KEUTAMAAN TAWAKKAL KEPADA ALLAH MENURUT AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
(*) KEUTAMAAN TAWAKKAL KEPADA ALLAH MENURUT AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH (*)
Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ إِنَّهُ سَمِعَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Dari Umar bin Khoththob radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-sebenarnya tawakkal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada seekor burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.”
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam Sunannya, kitab az-Zuhd, bab Fi At-Tawwakkuli ‘Alallah no. 2344, dan ia berkata, “(derajat hadits ini) hasan shohih,” Ibnu Majah dalam sunnannya, Kitab Al-Zuhud, Bab Attawakkal Wal Yaqin, hadits no 4164, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam musnadnya, hadits no.205, 372 dan 375, dan al-Hakim di dalam al-Mustadrok kitab ar-Riqooq IV/310, dan ia nyatakan Shohih, dan imam adz-Dzahabi menyepakatinya).
(*) BEBERAPA PELAJARAN PENTING DAN FAEDAH ILMIYAH YANG DAPAT DIAMBIL DARI HADITS INI:
PELAJARAN PERTAMA:
MAKNA HADITS SECARA GLOBAL
Hadits ini secara garis besar menjelaskan kepada kita tentang hakekat tawakkal yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dengan perumpamaan seekor burung. Dimana burung pergi meninggalkan sangkarnya pada pagi hari untuk mencari makanan (jatah rezekinya) dalam keadaan perut kosong karena lapar, namun di sore hari ia pulang dalam keadaan perut kenyang dan terisi penuh. Karena pada hakekatnya Allah lah yang memberikan rezeki kepadanya sesuai dengan apa yang telah Allah taqdirkan baginya di dalam al-Lauhul Mahfuzh (kitab induk catatan taqdir seluruh makhluk).
Demikian juga manusia, sekiranya manusia benar-benar bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan kepadanya memberikan rezeki sebagaimana seekor burung yang berangkat pada pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang pada sore hari dalam keadaan perut kenyang, bi idznillah.
Abu Hatim ar-Rozi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan dalil mengenai tawakkal, dan ini merupakan faktor terbesar yang bisa mendatangkan rezeki.”
(*) PELAJARAN KEDUA:
HAKEKAT TAWAKKAL KEPADA ALLAH TA’ALA
Ditinju dari segi bahasa Arab, tawakkal berasal dari kata ‘tawakkala / توكل ’ yang artinya; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. Jadi, Seseorang yang bertawakkal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan, mewakilkan, mengharapkan dan memasrahkan segala urusannya hanya kepada Allah Ta’ala.
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya”. (QS. Ghoofir / Al-Mu’min: 44).
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tawakkal merupakan aktivias hati, artinya tawakkal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakkal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan.”. (Lihat Tahdzib Madarijis Salikin, hal. 337)
Ibnul Qoyim al-Jauzi berkata: “Tawakkal merupakan amalan dan bentuk ubudiyah hati (penghambaan kepada Allah) dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, percaya terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala kecukupan bagi dirinya, dengan tetap melaksanakan sebab-sebab serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Lihat Arruh fi Kalaam ‘ala Arwaahil Amwaati wal Ahyaa’ bidalaa-il minal Kitaab was Sunnah).
(*) PELAJARAN KETIGA:
TAWAKKAL YANG BENAR HARUS DIDAHULUI DENGAN ADANYA IKHTIYAR (USAHA) YANG MAKSIMAL
Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata: ada seseorang berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam; “Wahai Rasulullah, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakkal, atau aku lepas ia dan aku bertawakkal?’ Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab: ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah (kepada Allah).” (HR. At-Tirmidzi)
(*) PELAJARAN KEEMPAT:
KEUTAMAAN TAWAKKAL KEPADA ALLAH MENURUT AL-QURAN DAN AS-SUNNAH
Tawakkal kepada Allah ta’ala saja dalam segala urusan merupakan salah satu ibadah hati yang sangat agung. Oleh karenanya, ia memiliki banyak keutamaan bagi pelakunya. Di antaranya adalah sbagai berikut:
1. Barangsiapa bertawakkal kepada Allah ta’ala saja dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan kepadanya kecukupan dalam kebutuhan-kebutuhannya.
Hal ini sbagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah nescaya Dia akan mengadakan baginya jalan penyelesaian. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah nescaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”. (QS. Ath-Thalaaq: 2-3).
2. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka ia akan Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat dengan masuk Surga.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلأَجْرُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ* الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.” (QS.An-Nahl: 41-42).
Dan baca juga surat Al-’Ankabuut, ayat 58-59).
3. Barangsiapa bertawakkal kepada Allah dengan benar, maka Allah akan memberikan kepadanya pertolongan, keselamatan dan kemenangan dalam menghadapi musuh.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Tawakal adalah sebab yang paling utama yang bisa mempertahankan seorang hamba ketika ia tak memiliki kekuatan dari serangan makhluk Allah lainnya yang menindas serta memusuhinya, tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah pelindungnya atau yang memberinya kecukupan, maka barang siapa yang menjadikan Allah pelindungnya serta yang memberinya kecukupan maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” (Lihat Bada-i’u Al-Fawa’id II/268).
Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Hasbunallah wani’mal Wakil” suatu kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim alaihissalam ketika dilempar ke dalam api yg membara, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam ketika dikatakan (diprovokasi) oleh orang-orang kafir, supaya takut kepada mereka ; “sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakiil (cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shohihnya, bab Tafsir no.4563 (Fathul Bari VIII/77)).
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata: “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika ia dilemparkan ke tengah bara api adalah: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baik pelindung”. (Hadits Riwayat Al-Bukhari di dlm Shohihnya, bab Tafsir no.4564 (Fathul Bari VIII/77)).
Imam al-Bukhari dan selainnya meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam terpisah dari para sahabatnya lalu bernaung di bawah pohon*, beliau menggantungkan pedangnya di atas pohon itu, kemudian datang seorang Arab Badui** kepada Rasulullah dan mengambil pedang milik beliau, lalu orang itu berdiri di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sambil bertanya: Siapakah yang dapat melindungimu dari aku .?. Beliau menjawab: Allah !, orang Arab Badui itu bertanya dua atau tiga kali: Siapa yang dapat melindungimu dari aku?, dan Nabi menjawab: “(Yang akan melindungiku) Allah.” Jabir berkata: Kemudian orang Arab itu menyarungi pedangnya, lalu Nabi memanggil para sahabatnya, dan mengabarkan kepada mereka tentang kejadian Arab Badui itu, sementara Arab Badui itu duduk di sisi Rasulullah dengan tidak memberi hukuman kepada orang itu.”. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya III/311, imam al-Bukhari dalam Shohihnya bab jihad VI/113 no.2910 , dan Ath-Thabari dalam Tafsirnya VI/146).
* (Disebutkan bahwa pohon itu adalah pohon yang berduri, An-Nihayah III/255).
** (Diriwayatkan bahwa nama orang itu adalah Ghurata bin Al-Harits, lihat Shahihul Bukhari dalam kitab Al-Maghazy V/491 no.4136, dan lihat pula Tafsir Ibnu Katsir III/59).
Dan telah dikisahkan di dalam sebuah hadits yg lain, bahwa pada saat perang Dzatur Riqo’, ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika itu, tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat melindungimu dariku?. Namun dengan sangat tenang (sebagai bentuk tawakkal yang sempurna kepada Allah), Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab: “(yang akan melindungiku) Allah.” Setelah tiga kali orang itu bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengambil pedang tersebut seraya bertanya; “Sekarang siapakah yang dapat melindungimu dari ku?”.
Ibnu Jarir Ath-Thobari dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma -tentang ayat ini (ia menyebut ayat 11 dari surat Al-Ma’idah)- , dan ia berkata: “Sesungguhnya orang-orang dari kaum Yahudi membuat makanan (yg telah diracuni) untuk membunuh Rasulullah dan para sahabatnya, kemudian Allah mewahyukan kepada utusan-Nya itu tentang rencana mereka, maka Rasulullah dan para sahabatnya tidak makan makanan itu.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsirnya VI/46 dan Ibnu Abu Hatim sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir III/59).
Dan dikisahkan bahwa orang-orang dari Kaum Yahudi bersepakat untuk membunuh Nabi dengan cara mengundang Nabi dalam suatu urusan, ketika Nabi datang kepada mereka, mereka membuat siasat untuk melempar beliau dengan sebuah batu besar pada saat Rasulullah bernegosiasi dengan orang-orang Yahudi, lalu Allah memberitahukan rencana mereka ini kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, kemudian Rasulullah kembali ke Madinah dengan para sahabatnya (yakni tidak jadi menghadiri undangan mereka, pent).” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsirnya VI/144).
Maka pada saat itulah Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.”. (QS. Al-Maidah : 11).
Dari berita-berita yang menyebabkan turunnya ayat di atas, serta kejadian-kejadian lain yang nyata membuktikan bahwa Allah Ta’ala akan selalu menjaga, melindungi, menolong dan menyelamatkan Nabi utusan-Nya. Hal ini tidak lain adalah karena kesempurnaan beliau dalam BERTAWAKKAL kepada Allah Ta’ala saja. Berita dan kejadian seperti ini banyak sekali dan cukup bagi kami dengan apa yang telah kami sebutkan di atas.
4. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka ia akan masuk ke dalam Surga tanpa dihisab (dihitung n ditimbang amal perbuatannya baik n buruknya oleh Allah pd hari Kiamat) dan tanpa disiksa.
Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini (yg artinya):
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Telah diperlihatkan kepadaku keadaan umat-umat terdahulu, hingga aku melihat ada seorang nabi dengan rombongan yang kecil, dan ada nabi yang mempunyai pengikut satu dan dua orang, bahkan ada nabi yang tidak mempunyai seorang pengikut pun. Tiba-tiba diperlihatkan padaku rombongan yang besar (yang banyak sekali), saya kira itu adalah umatku, namun diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah nabi Musa alaihissalam beserta kaumnya (pengikutnya). Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu, tiba-tiba di sana aku melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku, Itulah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 (tujuh puluh ribu) orang yang masuk surga tanpa dihisab dan diazab. Setelah itu nabi berdiri dan masuk ke dalam rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang membicarakan mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab dan diazab itu. Ada yang berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Ada pula yang berpendapat, mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga pendapat-pendapat lain yang mereka sebut. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam keluar menemui mereka dan bertanya, ‘apakah yang sedang kalian bicarakan?’. Mereka memberiktahukan segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah/dijampi2 (untuk dirinya maupun orang lain), dan tidak suka meramal nasib sial/untung dengan tanda-tanda burung (atau selainnya spti tempat, waktu dan angka, pent), dan hanya kepada Allah (Robb mereka) saja mereka bertawakkal.” Lalu berdirilah Ukkasyah bin Muhshon dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka.” Rasulullah menjawab; “Engkau termasuk golongan mereka.”
Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata; “doakan saya juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka.” Maka Rasulullah menjawab; “Engkau telah didahului oleh Ukasyah.”. (HR. Imam al-Bukhari & Muslim).
Di dalam riwayat lain disebutkan sifat-sifat 70.000 orang dari umat Islm yang masuk Surga secara langsung tanpa dihisab dan disiksa oleh Allah, yaitu:
“Mereka adalah yang tidak bertathoyyur, tidak meminta diruqyah, tidak pula meminta diobati dengan Kay, dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dalam ar-Riqaaq XI/305 dari hadits Ibnu ‘Abbas, dan Muslim dalam al-Iman III/89 dari hadits ‘Imran bin Hushain).
* Tathoyyur ialah beranggapan sial pada semua yang dilihat,
didengar, serta beranggapan sial pada tempat dan waktu tertentu.
* KAY ialah metode pengobatan dengan menggunakan besi yang
digarang di atas api.
Demikianlah beberapa pelajaran penting dan faedah ilmiyah yang dapat kita ambil dari hadits ini. Semoga Allah menjadikan kita smua sebagai hamba-hmba-Nya yg selalu bertakwa dan bertawakkal kepadanya dalam segala urusan kita. Dan semoga kita meraih keutamaan tawakkal yang agung sebagaimana yg telah diterangkan Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Semoga tulisan ini menjadi ilmu yg bermanfaat bagi kita semua. امين يارب العالمين
(Klaten, 8 Maret 2013).
(SUMBER: BBG Majlis Hadits, chat room FADHILAH AMAL. Blog Dakwah Kami: http://abufawaz.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar