana dalam kalimat tauhid لا إله إلا الله terkandung nafyu (penafian/peniadaan) dan itsbat (penetapan), yakni nafyu terhadap segala bentuk kesyirikan dan itsbat
terhadap tauhid ibadah lillah. Demikian pula bid’ah dan sunnah,
mengetahui bid’ah adalah suatu keniscayaan agar terhindar darinya dan
lebih memahamkan akan hakikat sunnah itu sendiri, sebagaimana ucapan seorang penyair :
عرفت الشرّ لا للشرّ ولكن لتوقيه و من لم يعرف الخير من الشرّ يقع فيه
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk mengamalkan keburukan, tetapi untuk menghindarinya
dan barang siapa yang tidak mengetahui antara kebaikan dan keburukan, niscaya ia terjerumus ke dalamnya”
Bahkan mengetahui sesuatu dengan cara mengetahui kebalikannya adalah selaras dengan firman Allah :
فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”4.
Sebagaimana tauhid tidaklah diketahui kecuali dengan menjauhi
lawannya, yakni syirik, dan iman takkan terealisasi kecuali dengan
menjauhi lawannya, yaitu kufur. Demikian pula, sunnah takkan jelas dan
tanda-tandanya takkan terang, kecuali dengan mengenal lawannya, yaitu
bid’ah.
Sungguh indah perkataan Ibnu Qutaibah :
و
لن تكمل الحكمة والقدرة إلا بخلق الشيء وضده, ليعرف كل منهما بصاحبه,
فالنور يعرف بالظلم, والعلم يعرف بالجهل, والخير يعرف بالشّرّ, والنفع يعرف
بالضرّ, والحلو يعرف بالمرّ.
“Hikmah
dan qudrah takkan sempurna melainkan dengan menciptakan lawannya agar
masing-masing diketahui dari pasangannya. Cahaya diketahui dengan
adanya kegelapan, ilmu diketahui dengan adanya kebodohan, kebaikan
diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan diketahui dengan adnaya
kemudharatan, dan rasa manis diketahui dengan adanya rasa pahit.”5
6. Pembagian Bid’ah dan bahaya serta kerusakannya terhadap ummat.
Telah
dijelaskan bahwa bid’ah seluruhnya adalah sesat, dan adalah tidak
benar menganggap bid’ah ada yang hasanah, dengan hujjah dan alasan yang
telah disebutkan. Para ulama’ membagi bid’ah menjadi dua6, yakni :
1. Bid’ah Haqiqiyah : Suatu macam bid’ah yang tidak ditunjukkan sedikitpun suatu dalil syar'i dari segala sisi, baik secara ijmal (global), apalagi secara tafshil (terperinci). Contoh : Peringatan Maulid Nabi7, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahlilan8, Demonstrasi9, dan lain-lain.
2. Bid’ah Idhafiyah :
Suatu macam bid’ah yang jika ditinjau dari satu sisi ia memiliki
dalil/hujjah, namun jika ditinjau dari sisi lain, tak ada tuntunan
syariatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Dengan cara, memutlakkan ibadah muqoyyad ataupun sebaliknya, memuqoyyadkan ibadah mutlak, tanpa ada keterangannya dari Rasulullah. Contoh : Dzikir jama’i10, membasuh kaki hingga lutut ketika berwudhu’, membaca yasin tiap malam jum’at11, dan lain-lain.
Termasuk
dalam kerangka cemburu kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya, adalah
menafikan hal baru yang disandarkan kepada agama, menjauhinya dan
mentahdzirnya (memperingatkan ummat dari bahayanya). Sebab praktek
bid’ah akan menimbulkan beberapa kerusakan sebagai berikut:
1. Orang-orang awam akan menganggap dan meyakininya sebagai suatu yang benar atau baik.
2. Menimbulkan kesesatan bagi ummat dan menolong mereka untuk mengerjakan yang salah.
3. Jika yang melakukan bid’ah itu orang yang alim, dapat menimbulkan khayalak mendustakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena mereka menganggap ini sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tak pernah menuntunkannya.
4. Sunnah
menjadi samar dengan bid’ah, akibatnya seluruh sendi agama menjadi
samar pula, sehingga kesyirikan, khurofat dan takahayul menjadi samar.
5. Padamnya
cahaya agama Allah, karena kebid’ahan merupakan sumber perpecahan dan
penghalang turunnya pertolongan Allah, akibatnya ummat Islam selalu
terlingkupi kehinaan dan kekalahan.
7. Kaidah dalam menyatakan suatu amalan sebagai bid’ah
Imam Al-Muhaddits Al-Ashr Al-Allaamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Ahkamul Jana-iz wa bid’uha12 menjelaskan delapan perkara yang dapat dikategorikan sebagai bid’ah :
1. Setiap perkara yang menyelisihi sunnah baik ucapan, amalan, I’tiqod maupun dari hasil ijtihad.
2. Setiap sarana yang dijadikan wasilah untuk bertaqarrub kepada Allah, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarangnya atau tidak menuntunkannya.
3. Setiap perkara yang tidak mungkin di syariatkan kecuali dengan nash (tauqifiyah) namun tak ada nashnya, maka ia adalah bid’ah, kecuali amalan sahabat.
4. Sesuatu yang dimasukkan dalam ibadah dari adat-adat dan tradisi orang kafir.
5. Apa-apa yang dinyatakan ulama’ kontemporer sebagai amalan mustahab tanpa ada dalil yang mendukungnya.
6. Setiap tata cara ibadah yang dijelaskan melalui hadits dho’if atau maudhu’
7. Berlebihan (ghuluw) dalam beribadah.
8. Setiap
peribadatan yang dimutlakkan syari'at, kemudian dibatasi oleh manusia
seperti tempat, waktu, kaifiyat dan bilangan tanpa ada dalil khususnya.
Dari
penjelasan di atas, jelaslah bahwa segala hal yang diada-adakan dalam
permasalahan agama adalah tercela dan jelek sekali. Karena sebagaimana
perkataan Imam Fudhail bin Iyadh, bahwa
إن البدعة أحب إلى ألشيطان من للمعصية
“Sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai syaithan ketimbang maksiat”,
dikarenakan, pelaku maksiat diharapkan sadar akan kesalahannya, karena
ia mengetahui bahwa maksiat itu adalah keharaman yang nyata, sedangkan
pelaku bid’ah yang mengamalkan suatu bid’ah menganggapnya sebagai
suatu sunnah.
Ibnu '''Umar Radhiallahu ‘anhu juga berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik”13.
Maka janganlah tertipu dengan banyaknya bid’ah di hadapan mata dan
manusia menganggapnya sebagai kebajikan, karena sesungguhnya Ibnu
Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata :
اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتكم
“Ittiba’lah jangan berbuat bid’ah karena kau telah dicukupi.”14
1. QS Al-Mulk (67) : 2
2. Syirik yang tidak sampai menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, dan membatalkan amalan yang disertainya saja, seperti riya’, sum’ah, dan lain-lain.
3. Syirik
yang membatalkan keislaman pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam
serta menghapus seluruh amalnya, seperti menyembah berhala atau
wali-wali selain Allah, tabaruk (ngalap berkah) pada mayit, dan lain-lain.
4. QS Al-Baqarah (2) : 256. Kalimat فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ (barang siapa yang ingkar dengan thaghut) menunjukkan nafyu terhadap thaghut dan segala bentuk kesyirikan sedangkan وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ (barangsiapa yang iman kepada Allah) menunjukkan itsbat terhadap Allah sebagai ilah Al-Haq (satu-satunya sesembahan yang benar).
5. Ta’wil Mukhalafil Hadits hal. 14, disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 37-41.
6. ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 147-148
7. Masalah
ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata, dan tidak khilaf para
ulama’ Salaf tentangnya. Telah banyak pula bantahan para ulama’ baik
Salaf dan kholaf tentang peringatan Maulid Nabi yang bid’ah ini.
Syaikhul Islam menerangkan bahwa bid’ah ini pertama kali dihembuskan
oleh para zanadiqah (munafiqin) Syi'ah ketika mereka berkuasa pada era
bani Fathimiyyah. Syi'ah dan Shufi merupakan dedengkot utama
tersebarnya bid’ah, syirik dan khurofat di tengah-tengah ummat Islam.
Namun, sangat menyedihkan, ketika sebagian harokah da’wah yang merebak
saat ini, mereka terjebak dengan bid’ah semacam ini. Termasuk juga
peringatan-peringatan hari besar Islam lainnya.
8. Tahlilan
atau peringatan kematian telah banyak dijelaskan oleh para ulama’ akan
bid’ah dan bahayanya. Budaya di Indonesia dengan 40 hari, 100 hari,
1000 hari, dan seterusnya adalah adat yang berangkat dari keyakinan
syirik dan khurafat bid’ah, peninggalan dari sisa-sisa I’tiqad agama
Hindhu yang paganis dan berhalais.
9. Tidak syak lagi, demonstrasi atau Mudhoharoh,
yang seolah-olah telah menjadi wasilah dalam amar ma’ruf nahi munkar
terutama terhadap penguasa dan memperjuangkan penegakan syari'at Islam,
adalah bid’ah baru yang berasal dari sistem kufur yang tak dikenal di
dalam Islam, yaitu Demokrasi. Menegakkan demonstrasi pada hakikatnya
adalah tasyabbuh ‘alal kuffar (meniru golongan kafir) dalam
metode dan cara. Padanya terdapat kerusakan-kerusakan seperti ikhtilat,
keluarnya wanita-wanita ke jalan, khuruj terhadap pemerintah, dan
lain-lain.
10. Dzikir
Jama’i yang sekarang lagi digandrungi masyarakat, dan laku bak kacang
goreng, adalah metode ibadah yang bid’ah. Karena Islam tak pernah
mengajarkan berdzikir secara jama’ah dan dipimpin oleh seorang Imam.
Hal ini menunjukan bahwa metode da’wah ala dzikir jama’i, seperti acara
Indonesia berdzikir yang dipimpin oleh Arifin Ilham –semoga Allah
memberi hidayah pada penyusun dan pada beliau- adalah metode ibadah
yang bid’ah. Dikatakan bid’ah, karena pada satu sisi, memang ada dalil
yang menunjukkan anjuran berdzikir, namun pada sisi kaifiyat
pelaksanaan, sesungguhnya tak ada satupun dalil yang warid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan akan metode berdzikir demikian. Sehingga dikatakan termasuk sebagai bid’ah idhafi.
11. Pada hakikatnya, membaca Al-Qur’an adalah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam,
namun yang menjadi permasalahan adalah jika kita mengkhusukan suatu
surat atau ayat dari Al-Qur’an, dan juga mengkhusukan waktu tertentu,
seperti membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, tanpa didasarkan dari
dalil, atau tidak beranjak dari hujjah. Maka amalan ibadah ini,
disebabkan oleh pengkhususan waktu dan jenis ayat yang tak pernah
dituntunkan oleh Nabi, maka amalam tersebut menjadi amalan bid’ah.
12. Ahkamul Jana-iz wa Bid’uha hal. 241-242.
13. Diriwayatkan
oleh Al-Lalikai (no 126), Ibnu bathah (205), Baihaqi dalam Al-Madkhal
ila sunan (191), Ibnu Nashir dalam As-Sunnah (no 70) dengan tahqiqnya.
Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 92.
14. Diriwayatkan
oleh Ibnu Khaitsamah dalam Al-Ilmu (no 14) dari jalan An-Nakha'i.
Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar